Semar disebut juga Badranaya

Mengemban sifat among, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.

Benih yang baik untuk hasil terbaik

Apabila menginginkan hasil yang baik maka tentulah dipilih bibit yang baik pula, bibit yang unggul, bibit yang sempurna.

Tesing dumadi, asal mula terjadinya Manusia.

Asal mula manusia adalah dari getaran tanaman dan getaran binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya tri tunggal yaitu nurcahya = sinar cahaya allah, nurrasa = sarinya Bapak dan nur buat = sarinya Ibu).

Pancasila..sikap hidup bangsa Indonesia.

Menurut ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (Wahyu tujuh ajaran yang masing-masing berisi lima butir ajaran mencapai kemuliaan, ketentraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/akhirat).

Apakah yang kita miliki..?

Ketika mati pun kita tidak akan membawa sepeser pun uang. Masihkah kita merasa sebagai makhluk yang adigang-adigung-adiguno?

Sujud dasawarsa, Sujudnya warga KSD

Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa.

Kita tidak sendiri

Alam beserta isinya adalah milik kita bersama...mari jaga kerukunan, kebersamaan dalam menjaga kelestarian demi generasi selanjudnya

out of body experience

Peristiwa out of body experience adalah merupakan gambaran awal dari kematian, Adalah merupakan indikasi putusnya hubungan Input sensor dalam tubuh, ketika kondisi manusia dalam konsisi sadar.

Butir-butir budaya jawa

Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawalesana Ngudi Sejatining Becik

Wewarah Tujuh

Merupakan kewajiban yang harus dijalankan Warga SAPTA DARMA dalam kehidupannya.

Sesanti

Sikap dan perilaku hidup dalam masyarakat yang harus diciptakan oleh Warga SAPTA DARMA.

Wejangan

Wejangan Panuntun Agung Sri Gutomo bagi warga SAPTA DARMA dalam mengenali jati diri yang sebenarnya.

Kamis, 17 Juni 2010

NEGARAWAN SEJATI

MANUSIA YANG MERDEKA DARI HEGEMONI LYMBIC SECTION

Otak Kiri Yang Belum Merdeka
Banyak sekali buku-buku yang ditulis. Bahkan berbagai pelatihan dengan beaya mahal dan sangat ekslusif. Dipresentasikan dengan alat-alat canggih dan mengagumkan. Dengan tujuan mengasah Otak Bagian Kanan yang mengolah impuls kelembutan, keindahan, spirit, bahkan disebut sebagai bagian otak di mana terdapat titik God Spot. Seolah-olah dengan cara itu kita dapat mengembangkan peran Otak Bagian Kiri dan dapat keluar dari berbagai persoalan. Kenyataannya tidaklah semudah dan sesederhana itu, Otak Bagian Kanan (OBKa) dan Otak Bagian Kiri (OBKi) sama saja. OBKa bekerja untuk mengolah dan memikirkan data-data non eksakta : metafisis, budaya, moralitas, seni, ide, gagasan, dan kesadaran spiritual. OBKi bekerja untuk hal-hal yang bersifat eksakta. Namun berdasarkan berbagai penelitian di Eropa dan Amerika, pengembangan OBKa dan OBKi sama saja apabila masih terkendali oleh Lymbic. Lymbic merupakan insting dasar hewani. Lymbic dipelajari pada ilmu neurosains kognitif. Lymbic memiliki beberapa sistem fisiologinya. Meliputi amigdala, Sirkuit Papez, dan termasuk pula Accelerated Learning. Amigdala berasal dari bahasa latin amygdalae (bahasa Yunani αμυγδαλή, amygdalē, almond, 'amandel') adalah sekelompok saraf yang berbentuk kacang almond. Pada otak vertebrata terletak pada bagian medial temporal lobe, secara anatomi amigdala dianggap sebagai bagian dari basal ganglia. Amigdala dipercayai merupakan bagian otak yang berperan dalam melakukan pengolahan dan ingatan terhadap reaksi emosi. Sirkuit Papez adalah suatu jalur utama pada sistem limbik di otak besar dan berperan pada korteks otak besar untuk mengontrol emosi. Sirkuit ini pertama kali dipaparkan oleh James Papez pada 1937. Sementara itu Accelerated Learning atau efektifitas belajar dan mengolah impuls dari luar diri, dan setiap informasi yang masuk ke otak kanan dan kiri terlebih dulu melalui sistem lymbic.

