Semar disebut juga Badranaya

Mengemban sifat among, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.

Benih yang baik untuk hasil terbaik

Apabila menginginkan hasil yang baik maka tentulah dipilih bibit yang baik pula, bibit yang unggul, bibit yang sempurna.

Tesing dumadi, asal mula terjadinya Manusia.

Asal mula manusia adalah dari getaran tanaman dan getaran binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya tri tunggal yaitu nurcahya = sinar cahaya allah, nurrasa = sarinya Bapak dan nur buat = sarinya Ibu).

Pancasila..sikap hidup bangsa Indonesia.

Menurut ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (Wahyu tujuh ajaran yang masing-masing berisi lima butir ajaran mencapai kemuliaan, ketentraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/akhirat).

Apakah yang kita miliki..?

Ketika mati pun kita tidak akan membawa sepeser pun uang. Masihkah kita merasa sebagai makhluk yang adigang-adigung-adiguno?

Sujud dasawarsa, Sujudnya warga KSD

Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa.

Kita tidak sendiri

Alam beserta isinya adalah milik kita bersama...mari jaga kerukunan, kebersamaan dalam menjaga kelestarian demi generasi selanjudnya

out of body experience

Peristiwa out of body experience adalah merupakan gambaran awal dari kematian, Adalah merupakan indikasi putusnya hubungan Input sensor dalam tubuh, ketika kondisi manusia dalam konsisi sadar.

Butir-butir budaya jawa

Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawalesana Ngudi Sejatining Becik

Wewarah Tujuh

Merupakan kewajiban yang harus dijalankan Warga SAPTA DARMA dalam kehidupannya.

Sesanti

Sikap dan perilaku hidup dalam masyarakat yang harus diciptakan oleh Warga SAPTA DARMA.

Wejangan

Wejangan Panuntun Agung Sri Gutomo bagi warga SAPTA DARMA dalam mengenali jati diri yang sebenarnya.

Senin, 27 Desember 2010

"SYEKH SITI JENAR" NAMANYA MELARISKAN BUKU

Siapakah Syekh Siti Jenar? Meskipun setidaknya Intisari telah menjejaki – yang disebut sebagai – dua kuburan Syekh Siti Jenar, masing-masing di Kemlaten, Cirebon maupun Gedong Ombo, Tuban, agaknya Syekh Siti Jenar tidak bisa dipastikan keberadaan historisnya secara ilmiah dalam kategori positivistik. Keberadaan Syekh Siti Jenar adalah keberadaan sebuah makna, baik dalam bentuk suatu ajaran yang tercatat pada berbagai naskah, maupun makna keberadaan dalam penafsiran politis, sebagai tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali. Suatu konstelasi yang sebetulnya juga merupakan tipologi konstelasi politik duniawi, ketika kerajaan-kerajaan Islam di Jawa telah menjadi dominan, tetapi pusat-pusat kekuasaan pra-Islam dengan segenap aliran kepercayaannya, belum sepenuhnya terleburkan – bahkan sampai hari ini.
                                    
Wali yang mencemaskan
Dalam ziarah pustaka ini, gambaran Nancy K. Florida tentang Tiga Guru Jawa (Syekh Siti Jenar, Syekh Malang Sumirang, Ki Ageng Pengging) dalam disertasinya, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) akan dikutip sebagai pengantar:
“Di antara ketiga empu tersebut, Syekh Siti Jenarlah yang paling dikenal, dengan ketenarannya sebagai wali pembangkang yang paling utama di Jawa bahkan hingga saat ini. Berbagai versi kisahnya, baik lisan maupun tulisan, melimpah. Dialah tokoh yang mewakili penyebarluasan, dan yang disebarluaskannya adalah pengetahuan esoteris eksklusif yang keluar dari kalangan elite politik-spiritual ke dalam budaya khalayak ramai. Atas penyebarluasan inilah maka para wali merasa terpanggil untuk memusnahkan Syekh Siti Jenar. Mereka melihat ancaman politik yang benar-benar nyata dalam dirinya; lantaran sebagai sosok penyebarluasan dan populisme dia dengan sendirinya menentang pemusatan dan penyatuan kekuasaan.
“Dalam benak khalayak ramai, Siti Jenar dikenang sebagai patron wong cilik. Garis besar kisah hidupnya menggarisbawahi keterkaitan organisnya dengan lapis terendah masyarakat. Dalam versi kisahnya yang paling tersebar luas, Siti Jenar diceritakan sebagai seekor cacing tanah yang secara ajaib berubah menjadi manusia. Pengubahan ini terjadi karena sang cacing secara kebetulan menerima pengetahuan esoteris yang mengantarnya menuju Hakikat Sejati. Sekali menjadi manusia, dia yang semula cacing ini kemudian berani untuk membuka tabir Pengetahuan Makrifat ini kepada khalayak ramai. Barangkali anggapan bahwa penyampaian pengetahuan semacam itu akan dapat mengubah martabat “cacing-cacing” yang lain adalah kecemasan elite spiritual-politik di ibu negeri Demak.
“Selain dosanya ‘menyingkap sang Rahasia’ kepada khalayak ramai, Siti Jenar juga dipersalahkan karena menyepelekan syariat, hukum suci Islam. Dan di dalam banyak penuturan kisahnya, dia dituduh sebagai orang yang mengaku dirinya Allah. Bagaimanapun juga, yang paling mencuat dan diberitakan adalah dosanya menyebarluaskan Ilmu Gaib; dan lantaran dosa inilah sang wali diadili dan dijatuhi hukuman mati. Terdapat berbagai versi tentang ‘pengadilan’ dan eksekusinya. Masing-masing versi perlu untuk dipahami dengan latar belakang ingatan kolektif masyarakat tentang kisahnya dan dalam bandingan dengan versi lainnya. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah keragaman kisah atas apa yang terjadi dengan jasad sang wali; berkisar dari ekstrem yang satu bahwa jasadnya berubah menjadi bangkai busuk seekor anjing hingga ke ekstrem yang lain (yakni pada versi Babad Jaka Tingkir) bahwa sang wali akhirnya mikraj ke surga.”
Adapun asal nama Kemlaten, kuburan Syekh Siti Jenar di Cirebon, terasalkan dari kisah dalam Babad Cerbon, bahwa ketika para wali membongkar kuburan Siti Jenar setelah dihukum mati, untuk membuktikan kebenaran ajarannya: bahwa jika ia mati di dunia ini artinya hidup abadi di dunia yang sebenarnya -ternyata memang tak menemukan jasad, melainkan sekuntum bunga melati. Seperti juga telah sering ditemukan dalam riwayat wali yang sembilan, istilah “politik dongeng” menegaskan terdapatnya kepentingan ideologis di balik segenap “sejarah” tersebut. Kesadaran tentang perlu diabaikannya keberadaan dongeng-dongeng tersebut sebagai fakta historis, juga tersurat dalam catatan sejarawan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), seperti ketika memberi catatan atas keberadaan Dewan Walisanga:
“Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).”                                    
Ajaran tentang ada
Lantas, ajaran macam apa sebetulnya, yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga? Dalam kenyataannya, buku-buku yang memuat dan menyebarkan teks yang disebut sebagai “ajaran” Syekh Siti Jenar ini beredar luas pada masa kini, beberapa di antaranya bahkan berpredikat best seller alias laris manis tanjung kimpul, yang bukan hanya tidak mengundang kecaman apa pun dari para pemeluk teguh syariat, melainkan justru ditulis oleh para ahli agama itu sendiri. Untuk menyebut beberapa, bisa diperiksa dua buku laris Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (1999) dan Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (2001), Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar (2004), Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf Al-Hallaj di Jawa (2003), dan yang ditulis dengan sapaan hangat serta indah karya Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian” (2002). Namun untuk mengintip apa yang disebut “ajaran rahasia” tersebut, pustaka yang akan diziarahi masih dari karya ilmiah P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1935).
Tidak mungkin memindahkan ulasan panjang lebar dalam disertasi Zoetmulder tersebut, tapi kita mulai saja dengan petikan atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, pada 1922:
Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.
Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.
Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.
Dalam disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”

                              
Bukan Al-Hallaj, tapi India
Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.
Namun karena penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India.
“Akhirnya, juga kematian Siti Jenar – menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Sukma semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.
“Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”
Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) – itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan, bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik Al-Hallaj.”
Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa.”
                                   
Lemah Abang serba pinggiran
Dengan konteks pengaruh India dan bukan Islam da lam ajaran Syekh Siti Jenar, menjadi jelas konteks duniawi yang terpadankan dengannya, seperti teruraikan oleh Graaf dan Pigeaud mengenai kedudukan politis Pengging sebagai kerajaan “kafir” terhadap kekuasaan Demak. Dalam legenda, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging adalah murid Syekh Siti Jenar yang membangkang dan tidak bersedia tunduk maupun melawan Sultan Demak – yang membuat kedudukannya sulit diatasi meski Sunan Kudus ia izinkan untuk membunuhnya. “Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap ’si bid’ah’ Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara: Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh.” Bahwa Pengging sebelumnya disebut-sebut sebagai kerajaan “kafir” yang masih berdiri setelah Majapahit runtuh, jelas menunjukkan personifikasi Syekh Siti Jenar sebagai representasi perlawanan, terhadap dominasi Demak sebagai representasi hegemoni kekuasaan rohani sekaligus duniawi.
Mungkinkah bisa dipahami sekarang, mengapa banyak wilayah di Jawa bernama Lemah Abang, dan selalu terletak di pinggiran?
 
Sumber : INTISARI No. 517 TH. XLIII, AGUSTUS 2006

Kamis, 02 Desember 2010

PANCASILA ALLAH

Maksud Pancasila Allah dalam wewarah Sapta Darma adalah merupakan sifat keluhuran dan sikap perwujudan kehendak Allah Hyang Maha Kuasa seperti berikut :
Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil, Allah Hyang Maha Wasesa dan Allah Hyang Maha Langgeng.  Dan sifat keluhuran ini tercermin dalam sifat dan sikap hidup manusia seperti berikut :
  1. Mau atau suka memaafkan kesalahan orang lain, mau menerima dan mau member, sifat berbudi bawa laksana serta daya cipta yang dimiliki.
  2. Rasa cinta dan kasih.
  3. Rasa keadilan.
  4. Rasa tanggung jawab dan mampu melaksanakan tugas yang diembannya, terutama dalam menguasai dan mengendalikan nafsu pada diri pribadi.
  5. Kesadaran bahwa hidup manusia tiada mati tapi abadi/langgeng dan akan kembali keasalnya/Allah Hyang Maha Langgeng untuk mempertanggungjawabkan tugasnya selama hidup di dunia bersama jasmaninya.
Manusia sebagai mahluk social tidak dapat lepas dari manusia lainnya, oleh karenanya pada diri manusia itu terdapat sifat tolong menolong, sifat toleransi, sifat cinta kasih dan lain-lainnya. Manusia selalu ingin berhubungan antara sesame manusia. Sifat-sifat semacam ini kita rasakan bersama pada diri kita masing-masing. Terus darimanakah sumber sifat-sifat tersebut? Tiada lain tentu dari Zat Mutlak yang tunggal yang disebut Hyang Maha Kuasa. Sifat inilah yang disebut Hyang Maha Rokhim.
Manusia juga mempunyai sifat tidak membeda-bedakan kepada sesame. Sifat ini tidak hanya terdapat pada orang-orang tua atau orang dewasa saja tetapi juga terdapat pada anak-anak. Dan sifat inipun ada sumbernya yaitu Hyang maha Kuasa, sehingga Hyang Maha Kuasa mempunyai sifat Hyang Maha Adil. Mengenai sifat adil ini dapat dijelaskan bahwa untuk mengatur kekuasaan yang ada didalam dunia ini harus ada peraturan-peraturan yang baik. Jadi segala keadaan ditata diatur dengan kejadian-kejadian yang menumbuhkan suatu keadaan pada keseimbangan yang berarti terjaminnya keadaan sebelumnya. Misalnya untuk mencari keadilan kita lari ke pengadilan, disini kita temukan seorang hakim, jaksa, pembela dan disini kita melihat keadilan yang harus dijatuhkan oleh hakim tersebut untuk memberikan suatu keseimbangan  dari orang yang bersalah /berdosa tersebut. Hasil dari pertimbangan hakim tersebut telah ditimbang-timbang dengan adanya tuntutan dari seorang jaksa dengan didampingi dengan pembelaan-pembelaan atau pledoi daripada pembela. Disitu akan memberikan suatu keseimbangan keselarasan hukum, supaya tetap keadilan dapat tercapai. Dilain pihak pelanggaran tidak hanya diantara manusia tetapi juga terjadi disegala aspek kehidupan. Baik di alam langgeng maupun dialam wajar. Di alam wajar kita melihat adanya banjir, petir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan lainnya. Dan hal-hal inipun juga pelanggaran yang mengakibatkan tidak adanya keseimbangan. Hal ini yang bisa memberi keadilan tidak lain adalah Hyang Maha Adil. Jadi Hyang Maha Kuasa yang bersifat Hyang Maha Adil.
Manusia juga mempunyai sifat memberikan ampun atas kesalahan orang lain atau bersifat “berbudi bawa laksana”. Dengan daya cipta pikiran manusia mampu membuat segala macam materi atau benda-benda yang dalam abad nuklir ini seperti mulai dari sepeda, motor, mobil, pesawat, senjata kimia, biologi, satlit, televise, computer, robot, senjata nuklir dsb. Apabila kita renungkan tidak heran manusia dapat mencapai hal yang sedemikian tingginya, sebab sifat kemampuan yang agung semacam itu sumbernya adalah Hyang Maha Kuasa. Oleh karena itu Hyang Maha Kuasa bersifat Hyang Maha Agung.
                Disinilah keagungan yang diberikan kepada manusia dan manusia sekarang ini telah lupa dengan sumbernya, dengan kemampuan membuat senjata seenaknya menghancurkan sesama bahkan alam semesta tempat perlindungannya.Keagungan yang diberikan kepada manusia melalui rohaninya itu hingga manusia itu mencapai sedemikian tingginya dan manusia lupa akan tujuan hidup yang sesungguhnya yaitu memayu hayuning bawana dalam arti dunia ini tidak boleh dirusak, harus dipayungi. Tapi manusia lupa akan causaprimanya yang seharusnya menjaga ketentraman dan perdamaian dunia tapi sebaliknya alat yang diciptakannya itu malah untuk merusak sesame maupun dunia ini. Contohnya adalah perang irak, afganistan,libanon, rela menjadi teroris dsb.
Sifat yang lain yang dimiliki oleh manusia ialah manusia selalu mempunyai sifat mudah mengingat-ingat akan sesuatu hal yang selamanya akan terkenang, lebih-lebih perbuatan yang baik yang diamalkan kepada sesame umat akan memunculkan nama yang baik, nama yang langgeng, yang selalu dikenang oleh masyarakat. Misalnya perbuatan amal para nabi, para wali, pahlawan bangsa, yang namanya sampai sekarang tetap dikenang/langgeng. Jadi dengan demikian manusia juga mempunyai sifat-sifat langgeng yang sebetulnya bersumber pada jiwa atau rohaninya dan sifat ini bersumber dari Hyang Maha Kuasa, sehingga Hyang Maha Kuasa bersifat Hyang Maha Langgeng.
Masih ada sifat lain yang tersembunyi pada diri manusia yang kita rasakan bersama yaitu sifat purba dan wasesa atau purba-wasesa. Hal ini sebetulnya dipunyai oleh rohani manusia yang berupa rasa. Misalnya rasa sedih, rasa sakit, rasa gembira, rasa senang,rasa bahagia dsb. Dan rasa inipun ada sumbernya yaitu Hyang Maha Kuasa, sehingga Hyang Maha Kuasa mempunyai sifat Hyang Maha Wasesa.   
            Sifat-sifat yang lain yang dimiliki oleh manusia masih banyak yang dapat kita rasakan sehari-hari, namun dari sekian sifat-sifat tersebut yang terpenting asalnya dari repleksi sinar-sinar Hyang Maha Kuasa. Sifat terpenting yang mutlak pada Hyang Maha Kuasa adalah Panca Sila Allah yang kami sebutkan diatas, sedangkan sifat lainnya apabila kita pecah sampai tidak terbatas.

Kamis, 25 November 2010

SUJUD YANG SEMPURNA

Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa. Sujud yang sesungguhnya adalah bagaimana agar Hyang Maha Suci bisa sujud Hyang Maha Kuasa. Tentulah hal ini tidak mudah karena kita dituntut untuk mengenal siapa itu Hyang Maha Suci dan bagaimana sujudnya Hyang Maha Suci sujud Hyang Maha Kuasa.
Dalam sabda Panuntun Agung Sri Gutomo dikatakan ;  “Percayalah kepada Pribadimu, kepada Tuntunanmu, sebab kalau tidak percaya kepada Hidupmu, bagaimana akan percaya kepada Hyang Maha Kuasa? Sebab Tuntunanmu adalah hidupmu yang dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa.”  Itu berarti Pribadimu, Hidupmu dan Tuntunanmu adalah tiga kata yang berbeda tetapi maksudnya sama.
Dalam penelitian penyempurnaan sujud ( sujud dasawarsa ) yang disebut juga sujud asal mula manusia atau dikenal juga istilah sujud tesing dumadi manusia. Kita disuruh “ Galilah rasa yang meliputi seluruh tubuhmu (kepribadianmu yang asli)”.
Penelitian penyempurnaan sujud ini untuk mencapai sujud yang sempurna. Karena apabila sujud yang sempurna telah saudara jalankan/praktekkan dengan betul, maka berarti saudara telah melakukan penggalian yang sejati yaitu penggalian pribadi yang asli. Barulah sujud itu dikatakan berhasil karena akan terhindar dari jajahan-jajahan getaran-getaran yang kurang/tidak sempurna. Saudara akan menjadi manusia yang berbudi luhur.
Dari uraian tersebut diatas yang dimaksudkan dalam sabda Panuntun Agung Sri Gutomo bahwa, Pribadimu, hidupmu dan Tuntunanmu adalah Kepribadiannmu yang asli. Dan untuk mengetahui kepribadian yang asli kita disuruh meneliti atau menggali rasa yang meliputi seluruh tubuhmu. Karena ada istilah asli tentu ada yang tidak asli. Yang manakah rasa yang tidak asli tentu rasa-rasa yang muncul dari gejolak saudara 12 yang masing-masing mempunyai kepribadian yang berbeda-beda yang disimbolkan dengan warna hitam, merah, kuning dan putih.
Dan ini cukup jelas untuk mendeteksi para warga atau para tuntunan, bagaimanakah kepribadiannya apakah asli atau bukan asli karena akan terpancar lewat prilakunya sehari-hari.
Apa sajakah yang mempengaruhi sujud yang sempurna itu ?? Dalam buku dasawarsa dijelaskan bahwa sujud yang sempurna erat kaitannya /bergandengan erat dengan biji dan asal mula manusia. Nah inilah inti dari pembahasan selanjutnya bagaimanakah tesing dumadi manusia tersebut ? apakah tesing dumadi manusia bisa diruwat ???…………(bersambung).

Jumat, 12 November 2010

TESING DUMADI MANUSIA

Asal mula manusia

Apakah asal mula manusia itu?…. asal mula manusia adalah dari getaran tumbuh-tumbuhan dan getaran dari binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya (tri tunggal yaitu nur cahaya = sinar cahaya allah, nur rasa = sari-sarinya Bapak dan nur buat = sari-sarinya Ibu).
Misalkan di dalam ilmu pertanian, apabila menginginkan hasil yang baik maka tentulah dipilih bibit yang baik, bibit yang unggul, bibit yang sempurna. Karena dengan bibit yang baik tanaman yg kita tanam akan menghasilkan buah /hasil yg baik pula. Disamping itu perlu juga metode/cara bercocok tanam yang benar, pemeliharaan, pemupukan dan lingkungan alam yang baik pula.

Dalam kehidupan manusia, kita akan mencita-citakan mempunyai anak yang baik, anak yg cerdas, bagus, cantik, sehat, bijaksana dsb. Akan tetapi adakah kita perhatikan bibitnya ? Adakah dipelihara bibitnya ?……apalagi jaman sekarang biji manusia diecer-ecer dimana-mana, disebarkan pada tempat yang gelap, tempat yg tidak layak dsb. Sebab menanam biji yg sempurna terletak pada orang tuanya. Kenakalan, kebodohan dan kekurang sempurnanya anak-anak yg dilahirkan adalah karena orang tuanya. Adalah karena kekeliruan orang tua dalam memelihara bijinya. Seperti contoh sehabis menebar biji ditempat-tempat yang gelap baru pulang menanam disawahnya sendiri, sehabis main judi, melihat barang-barang yg jelek, terus sampai dirumah menebarkan biji. Tentu hasilnya akan jelek, kenapa ?….Sebab getaran-getaran yg buas yg jelek masih terkenang-kenang dikepala. Dan getaran tersebut akan turut tersaring dalam menurunkan biji-biji manusia dan turut pula tertanam didalamnya.

Disamping itu prilaku orang tua yang lainnya….misalnya dalam pembentukan biji manusia didapat dari hasil yang tidak baik… misalnya dengan mencuri, korupsi, menipu, merampok dsb. Tentu berpengaruh pada kualitas biji manusia tersebut karena mengandung virus setan /jin. Bila ditanam maka anak yg lahir telah terkontaminasi virus tersebut sehingga kelak anak tersebut juga berprilaku mirip orang tuanya.
Prilaku yang lain orang tuanya senang belajar ilmu sesat yg dilarang oleh Agama atau memakai pengasihan/pellet untuk mencari jodoh…..apakah tidak mungkin juga berpengaruh terhadap anak yg dilahirkan.

Pada kenyataan sering ditemui watak/tabiat anak yang dilahirkan tidak mirip dengan kedua orang tuanya tetapi mirip kakek/neneknya atau mbahnya yg sudah meninggal.  Pada kasus ini apakah mungkin getaran/ilmu-ilmu Mbahnya menurun/tertetes pada cucunya?

Sabtu, 23 Oktober 2010

Bagian 4 : Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syeh Siti Jenar

Syeh Siti Jenar, kini telah menjadi semacam duri dalam daging bagi Dewan Wali Sangha. Sebuah duri ditengah berkobarnya semangat kekhalifahan. Sebuah obsesi Kaum Putihan untuk mendirikan bentuk pemerintahan Islam pertama di Jawa. Suatu Kekhalifahan yang menurut mereka bakal menjadi lebih besar gaungnya daripada Kekhalifahan Malaka( yang berdiri -/+ 1400 M) maupun Kekhalifahan Samudera Pasai yang berdiri pada tahun 1285 Masehi, tujuh tahun lebih awal berdiri daripada berdirinya Kerajaan Majapahit di Jawa ( 1292 M).Samudera Pasai bisa berdiri karena Kerajaan Shriiwijaya yang bercorak Buddhis, tengah terlibat peperangan dengan Kerajaan Thai yang juga sama-sama bercorak Buddhis. Ditambah lagi, serangan dari Kerajaan Singhasari yang berpusat di Malang, Jawa Timur dalam ekspedisi Pamalayu-nya, ikut memperlemah kekuatan Shriiwijaya.

Dalam situasi politik yang tidak menentu seperti ini, Samudera Pasai berhasil memisahkan diri, dan kemudian memaklumatkan diri sebagai Kekhalifahan pertama di Nusantara. Namun manakala Majapahit berdiri, sebagai penerus dinasty Singhasari, dan ketika Shriiwijaya berhasil dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Majapahit, maka Samudera Pasai-pun, mau tak mau, harus ikut tunduk mengakui kekuatan Majapahit.

Namun walaupun begitu, otonomi khusus bagi Samudera Pasai tetap diberikan oleh Penguasa Majapahit ( Raden Wijaya kala itu ). Hukum Islam tetap boleh diberlakukan diwilayah Samudera Pasai. Kebijakan yang luar biasa seperti ini, hanya bisa didapati dari mereka-mereka yang sudah berkesadaran tinggi. Seandainya Samudera Pasai yang berkuasa atas Majapahit, apakah akan terjadi sebaliknya?

Dan pada tahun 1401-1406 Masehi, Majapahit dilanda keguncangan. Kadipaten Blambangan, sebuah Kerajaan kecil wilayah Majapahit yang ada diujung timur pulau Jawa, hendak melepaskan diri dari pusat kekuasaan. Maka, terjadilah perang saudara yang terkenal dalam sejarah dengan nama Perang Pareg-greg. Blambangan berhasil ditundukkan. Beberapa bangsawan Blambangan berhasil melarikan diri ke pulau Tumasik ( Negara Singapura sekarang : Damar Shashangka). Namun, beberapa diantara bangsawan Blambangan merasa tetap tidak aman tinggal di pulau Tumasik, salah seorang darinya, bernama Pangeran Paramishora, diiringi beberapa pengikutnya, meninggalkan pulau Tumasik, menuju ke Semenanjung Malaka.

Di Semenanjung Malaka, Pangeran Paramishora dengan para pengikutnya dari Jawa, membuka hunian baru. Karena letaknya strategis, hunian baru itu berkembang pesat menjadi salah satu pusat perdagangan dunia. Pangeran Paramishora lantas memberanikan diri memproklamirkan berdirinya sebuah Kerajaan baru bernama Kerajaan Malaka. Dan Kerajaan Malaka inilah cikal bakal negara Malaysia sekarang.

Mendengar diproklamirkannya sebuah Kerajaan baru di Semenanjung Malaka yang merupakan wilayah Majapahit dan yang tidak mengakui kedaulatan Majapahit, penguasa Majapahit kala itu, yaitu Prabhu Wikramawardhana, tidak tinggal diam. Pangeran Paramishora, meminta bantuan Kaisar China dan menyatakan tunduk kepada Kekaisaran China, sehingga mau tidak mau Angkatan Perang Majapahit jika hendak merebur kembali Malaka, harus berhadapan dengan Angkatan Perang China!

Pangeran Paramoshora memang cerdik, bahkan untuk memperkuat tercapai ambisinya, dia menyatakan masuk Islam karena dia menyadari, di Malaka kebanyakan masyarakatnya telah memeluk Islam. Begitu masuk Islam dia mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah. Dan Malaka lantas berubah menjadi sebuah kekhalifahan Islam. Para penduduk Malaka dan Samudera Pasai menyatakan dukungannya kepada Kekhalifahan Malaka. Praktis, kini Majapahit harus menghadapi dua kekuatan sekaligus, yaitu kekuatan Angkatan Perang China dan kekuatan Islam.

Dilain pihak, dipusat kekuasaan Majapahit sendiri, segala keputusan penting yang menyangkut Kedaulatan Negara, terkesan sangat lambat dan tidak tegas. Terutama kebijakan yang terlampau lunak kepada orang-orang Islam yang ada diwilayah Majapahit membuat Majapahit semakin kehilangan pamornya. Kebijakan yang teramat lunak ini juga tak lepas dari banyaknya petinggi Kerajaan yang telah beragama Islam. Maka tak heran, kebijakan yang terlampau lunak kepada orang-otrang Islam, kerap kali mewarnai keputusan-keputusan yang diambil. Dan menyangkut urusan Malaka, pada akhirnya, Malaka lepas juga dari wilayah Majapahit. Konfrontasi yang hendak dijalankan, tidak pernah terwujud. Majapahit tengah disetir oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak kasat mata.

Sultan Iskandar Syah, meninggal dunia pada tahun 1414 Masehi. Dia digantikan oleh Muhammad Iskandar Syah. Sepuluh tahun kemudian (1424 M ), terjadi perebutan kekuasaan. Adik Muhammad Iskandar Syah, yaitu Mudzafar Syah, merebut tahta Kekhalifahan. Situasi politik Malaka mencekam.

Pada masa inilah, Syeh Datuk Sholeh, seorang ulama Islam terkemuka yang tinggal di Malaka, melarikan diri ke Jawa.

Syeh Datuk Sholeh, adalah putra dari Syeh Datuk Isa. Syeh Datuk Isa adalah ulama terkemuka juga di Malaka, beliau putra Syeh Ahmad Jalalluddin, ulama Islam yang bermukim di Champa ( Kamboja sekarang : Damar Shashangka ). Syeh Ahmad Jalalluddin adalah pendatang dari India, dia adalah putra Syeh Abdullah Khannuddin, seorang Mursyid Thariqat Syathariyyah yang terkenal di Ahmadabad, India. Syeh Abdullah Khannuddin sendiri adalah putra Syeh Abdul Malik yang juga seorang pendatang di India. Beliau berasal dari Qazam, Hadramaut. Syeh Abdul Malik adalah putra Syeh 'Alawy. Syeh Alawiy adalah keturunan seorang ulama terkenal yang bernama Syeh Isa al-Muhajjir al-Bashori al- 'Alawiy.

Pada tahun 1425 Masehi, Syeh Datuk Sholeh, tiba di Caruban Larang ( Cirebon sekarang : Damar Shashangka ). Kedatangannya bersama istri beliau dan para pengikutnya. Setibanya di Caruban Larang, yang waktu itu sudah diperintah oleh Pangeran Cakrabhuwana, beliau memilih menetap di daerah Pakuwuan Caruban atau Astana Japura sekarang, terletak sebelah tenggara kota Caruban Larang.

Di Caruban, beliau bersahabat dekat dengan Syeh Datuk Kahfi, seorang ulama Islam yang telah lebih dahulu tiba di Caruban, bahkan jauh-jauh hari sebelum Pangeran Cakrabhuwana mendirikan Caruban Larang. Syeh Datuk Kahfi inilah, guru dari Pangeran Cakrabhuwana.

Pada awal tahun 1426 Masehi, Syeh Datuk Sholeh wafat. Kala itu, istri beliau yang tengah mengandung semenjak kepergiannya dari Malaka, melahirkan seorang putra. Putra yang lahir yatim ini, diberi nama San 'Ali Anshar. Kelak, San 'Ali Anshar inilah yang terkenal dengan nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar.

Sejak kecil, San 'Ali Anshar diasuh oleh Ki Danusela, sahabat Syeh Datuk Sholeh. Menginjak usia lima tahun, Ki Danusela mengirimkan San 'Ali Anshar ke pasantren Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Syeh Satuk Kahfi.

San 'Ali Anshar, adalah santri generasi kedua dari Pesantren Giri Amparan Jati. Pada generasi pertama, tercatat nama Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara Santang. Keduanya adalah putra-putri Prabhu Silihwangi, Raja Pajajaran. Dan Pangeran Walang Sungsang, lantas bergelar Pangeran Cakrabhuwana, sedangkan Dewi Rara Santang lantas berganti nama menjadi Syarifah Muda'im. Syarifah Muda'im adalah ibu dari Syarif Hidayatullah yang kelak terkenal dengan nama Sunan Gunungjati.

Menginjak dewasa, San 'Ali Anshar setelah merasa cukup menimba ilmu agama dari Syeh Datuk Kahfi, dia lantas memutuskan untuk menuju pedalaman Pajajaran. San 'Ali Anshar merasa bahwa apa yang dicarinya selama

Di Pajajaran, San 'Ali Anshar berhasil berguru kepada seorang Yogi Hindhu. Dari Sang Yogi, San 'Ali Anshar mendapatkan pelajaran Yoga yang bersumber dari Rontal Catur Viphala, sebuah sistem Yoga yang juga dipelajari oleh Prabhu Kertawijaya ( pengganti Ratu Suhita ) Raja Majapahit.

San 'Ali Anshar, mampu dengan cemerlang menguasai empat tahapan sistem Yoga Catur Viphala. Empat tahap yang disebut Nis-Prha, Nir-Hana, Nis-Kala dan Nir- Asraya.

Dalam tahap Nis- Prha, seorang Sadhaka ( pengembara spiritual ) diharapkan sudah mampu melampaui segala macam keinginan duniawinya. Duniawi sudah tidak menarik minatnya lagi. Kehendak 'aku'-nya hanya terarah pada 'Sang Atma' atau 'Aku- Semesta'. Seluruh Panca Indrya ( Lima Indra penghubung dengan dunia Maya ) dan Panca Karmendrya ( Lima Indera penggerak badan kasar ), sudah mampu ditundukkan. Demikian juga dengan Manah ( Pikiran ), Citta ( Ingatan ), Ahamkara ( Keakuan ) dan Buddhi ( Kesadaran terbatas ), sudah sangat tenang. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata : Heneng ( Tenang )

Dalam tahap Nir-Hana, seorang sadhaka diharapkan sudah mampu menyadari sebenar-benarnya, bahwa diri-Nya adalah bagian dari Kesadaran Murni Semesta. Telah benar-benar menyadari bahwa diri-Nya adalah Atma. Diri-Nya bukanlah Badan Kasar atau Sthula Sariira yang terlihat ini. Diri-Nya bukanlah Badan Halus atau Suksma Sariira yang terdiri dari Manah, Citta, Ahamkara, Buddhi dan kesepuluh Indra ini. Diri-Nya tak lain adalah percikan Brahman, sebuah Kesadaran Total Murni Yang Absolut Transendental. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata : Hening ( Jernih ).

Dalam tahap Nis- Kala, seorang sadhana sudah mampu melampaui Badan Kasar dan Badan Halusnya. Seorang sadhana sudah menyadari betul, bahwa Badan Kasar dan Badan Halus hanyalah produk Maya, Produk Alam, yang tidak kekal dan bakalan musnah. Sandahan benar-benar menyadari hanya Atma-lah yang kekal, karena Atma tidak diciptakan. Atma adalah percikan Brahman. Sang Sadhana sudah melihat kebenaran ini Dia sudah mampu melihat apa itu Atma, apa itu Brahman. Sang Sadhana sudah bisa melihat bahwasanya Atman dan Brahman adalah Satu. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata : Hunong ( Melihat ).

Dalam tahap Nir- Asraya, Sang Sadhana sudah mampu melebur 'aku'-nya. Sudah mampu memecahkan belenggu 'Aku'-Nya Sudah melampaui Mindnya. Dan Atma sang Sadhana yang ternyata adalag Satu Kesatuan Tunggal dengan Brahman, kini telah menikmati kondisi penyatuan ini, penyatuan yang telah lama Ia lupakan. Menikmati Ketunggalan yang telah lama tak disadarinya akibat pengaruh Maya, pengaruh Mind. Pengaruh 'aku' kecilnya sendiri. Sang Sadhana telah lebur kedalam Kebahagiaan Sejati Yang Tiada Akhir. San 'Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata ; Menang ( Kemenangan ).

Di Pajajaran, melalui bimbingan seorang Yogi Hindhu, San 'Ali Anshar, mencapai 'Puncak Kesadaran'. Dan dari Pajajaran inilah, San 'Ali Anshar menyadari bahwa seluruh alam ini, sesungguhnya adalah Satu Kesatuan. Terlihat berbeda karena setiap makhluk masih terliputi kesadaran Badan Halus. Sehingga muncul 'aku' kecil. Begitu 'aku' kecil muncul, maka setiap makhluk merasa terpisah sebagai pribadi-pribadi tersendiri. Begitu pengaruh Maya ini berhasil disingkapkan, maka semua yang terlihat hanyalah Brahman semata. San 'Ali Anshar bersujud syukur, karena melalui seorang Yogi Hindhu, dia bisa menyadari semua ini. Bahkan akhirnya, dia juga bisa memahami apa yang pernah diucapkan oleh seorang Sufi terkenal, yaitu Abu Yazid al-Busthami, manakala beliu pernah berkata kepada seseorang yang tengah mencarinya. Seseorang yang tengah mengetuk pintu rumahnya. Beliau bertanya : Siapa ?.Yang mengetuk menjawab : Aku, mencari Abu Yazid. Beliau lantas menjawab : Pergilah. Yang ada dirumah ini hanya Allah!.

Setelah berhasil memperoleh Kesadaran Purna dari Pajajaran, hasrat San 'Ali Anshar untuk melakukan pengembaraan, tak terbendung lagi. Dia bertolak ke Palembang. Menemui Arya Damar. Disana San 'Ali Anshar memperdalam lagi puncak spiritualitas yang sesungguhnya telah ia dapatkan.

Arya Damar adalah bangsawan Palembang. Dia adalah putra Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi dengan seorang putri China. Nama China Arya Damar adalah Swan Liong. Dia adalah peranakan Jawa-China. Sempat belajar agama kepada Syeh Ibrahim As-Samarqand atau yang di Jawa terkenal dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Syeh Ibrahim As-Samarqand inilah ayah kandung Sunan Ampel. Arya Damar inilah ayah tiri Raden Patah. ( Baca catatan saya : Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ).

Di Palembang, San 'Ali Anshar bersama Arya Damar membuktikan bahwa seluruh semesta ini sejatinya adalah satu kesatuan tunggal. Sehabis dari Palembang, San 'Ali Anshar melanjutkan pengembaraannya ke Kesultanan Malaka ( +/- 1450 M ). Di Malaka, San 'Ali Anshar dikenal dengan nama Syeh Jabaranta, Bahkan, akibat pertemuannya dengan Syeh Datuk Ahmad, yaitu kakak kandung Syeh Datuk Sholeh, ayahnya, San 'Ali Anshar, diberi nama baru, yaitu Syeh Abdul Jalil.

Rasa ingin mengenal semesta raya yang semakin meletup-letup didada San 'Ali Anshar yang kini dikenal dengan nama Syeh Abdul Jalil, membuatnya memutuskan untuk melanjutkan pengembaraan ke Baghdad, Irak. Bersama seorang ulama Sufi asal Baghdad yang menetap di Malaka, bernama Syeh Ahmad Al-Mubasyarah Al- Tawwalud, Syeh Abdul Jalil, berangkat ke Baghdad.

Di Baghdad, Syeh Abdul Jalil semakin intensif mempelajari spiritualitas. Apalagi disana, dikediaman Al-Tawwalud, banyak naskah-naskah Sufistik yang tersimpan. Seluruh kitab Sufistik mulai dari Ihya' Ulumuddin-nya Al-Ghazali, Fushushul Hikam-nya Ibnu 'Araby, karya-karya Abu Yazid Al-Busthami bahkan At-Thawasun-nya Al-Hallaj, yang terkenal dengan ucapannya 'Anna Al-Khaq' ( Aku-lah Kebenaran Sejati ) dan yang hidupnya berakhir targis ditiang eksekusi mati, semuanya berhasil dipelajari oleh Syeh Abdul Jalil. Termasuk pula kitab Haqiqatul Haqoiq, Insan Kamil dan Manazilul Alahiyyah-nya Al-Jilli, semuanya berhasil dipahaminya.

Setelah dirasa cukup, Syeh Abdul Jalil meneruskan pengembaraannya ke Makkah. Setelah mengunjungi Makkah, Syeh Abdul Jalil bertolak pulang ke Jawa.

Syeh Abdul Jalil tiba kembali dipulau Jawa pada tahun 1463 Masehi. Caruban Larang, kini telah berubah menjadi daerah otonom. Pangeran Walang Sungsang kini menjawab sebagai Penguasa tunggal wilayah Caruban Larang dan bergelar Pangeran Cakrabhuwana, serta bergelar Shrii Manggana. Gelar terakhir adalah gelar pemberian dari ayahandanya Prabhu Silih Wangi.

Syeh Datuk Kahfi, masih dianugerahi usia panjang.

Kedatangan Syeh Abdul Jalil ini diketahui oleh Dewan Wali Sangha, yaitu semacam Majelis Ulama Jawa yang berpusat di Ampeldhenta, Surabaya. Majelis Ulama Jawa ini berdiri pada tahun 1454 dibawah pimpinan Raden 'Ali Rahmad atau lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. ( Baca catatan saya : Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ).

Selama beberapa tahun meninggalkan Jawa, telah banyak sekali perubahan yang terjadi. Syeh Abdul Jalil melihat umat Islam sekarang terkesan lebih militan, jauh berbeda dengan kesan sebelum beliau meninggalkan Jawa.

Karena di Jawa bagian barat kepemimpinan Islam belum ada yang memegang, atas usul Sunan Benang, Syeh Abdul Jalil diangkat sebagai wakil Dewan Wali di sana. Syeh Abdul Jalil, yang setibanya di Caruban mendapat gelar baru Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, menerima tawaran itu.

Namun melihat dominasi Dewan Wali Sangha yang semakin hari semakin tidak mencerminkan Islam yang sesungguhnya, membuat Syeh Siti Jenar harus berkali-kali melayangkan protesnya kepada Sunan Ampel. Syeh Siti Jenar tidak menyetujui gerakan-gerakan lasykar Islam yang kian hari kian radikal. Harmonisasi terganggu. Toleransi terkoyak. Etika kemanusiaan tercampak. Dan ujung-ujungnya Islam menjadi kambing hitam.

Pada puncaknya, Syeh Siti Jenar menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Bagi beliau, spiritualitas Islam yang universal, menjadi terasa sempit terhimpit dinding-dinding kelembagaan Dewan Wali. Dan, Syeh Siti Jenar tidaklah sendiri, seorang anggota Dewan Wali, yang sangat disegani diwilayah Majapahit, yaitu Sunan Kalijaga, mempunyai pandangan yang sama dengan beliau. Maka, dimata Dewan Wali, kedua tokoh ini telah menjadi dua sosok figur 'pemberontak'.

Seorang santri senior Sunan Ampel, yang bernama Sunan Giri, menamakan kelompok Syeh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, sebagai kelompok Abangan, semacam kelompok bid'ah. Kelompok yang tidak mengamalkan ajaran Islam secara keseluruhan, sepotong-sepotong. Dan, situasipun memanas. Ummat Islam Jawa terpecah menjadi dua kelompok besar. Mereka yang berpandangan bahwasanya umat beragama lain berhak berdampingan secara sejajar dengan umat Islam, saling asah, asih dan asuh, saling memberi, saling mengisi, dikelompokkan oleh Sunan Giri sebagai pengikut Abangan. Sedangkan kelompok yang berpandangan bahwa Islam adalah kebenaran tunggal, tidak ada lagi agama yang benar kecuali Islam, tidak ada lagi toleransi bagi mereka yang bukan Islam kecuali ada perjanjian tertulis dan selayaknya ajaran Islam yang berhak mendominasi segala aspek kehidupan manusia, dikelompokkan sebagai kaum Putihan.

Pada tahun 1475 Masehi, Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana, beserta ibunya Syarifah Muda'im, datang ke Cirebon dari Mesir. Mengingat kedudukan kepemimpinan Islam di Jawa bagian barat tengah kosong, maka Dewan Wali Sangha meminta Syarif Hidayatullah bersedia mengisi kekosongan itu. Syarif Hidayatullah lantas terkenal dengan nama Sunan Gunungjati.

Menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Kepemimpinan Dewan Wali Sangha beralih ketangan Sunan Giri. Melihat perubahan yang tak terduga ini, mau tak mau posisi abangan sangat terjepit.

Dan manakala mendengar Pesantren Krendhasawa yang diasuh oleh Syeh Siti Jenar mengalami kemajuan sedemikian pesat, dimana materi pengajaran yang diajarkan ternyata sangat-sangat lunak bagi akidah Islam, begitu menurut Sunan Giri, bahkan tassawuf adalah materi utama yang diajarkan disana melebihi ilmu-ilmu yang lain, maka Sunan Giri, yang merasa sebagai Wali Mukmin, Pemimpin Dewan Wali, meminta Syeh Siti Jenar untuk menghadap ke Giri.

Dewan Wali Sangha yang mendapati bahwa Syeh Siti Jenar benar-benar sudah diluar kontrol, diam-diam memutuskan untuk menyingkirkan beliau.

Pada tahun 1478, Demak Bintara mengadakan perebutan kekuasaan. Majapahit berhasil dihancurkan ( Baca catatan saya ; Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ). Perebutan kekuasaan yang berakhir sukses gemilang ini membuat orang-orang Islam golongan Putihan merasa bangga. Kala itu, mereka yakin, Tuhan telah merestui perjuangan mereka. Andai saja mereka tahu, seandainya Majapahit tetap berdiri kokoh, kelak Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara secara keseluruhan. Sebab dengan dihancurkannya Majapahit, maka integrasi wilayah-wilayah diluar pulau Jawa yang selama ini mampu disatukan dalam panji kebesaran Majapahit, akan sangat sulit dilakukan oleh Demak Bintara, mengingat Demak Bintara memiliki kebijakan politik yang sangat kaku.

Begitu juga, hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa, pasti tidak akan bisa berjalan lancar selancar disaat Majapahit masih berkuasa. Bangsa Eropa dan dunia Islam, semenjak Perang Salib, telah memiliki dendam sejarah yang teramat dalam. Mau tidak mau, untuk memperlancar kembali pasokan rempah-rempah dari Nusantara yang kini didominasi kekuatan Islam, maka politik konfrontasi akan dikedepankan oleh bangsa-bangsa Eropa.

Secara tidak sadar, ummat Islam Putihan telah mengundang konflik lebih besar bagi Nusantara. Mengundang keterpurukan Nusantara dalam jangka waktu yang cukup lama.

Namun dikala itu, disaat mereka telah berhasil menghancurkan Majapahit, mereka benar-benar optimis, benar-benar yakin, bahwa dengan tegaknya Kesultanan Demak Bintara, maka Nusantara akan diberkahi kemakmuran oleh Tuhan.

Pada kenyataannya, sejak masa itu, Nusantara terus tenggelam kedasar jurang keterbelakangan dan kemiskinan. Mana janji Tuhan ? Seandainya Majapahit tetap berdiri, maka dapat dipastikan, Nusantara akan tetap tegak sejajar dengan China!

Kubu Abangan tidak ikut campur sama sekali dengan urusan perebutan kekuasaan ini. Namun, begitu kaum Putihan memenangkan pertarungan, maka bukan saja komunitas Hindhu-Buddha, kubu Abangan-pun ikut tersudut. Dan pada puncaknya, mereka lama-lama tidak betah juga terus-terusan disudutkan, dihakimi, diajari, dinasehati bahkan diintimidasi. Banyak para pengikut Abangan yang kemudian menjauhi pusat-pusat perkotaan. Menyingkir ke pedesaan. Membentuk kelompok-kelompok kecil, terpisah-pisah dan terkucil. Dan pada perkembangan selanjutnya, sebagian dari mereka ini menyebut dirinya sebagai penganut aliran Kejawen.

(Bersambung).


LIST OF COMMENTS

1/2. Ms
Written by Guest - Thursday, December 10 2009


"Pada kenyataannya, sejak masa itu, Nusantara terus tenggelam kedasar jurang keterbelakangan dan kemiskinan. Mana janji Tuhan ? Seandainya Majapahit tetap berdiri, maka dapat dipastikan, Nusantara akan tetap tegak sejajar dengan China!" comment: siapa yg bisa menjamin bahwa Majapahit akan sejajar dengan China kalau tidak ada gerakan para sunan?, sejarah Imperium China sendiri dimulai nyaris 300 tahun sebelum Masehi dan terus berkembang dari masa ke masa, sepertinya penulis harus membaca lebih banyak lagi dan mengutip nara sumber yg aktual selain dirinya sendiri.

2/2. Giss
Written by Guest - Saturday, January 16 2010


"siapa yg bisa menjamin bahwa Majapahit akan sejajar dengan China kalau tidak ada gerakan para sunan?, sejarah Imperium China sendiri dimulai nyaris 300 tahun sebelum Masehi dan terus berkembang dari masa ke masa, sepertinya penulis harus membaca lebih banyak lagi dan mengutip nara sumber yg aktual selain dirinya sendiri" rasanya penjelasan diatas sudah sangat logis.... saat suatu bangsa bersatu, maka makin sulit untuk digoyahkan...persatuan salah satunya diperoleh dengan adanya sikap toleran terhadap agama/kepercayaan orang lain. yang berarti persatuan tentu tidak dapat dilakukan jika salah satu golongan/kepercayaan menganggap bahwa mereka lebih diatas daripada yang lain (mengganggap orang lain sampah) .....

Senin, 11 Oktober 2010

THE MYSTERIOUS DAY

MARILAH KITA SEMUA SEBAGAI RAKYAT JELATA LEBIH ELING DAN WASPADA
SEMAKIN MEMBANGUN ERATNYA TALI PERSAHABATAN DAN PERSAUDARAAN
Negeri ini tengah dilanda gelombang angkara murka, kemunafikan, oleh ulah para durjana yang kebetulan duduk sebagai penguasa, penegak hukum, dan orang yang mewakili rakyatnya. Entah yang beredok buaya, tikus, tokek, bulus, ular, harimau, cicak. Toh semua pemain sandiwara, para akrobator politik, para praktisi kebusukan akan segera sembunyikan diri di balik hiruk pikuknya gelombang bencana. Tapi jangan merasa aman dulu, luput dari pembalasan hukum alam saat ini, kesengsaraan setelah ajal sudah menanti dengan pasti.
September puncak bencana, yang dibuka dengan gempa Jawa Barat pada hari Rabu Pon tanggal 2 September 2009 kurang lebih pukul 14.55 WIB, dan ditutup oleh gempa Sumatera Barat pada hari Rabu Legi tanggal 30 September 2009 antara pukul 17.15 waktu Padang/16,55 waktu Jakarta/16.45 waktu Jateng-DIY/18.15 WIT/19.15 WITim. Puncak bencana tak hanya dilihat dari skala kerusakannya, namun juga jumlah korban jiwa yang berjatuhan. Benar, puncak bencana pada tahun ini sudah berlalu, tetapi kita masih tetap harus lebih waspada, lebih banyak bersyukur, agar selalu eling sangkan paraning dumadi. Sebab sepertinya tanda-tanda bahasa alam ingin menyampaikan pesan kepada bangsa ini, bahwa masih ada sekali lagi yang (lebih) besar. Bila secara geologi dan geografi memprediksi terjadi di wilayah Sumbar lagi, walau lebih besar tentu saja saat ini kondisinya lebih menguntungkan, di mana banyak rumah dan tenda-tenda darurat yang justru tidak membahayakan bila sewaktu-waktu terjadi gempa lagi. Yah, itulah prinsip keadilan alam semesta, di bawah kendali yang berasal dari sumber dari segala sumber energi pengendali. Bila harus mengulang, mudah-mudahan tak ada lagi korban nyawa dan penderitaan masyarakat, saudara-saudara kita di wilayah Sumatera Barat.
Bulan puncak bencana telah berlalu, kita tetap tak boleh lengah, tetap konsisten untuk selalu mengaktifkan “radar” kita, dengan cara bersikap eling dan waspada. Hawa panas, bahkan teramat panas, kali ini saya baru merasakan hawa paling panas sepanjang hidup saya. Tidak hanya di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, tetapi hampir di seluruh wilayah nusantara, terutama Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu. Hawa panas justru terasa berkurang di hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Hawa panas tersebut sangat terasa berbeda dengan gejala akan terjadi gempa . Jika akan terjadi gempa hawa panas tidak menimbulkan keringat, tetapi terasa menyengat seperti cabe menempel dikulit, terasa sekali terutama di tengkuk, daun telinga dan kulit wajah, dengan disertai udara yang tiba-tiba menjadi sangat pengap terasa sesak di dada. Energi bumi pun terasa mendorong dari bawah dan menghantam bagian pantat (cakra dasar).
Tetapi saat ini, hawa panas sudah terasa sebagai panasnya bebendu, tidak hanya pengap, juga memproduksi air keringat yang semakin banyak, sangat beda dengan hawa akan terjadi gempa yang tidak membuat keringat keluar. Malah terasa seperti ada tusukan-tusukan lembut, yang kadang membuat gatal (pating clekit). Membuat radang lobang hidung, polip mengembang pesat, dan hawa panas terkadang mengandung bau-bauan aneh yang tidak wajar. Suhu terasa naik turun dengan irama yang sangat acak, dengan tempo yang singkat. Hal ini membuat sebagian orang tak tahan, jatuh sakit dan berpengaruh pada emosi yang sangat labil, mudah stress, dan ego semakin memuncak. Inilah kelanjutan dari September puncak bencana.
LEBIH WASPADA DAN HATI-HATI
Meskipun hawa panas kali ini memiliki karakter yang berbeda, tetapi terkadang masih terselip hawa panas cirikhas akan terjadi gempa bumi. Nah, inilah yang semakin membuat tanda tanya besar. Lalu apalagi yang akan terjadi. Apakah selain gempa, akan ada bentuk lain dari bencana alam ? Seperti tradisi geografis yang memprediksi datangnya hujan dan awan. Semalaman tadi, Selasa malam-Rabu Pon 11-11-09, adalah suatu peristiwa. Peristiwa ini sudah 3 kali saya saksikan tampak adanya hubungan korelatif, dan saat inilah peristiwa (tanda-tanda) yang ke empat kalinya. Sehingga saya cukup untuk mengambil kesimpulan silogisme sementara jika ada A makan akan terjadi B. “peristiwa” atau “acara” tadi malam sekaligus sebagai pertanda akan ADA LAGI banyak nyawa yang menjadi “banten”, atau “tumbal” negeri ini, dalam waktu yg relatif tidak lama. Walaupun orang-orang yang menjadi tumbal, biasanya justru tidak sengsara “di-sana” tetapi tetap saja merupakan kejadian yang memilukan bagi keluarga dan masyarakat yang masih hidup. Jika di lihat skala besarnya “acara” tadi malam, tampaknya akan banyak sekali korban nyawa berjatuhan, mungkin tidak hanya ratusan, bahkan mungkin ribuan jumlahnya. Masih dalam rangka seleksi alam, dengan berputarnya sang cakra manggilingan, memutar roda hukum alam, termasuk hukum-hukum berkah dan bebendu. Yah, pertanda dalam bahasa alam, tidak lain merupakan prinsip keadilan Tuhan, kebijaksanaan alam, agar semua hukum alam berjalan secara “fairplay”. Untuk itu sebelumnya pasti selalu digelar bahasa isyarat berupa tanda-tanda alam dalam relung Sastra Jendra, agar dapat dibaca dan menjadi pepeling (peringatan) bagi banyak orang, agar supaya lebih hati-hati, elingwaspada. Binatangpun yang tak kenal agama, dengan arif dan bijak mampu “membaca” bahasa alam ini, sehingga “naluri” binatang mampu “weruh sadurunge winarah”, maka binatang bisa berjaga-jaga sebelum suatu bahaya datang dengan gerak sangat cepat. dan
Akhir kalimat, tulisan ini bukan bertujuan untuk membuat takut, bukan pula untuk menghasut karena tak ada pihak yang dihasut, bukan juga untuk provokasi karena bukan berurusan dengan mobilisasi massa. Apalagi bentuk terorisme mental, toh setiap detik dan menit di manapun kita SUDAH selalu menghadapi resiko alias bahaya. Tulisan ini hanya sekedar mengajak rekan-rekan, sahabat, para sanak kadhang, para sedulur, para pembaca yang budiman di manapun berada, agar senantiasa kita menjadi manusia yang lolos seleksi alam. Bukankah setiap kesulitan, bencana, penderitaan, selalu menyisakan celah sekalipun sempit, agar makhluk hidup bisa mengambilnya sebagai jalan keluar mencari keselamatan ??!! Ibarat kita mengepalkan jari tangan erat-erat, tetap menyisakan celah walaupun sangat sempit. Semoga para pembaca yang budiman, seluruh seddulur NKRI, siapapun, agama apapun, di manapun, suku apapun, bahasa apapun selalu dalam celah-celah keselamatan, ketenangan, ketenteraman, kebahagiaan, dengan penuh berkah Gusti Ingkang Murbeng Gesang. Salam karaharjan, wilujeng rahayu kang tinemu, bondo lan beja kang teka.

Kamis, 07 Oktober 2010

SUJUD ITU MENGANDUNG PERUWATAN

Memahami atau meneliti dan mendalami pengetahuan tentang Tesing Dumadi adalah sebuah perenungan yang mendalam tentang hakekat manusia untuk selalu bisa bersikap andap asor, wani ngalah luhur wekasane dan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti menuju manusia yang sempurna dapat memayu hayuning buana agung maupun alit (jagad pribadi). Bahwasanya sebuah kelahiran adalah proses sang urip melanjutkan perjalanan hidupnya yang panjang akibat buah karma yg pernah dialaminya. Mulai saat menemukan orang tuanya menjadi benih yang tertanam di gua garba sang Ibu telah menimbulkan ulah sperti contoh Ibunya harus merasakan mual-mual (ngidam) kepingin makan yang aneh-aneh. Tiba-tiba dimalam hari kepingin makan buah duren padahal waktu itu tidak lagi musim duren, tentu membuat orang tuanya susah bahkan bisa menimbulkan pertengkaran kalau keinginan tsb tidak terpenuhi. Begitu pula orang tuanya harus memeriksakan kandungannya secara rutin untuk jaga-jaga agar sijabang bayi tetap sehat, bila ada kelainan tentu membuat kekhawatiran, begitu pula orang tuanya harus ekstra kerja keras mempersiapkan kelahirannya dsb.
Saat bayi tersebut lahir dengan tangisan yg begitu lantang berseru kepada umat manusia bahwa hidup itu adalah sebuah penderitaan,  namun disisi lain diluaran sana orang tua dan keluarganya menyambut dengan suka cita bahwa hidup adalah sebuah anugrah Tuhan yg mesti disyukuri. Kelahiran telah memberi inspirasi baru, motivasi baru untuk tetap sabar dan tabah melanjutkan perjuangan hidup itu sendiri.
Anak yang lahir tersebut kini menjalani kehidupan bersama kedua orang tuannya, mengajarinya, memperkenalkannya dg lingkungan sekitarnya, menyekolahkannya, memberinya tuntunan moral dsb agar anak tsb berguna bagi sesamanya. Dsisi lain sianak bisa juga menjadi musibah bagi orang tuanya, karena telah menyusahkan sehingga ada anak-anak yg terlantar, jadi pengemis, dibunuh, dibuang,   merugikan bagi sesamanya dsb.
Terlepas dari bagaimana perjalanan anak tersebut, kini anak manusia itu tersadar bahwa tujuan hidup sesungguhnya adalah kembali pada purwa duksina, kembali pada sankan paraning dumadi. Nah disinilah persoalannya setiap orang tidak sama pengalamannya. Ada warga yg begitu mudah memahami ajaran Kerohanian Sapta Darma, ada warga yang sudah puluhan tahun menjadi warga tapi sangat susah merasakan penelitiannya, bahkan untuk bisa yang namanya hening saja susah. Banyak warga yang tadinya tekun akhirnya putus asa karena tidak menemukan apa-apa lalu mundur menjadi warga. Tidak hanya ditingkat warga, yang sudah ditunjuk menjadi Tuntunanpun.
Kembali pada masalah Tesing Dumadi Manusia, bahwa sangat mempengaruhi bagaimana warga tersebut bisa sujud yang sempurna yang dapat merasakan rasa yg semulya-mulyanya.
Sujud itu sendiri sesungguhnya mengandung peruwatan didalamnya. Dan hampir semua telah membuktikannya, apalagi saat melakukan penelitian pada sujud penggalian. Rasa panas, sakit dikaki, kadang-kadang sapta rengganya diruwat seperti dijewer telinganya, dikucek-kucek mulutnya malah ada yng merasakan seperti matanya disikat dsb. Inti semua itu adalah pembersihan pribadi atas kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sehar-hari.
Bagaimana kalau kesalahan/kekeliruan akibat prilaku sebelumnya yg belajar ilmu sesat, atau pernah berkolaborasi dengan setan atau jin, makluk halus dsb. Apakah semudah itu kita bisa melepaskannnya. Begitu pula tidak pernah belajar ilmu tetapi ditempeli oleh kekuatan leluhurnya yg dulunya sakti mandra guna ?. Dan untuk ini banyak kasus yg ada. Ada warga yang mewarisi banyak pusaka bertuah dari leluhurnya, sehingga mempunyai kemampuan metafisik meski merasa tak pernah berguru dg siapapun.
Keluhan warga yang susah saat sujud kehadapan Hyang Maha Kuasa menjadi PR bagi para Tuntunan untuk mencari tahu /mendeteksi warganya apa penyebabnya?………..to be continyu.

Minggu, 03 Oktober 2010

Penggalian "Wahyu Pancasila" Bung Karno

Pancasila merupakan dasar negara. Penggalian Pancasila tersebut sebagai dasar negara telah melalui proses yang panjang. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia pertama yang juga dikenal dengan Bung Karno telah menggali Pancasila yang telah menjadi sikap hidup bangsa Indonesia sejak dulu kala. Menurut faham ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila itu merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (Wahyu tujuh ajaran yang masing-masing berisi lima butir ajaran mencapai kemuliaan, ketentraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/akhirat). Sementara itu ada tokoh spiritual lain menyebutkan Panca Mukti Muni Wacana yang hanya terdiri atas lima kelompok (bukan tujuh).

Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya itu terdiri atas :

1. Pancasila
Pancasila merupakan butir-butir ajaran yang perlu dijadikan rujukan pembentukan sikap dasar atau akhlak manusia.

1.1. Hambeg Manembah

Hambeg manembah adalah sikap ketakwaan seseorang pada Tuhan Yang Mahaesa. Manusia sebagai makhluk ciptaanNya wajib memiliki rasa rumangsa lan pangrasa (menyadari) bahwa keberadaannya di dunia ini sebagai hamba ciptaan Ilahi, yang mengemban tugas selalu mengabdi hanya kepadaNya. Dengan pengabdian yang hanya kepadaNya itu, manusia wajib melaksanakan tugas amanah yang diemban, yaitu menjadi khalifah pembangun peradaban serta tatanan kehidupan di alam semesta ini, agar kehidupan umat manusia, makhluk hidup serta alam sekitarnya dapat tenteram, sejahtera, damai, aman sentosa, sehingga dapat menjadi wahana mencapai kebahagiaan abadi di alam kelanggengan (akhirat) kelak (Memayu hayu harjaning Bawana, Memayu hayu harjaning Jagad Traya, Nggayuh kasampurnaning hurip hing Alam Langgeng).

Dengan sikap ketakwaan ini, semua manusia akan merasa sama, yaitu berorientasi serta merujukkan semua gerak langkah, serta sepak terjangnya, demi mencapai ridlo Ilahi, Tuhan Yang Maha Bijaksana (Hyang Suksma Kawekas).

Hambeg Mangeran ini mendasari pembangunan watak, perilaku, serta akhlak manusia. Sedangkang akhlak manusia akan menentukan kualitas hidup dan kehidupan, pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

1.2. Hambeg Manunggal

Hambeg manunggal adalah sikap bersatu. Manusia yang hambeg mangeran akan menyadari bahwa manusia itu terlahir di alam dunia ini pada hakekatnya sama. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap insan itu memang merupakan tanda-tanda kebesaran Hyang Suksma Adi Luwih (Tuhan Yang Maha Luhur). Oleh karena itu sebagai salah satu bentuk dari sikap ketakwaan seseorang adalah sikap hasrat serta kemauan kerasnya untuk bersatu. Perbedaan tingkatan sosial, tingkat kecerdasan, dan perbedaan-perbedaan lain sebenarnya bukan alat untuk saling berpecah belah, tetapi malah harus dapat dipersatukan dalam komposisi kehidupan yang serasi serta bersinergi. Hanya ketakwaan lah yang mampu menjadi pendorong tumbuhnya hambeg manunggal ini, karena manusia akan merasa memiliki satu tujuan hidup, satu orientasi hidup, dan satu visi di dalam kehidupannya.

Di dalam salah satu ajaran spiritual, hambeg manunggal itu dinyatakan sebagai, manunggaling kawula lan gustine (bersatunya antara rakyat dengan pemimpin), manunggale jagad gedhe lan jagad cilik (bersatunya jagad besar dengan jagad kecil), manunggale manungsa lan alame (bersatunya manusia dengan alam sekitarnya), manunggale dhiri lan bebrayan (bersatunya individu dengan masyarakat luas), manunggaling sapadha-padha (persatuan di antara sesama), dan sebagainya.

1.3. Hambeg Welas Asih

Hambeg welas asih adalah sikap kasih sayang. Manusia yang hambeg mangeran, akan merasa keberadaan dirinya dengan sesama manusia memiliki kesamaan hakikat di dalam hidup. Dengan kesadaran itu, setelah hambeg manunggal, manusia wajib memiliki rasa welas asih atau kasih sayang diantara sesamanya. Sikap kasih sayang itu akan mampu semakin mempererat persatuan dan kesatuan.

1.4. Hambeg Wisata.

Hambeg wisata adalah sikap tenteram dan mantap. Karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia akan bersikap tentram dan merasa mantap dalam kehidupannya. Sikap ini tumbuh karena keyakinannya bahwa semua kejadian ini merupakan kehendak Sang Pencipta.

Hambeg wisata bukan berarti pasrah menyerah tanpa usaha, tetapi justru karena kesadaran bahwa semua kejadian di alam semesta ini terjadi karena kehendakNya, sedangkan Tuhan juga menghendaki manusia harus membangun tata kehidupan untuk mensejahterakan kehidupan alam semesta, maka dalam rangka hambeg wisata itu manusia juga merasa tenteram dan mantap dalam melakukan usaha, berkarya, dan upaya di dalam membangun kesejahteraan alam semesta. Manusia akan merasa mantap dan tenteram hidup berinteraksi dengan sesamanya, untuk saling membantu, bahu membahu, saling mengingatkan, saling mat sinamatan, di dalam kehidupan.

1.5. Hambeg Makarya Jaya Sasama

Hambeg Makarya Jaya Sasama adalah sikap kemauan keras berkarya, untuk mencapai kehidupan, kejayaan sesama manusia. Manusia wajib menyadari bahwa keberadaannya berasal dari asal yang sama, oleh karena itu manusia wajib berkarya bersama-sama menurut potensi yang ada pada dirinya masing-masing, sehingga membentuk sinergi yang luar biasa untuk menjapai kesejahteraan hidup bersama. Sikap hambeg makarya jaya sesama akan membangun rasa "tidak rela" jika masih ada sesama manusia yang hidup kekurangan atau kesengsaraan.

2. Panca Karya

Panca karya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan berkarya di dalam kehidupan.

2.1. Karyaning Cipta Tata

Karyaning Cipta Tata adalah kemampuan berfikir secara runtut, sistematis, tidak semrawut (tidak worsuh, tidak tumpang tindih).

Manusia wajib mengolah kemampuan berfikir agar mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang dihadapinya secara sistematis dan tuntas. Setiap menghadapi permasalahan wajib mengetahui duduk permasalahannya secara benar, mengetahui tujuan penyelesaian masalah yang benar beserta berbagai standar kriteria kinerja yang hendak dicapainya, mengetahui kendala-kendala yang ada, dan menyusun langkah atau strategi penyelesaian masalah yang optimal.

2.2. Karyaning Rasa Resik

Karyaning rasa resik adalah kemampuan bertindak obyektif, bersih, tanpa dipengaruhi dorongan hawa nafsu, keserakahan, ketamakan, atau kepentingan-kepentingan pribadi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran/budi luhur.

2.3. Karyaning Karsa Lugu

Karyaning Karsa Lugu adalah kemampuan berbuat bertindak sesuai suara kesucian relung kalbu yang paling dalam, yang pada dasarnya adalah hakekat kejujuran fitrah Ilahiyah ( sesuai kebenaran sejati yang datang dari Tuhan Yang Maha Suci/Hyang Suksma Jati Kawekas ).

2.4. Karyaning Jiwa Mardika

Karyaning Jiwa Mardika adalah kemampuan berbuat sesuai dengan dorongan Sang Jiwa yang hanya menambatkan segala hasil karya, daya upaya, serta cita-cita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terbebas dari cengkeraman pancaindera dan hawa nafsu keserakahan serta ketamakan akan keduniawian. Karyaning Jiwa Mardika akan mampu mengendalikan keduniaan, bukan diperbudak oleh keduniawian (Sang Jiwa wus bisa murba lan mardikaake sagung paraboting kadonyan).

2.5. Karyaning Suksma Meneng

Karyaning Suksma Meneng adalah kemampuan berbuat berlandaskan kemantapan peribadatannya kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana, berlandaskan kebenaran, keadilan, kesucian fitrah hidup, " teguh jiwa, teguh suksma, teguh hing panembah ".

Di dalam setiap gerak langkahnya, manusia wajib merujukkan hasil karya ciptanya pada kehendak Sang Pencipta, yang menitipkan amanah dunia ini kepada manusia agar selalu sejahtera.

3. Panca Guna

Panca guna merupakan butir-butir ajaran untuk mengolah potensi kepribadian dasar manusia sebagai modal dalam mengarungi bahtera kehidupan.

3.1. Guna Empan Papaning Daya Pikir

Guna empan papaning daya pikir adalah kemampuan untuk berkonsentrasi, berfikir secara benar, efektif, dan efisien ( tidak berfikir melantur, meratapi keterlanjuran, mengkhayal yang tidak bermanfaat, tidak suka menyia-nyiakan waktu ).

3.2. Guna Empan Papaning Daya Rasa

Guna empan papaning daya rasa adalah kemampuan untuk mengendalikan kalbu, serta perasaan ( rasa, rumangsa, lan pangrasa ), secara arif dan bijaksana.

3.3. Guna Empan Papaning Daya Karsa

Guna empan papaning daya karsa adalah kemampuan untuk mengendalikan, dan mengelola kemauan, cita-cita, niyat, dan harapan.

3.4. Guna Empan Papaning Daya Karya

Guna empan papaning daya karya adalah kemampuan untuk berkarya, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.

3.5. Guna Empan Papaning Daya Panguwasa

Guna empan papaning daya panguwasa adalah kemampuan untuk memanfaatkan serta mengendalikan kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan secara arif dan bijaksana (tidak menyalahgunakan kewenangan). Kewenangan, kekuasaan, serta kemampuan yang dimilikinya dimanfaatkan secara baik, benar, dan tepat untuk mengelola (merencanakan, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi ) kehidupan alam semesta.

4. Panca Dharma

Panca dharma merupakan butir-butir ajaran rujukan pengarahan orientasi hidup dan berkehidupan, sebagai penuntun bagi manusia untuk menentukan visi dan misi hidupnya.

4.1. Dharma Marang Hingkang Akarya Jagad

Dharma marang Hingkang Akarya Jagad adalah melaksanakan perbuatan mulia sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban umat kepada Sang Pencipta. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Mahaesa untuk selalu menghambakan diri kepada-Nya. Oleh karena itu semua perilaku, budi daya, cipta, rasa, karsa, dan karyanya di dunia tiada lain dilakukan hanya semata-mata sebagai bentuk perwujudan dari peribadatannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk mensejahterakan alam semesta ( memayu hayuning harjaning bawana, memayu hayuning jagad traya ).

4.2. Dharma Marang Dhirine

Dharma marang dhirine adalah melaksanakan kewajiban untuk memelihara serta mengelola dhirinya secara baik. Olah raga, olah cipta, olah rasa, olah karsa, dan olah karya perlu dilakukan secara baik sehingga sehat jasmani, rohani, lahir, dan batinnya.

Manusia perlu menjaga kesehatan jasmaninya. Namun demikian mengasah budi, melalui belajar agama, budaya, serta olah batin, merupakan kewajiban seseorang terhadap dirinya sendiri agar dapat mencapai kasampurnaning urip, mencapai kebahagiaan serta kesejahteraan di dunia dan di akhirat.

Dengan kesehatan jasmani, rohani, lahir, dan batin tersebut, manusia dapat memberikan manfaat bagi dirinya sendiri.

4.3. Dharma Marang Kulawarga

Dharma marang kulawarga adalah melaksanakan kewajiban untuk memenuhi hak-hak keluarga. Keluarga merupakan kelompok terkecil binaan manusia sebagai bagian dari masyarakat bangsa dan negara. Pembangunan keluarga merupakan fitrah manusiawi. Kelompoh ini tentunya perlu terbangun secara baik. Oleh karena itu sebagai manusia memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas masing-masing di dalam lingkungan keluarganya secara baik, benar, dan tepat.

4.4. Dharma Marang Bebrayan

Dharma marang bebrayan adalah melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun kehidupan bermasyarakat secara baik, agar dapat membangun masyarakat binaan yang tenteram damai, sejahtera, aman sentosa.

4.5. Dharma Marang Nagara

Dharma marang nagara adalah melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun negara sesuai peran dan kedudukannya masing-masing, demi kesejahteraan, kemuliaan, ketenteraman, keamanan, kesetosaan, kedaulatan, keluhuran martabat, kejayaan, keadilan, dan kemakmuran bangsa dan negaran beserta seluruh lapisan rakyat, dan masyarakatnya.

5. Panca Jaya

Panca jaya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan penetapan standar kriteria atau tolok ukur hidup dan kehidupan manusia.

5.1. Jayeng Dhiri

Jayeng dhiri artinya mampu menguasai, mengendalikan, serta mengelola dirinya sendiri, sehingga mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang dihadapinya, tanpa kesombongan ( ora rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa lan hangrumangsani, kanthi rasa, rumangsa, lan pangrasa ).

5.2. Jayeng Bhaya

Jayeng Bhaya artinya mampu menghadapi, menanggulangi, dan mengatasi semua bahaya, ancaman, tantangan, gangguan, serta hambatan yang dihadapinya setiap saat, dengan modal kepandaian, kepiawaian, kecakapan, akal, budi pekeri, ilmu, pengetahuan, kecerdikan, siasat, kiat-kiat, dan ketekunan yang dimilikinya. Dengan modal itu, seseorang diharapkan mampu mengatasi semua permasalahan dengan cara yang optimal, tanpa melalui pengorbanan ( mendatangkan dampak negatif ), sehingga sering disebut 'nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake' ( menyerang tanpa pasukan, menang dengan tidak mengalahkan ).

5.3. Jayeng Donya

Jayeng donya artinya mampu memenuhi kebutuhan kehidupan di dunia, tanpa dikendalikan oleh dorongan nafsu keserakahan. Dengan kemampuan mengendalikan nafsu keserakahan di dalam memenuhi segala bentuk hajat serta kebutuhan hidup, maka manusia akan selalu peduli terhadap kebutuhan orang lain, dengan semangat tolong menolong, serta memberikan hak-hak orang lain, termasuk fakir miskin ( orang lemah yang nandang kesusahan/ papa cintraka ).

5.4. Jayeng Bawana Langgeng

Jayeng bawana langgeng artinya mampu mengalahkan semua rintangan, cobaan, dan godaan di dalam kehidupan untuk mempersiapkan diri, keturunan, dan generasi penerus sehingga mampu mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia dan akhirat.

5.5. Jayeng Lana ( mangwaseng hurip lahir batin kanthi langgeng ).

Jayeng lana artinya mampu secara konsisten menguasai serta mengendalikan diri lahir dan batin, sehingga tetap berada pada hidup dan kehidupan di bawah ridlo Ilahi.

6. Panca Daya

Panca daya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan sikap dan perilaku manusia sebagai insan sosial, atau bagian dari warga masyarakat, bangsa dan negara. Di samping itu sementara para penghayat spiritual kebudayaan Jawa mengisyaratkan bahwa pancadaya itu merupakan komponen yang mutlak sebagai syarat pembangunan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan sentosa lahir batin.

6.1. Daya Kawruh Luhuring Sujanma

Daya kawruh luhuring sujanma artinya kekuatan ilmu pengetahuan yang mampu memberikan manfaat kepada kesejahteraan alam semesta.

6.2. Daya Adiling Pangarsa

Daya adiling pangarsa/tuwanggana artinya kekuatan keadilan para pemimpin.

6.3. Daya Katemenaning Pangupa Boga

Daya katemenaning pangupa boga artinya kekuatan kejujuran para pelaku perekonomian ( pedagang, pengusaha ).

6.4. Daya Kasetyaning Para Punggawa lan Nayaka

Daya kasetyaning para punggawa lan nayaka artinya kekuatan kesetiaan para pegawai/ karyawan.

6.5. Daya Panembahing Para Kawula

Daya panembahing para kawula artinya kekuatan kemuliaan akhlak seluruh lapisan masyarakat ( mulai rakyat kecil hingga para pemimpinnya; mulai yang lemah hingga yang kuat, mulai yang nestapa hingga yang kaya raya, mulai kopral hingga jenderal, mulai sengsarawan hingga hartawan ).

7. Panca Pamanunggal ( Panca Panunggal )

Panca pamanunggal adalah butir-butir ajaran rujukan kriteria sosok manusia pemersatu. Sementara tokoh penghayat spiritual jawa menyebutkan bahwa sosok pimpinan yang adil dan akan mampu mengangkat harkat serta martabat bangsanya adalah sosok pimpinan yang di dalam jiwa dan raganya bersemayam perpaduan kelima komponen ini.

7.1. Pandhita Suci Hing Cipta Nala

Pandita suci hing cipta nala adalah sosok insan yang memiliki sifat fitrah, yaitu kesucian lahir batin, kesucian fikir dan tingkah laku demi memperoleh ridlo Ilahi.

7.2. Pamong Waskita

Pamong waskita adalah sosok insan yang mampu menjadi pelayan masyarakat yang tanggap aspirasi yang dilayaninya.

7.3. Pangayom Pradah Ber Budi Bawa Leksana

Pangayom pradhah ber budi bawa leksana adalah sosok insan yang mampu melindungi semua yang ada di bawah tanggungjawabnya, mampu bersifat menjaga amanah dan berbuat adil berdasarkan kejujuran.

7.4. Pangarsa Mulya Limpat Wicaksana

Pangarsa mulya limpat wicaksana artinya sosok insan pemimpin yang berbudi luhur, berakhlak mulia, cakap, pandai, handal, profesional, bertanggungjawab, serta bijaksana.

7.5. Pangreh Wibawa Lumaku Tama

Pangreh wibawa lumaku tama artinya sosok insan pengatur, penguasa, pengelola yang berwibawa, memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, mampu mengatur bawahan dengan kewenangan yang dimilikinya, tetapi tidak sewenang-wenang, karena berada di dalam selalu berada di dalam koridor perilaku yang mulia ( laku utama ).

Menurut KRMH. T.H. Koesoemoboedoyo, di dalam buku tentang "Wawasan Pandam Pandoming Gesang Wewarah Adiluhung Para Leluhur Nuswantara Ngudi Kasampurnan Nggayuh Kamardikan", pada tahun 1926, perjalanan spiritual Bung Karno, yang sejak usia mudanya gemar olah kebatinan untuk menggapai cita-citanya yang selalu menginginkan kemerdekaan negeri tercinta, pernah bertemu dengan seorang tokoh spiritual, yaitu Raden Ngabehi Dirdjasoebrata di Kendal Jawa Tengah. Pada saat itu Raden Ngabehi Dirdjasoebrata mengatakan kepada Bung Karno, " Nak,.. mbenjing menawi nagari sampun mardika, dhasaripun Pancasila. Supados nak Karno mangertos, sakpunika ugi kula aturi sowan dik Wardi mantri guru Sawangan Magelang ". ( " Nak, nanti jika negeri telah merdeka, dasarnya Pancasila. Supaya nak Karno mengerti, sekarang juga saya sarankan menemui dik Wardi, mantri guru Sawangan Magelang" ). Setelah Bung Karno menemui Raden Suwardi di Sawangan Magelang, maka oleh Raden Suwardi disarankan agar Bung Karno menghadap Raden Mas Sarwadi Praboekoesoema di Yogyakarta.

Di dalam pertemuannya dengan Raden Mas Sarwadi Praboekoesoemo itu lah Bung Karno memperoleh wejangan tentang Panca Mukti Muni Wacana dalam bingkai Ajaran Spiritual Budaya Jawa, yang terdiri atas Pancasila, Panca Karya, Panca Guna, Pancadharma, dan Pancajaya.

Terlepas dari kecenderungan faham pendapat Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya, atau Panca Mukti Muni Wacana, jika dilihat rumusan Pancasila ( dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ), beserta proses pengusulan rumusannya, dengan menggunakan kejernihan hati dan kejujuran, sepertinya dapat terbaca bahwa seluruh kandungan ajaran Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya dan atau Panca Mukti Muni Wacana itu termuat secara ringkas di dalam rumusan sila-sila Pancasila, yaitu :


1. Ketuhanan Yang Mahaesa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.