Oleh sebab itu, perkembangan Otak Kanan tanpa pembersihan dari polusi lymbic hanya akan menghasilkan benda-benda kebutuhan insting dasar atau hewani, hanya saja dikemas secara lebih indah dan mewah (hedonisme) saja. Perkembangan otak kiri tanpa pembersihan dari polusi lymbic hanya akan menghasilkan pola hidup yang sangat material dan cenderung destruktif. Itulah keadaan hidup manusia yang masih sangat primitif namun terkesan sebagai manusia kesadaran spiritual tinggi, menjadi soleh dan suci.

Manunggaling “Manusia-Hewan”

Bila kita hidup semata-mata untuk memenuhi kebutuhan insting dasar saja, sesungguhnya kita masih menjadi binatang yang berevolusi kesadaran yang sangat lambat alias masih menjadi binatang yang berkedok jasad manusia. Perbedaannya terletak di mana binatang tidak bisa berpura-pura dan mengelabuhi dirinya sendiri (munafik), sebaliknya manusia dengan perangkat mind (otak sadar/pikiran/akal) mampu berpura-pura seolah bukanlah binatang. Kepura-puraan (sikap munafik) ini berkat pendayagunaan OBKa yang diperhalus OBKi, sehingga manusia lebih mampu memoles insting-insting hewani menjadi lebih halus dan samar. Kita lebih pandai mengelabuhi orang lain seolah telah menjadi insan kamil, manusia sejati, dengan kesadaran spiritual ultra tinggi (highest consciousness). Maka banyak kita membaca berita di koran-koran seorang rohaniawan, pemimpin, politisi, penegak hukum, intelektual melakukan pelecehan seksual, korupsi, penggelapan, tindak kriminal lainnya dsb. Inilah wajah manusia apabila OBKa dan OBKi masih dikuasai oleh sang lymbic. Perkembangan diri manusia masih belum holistik, belum menyeluruh. Hewan di dalam diri hanya menjadi sedikit lebih jinak, tetapi belum menjelma menjadi manusia. Hanya segelintir saja di antara kita yang masih peduli memanusiakan diri sendiri.

KENAPA HARUS ADA LYMBIC
Meskipun lymbic merupakan insting dasar hewani yang terdapat dalam tubuh manusia, bukan berarti lymbic harus dimusnahkan dari dalam diri manusia, lymbic hanya perlu dikendalikan dalam batas-batas yang wajar dan manusiawi agar bermanfaat sesuai fungsinya. Lymbic berfungsi sebagai alat untuk survival, menggerakkan kebutuhan biologis atau jasadiah untuk keperluan mempertahankan kehidupan di planet bumi. Lymbic juga diperlukan untuk reproduksi, proses kelangsungan hidup seluruh makhluk agar kehidupan di bumi tidak punah. Lymbic mencerminkan kebutuhan dasar atau kebutuhan paling primitif makhluk hidup. Sementara itu kehidupan manusia bukan saja untuk memenuhi kebutuhan dasar, lebih dari itu adalah kebutuhan rohani, atau kebutuhan jiwa, sukma atau kebutuhan roh. Kebutuhan insting dasar dipahami sebagai batu loncatan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (mulia) yakni kebutuhan jiwa atau roh tersebut. Kebutuhan dasar selalu tumbuh berganti, berubah-ubah, dan tidak langgeng. Sementara kebutuhan akan kemuliaan bersifat langgeng tan owah gingsir, yang azali abadi.

Adapun rumus-rumus dasar dari kebutuhan dasar (insting hewani) yang digerakkan oleh lymbic adalah sbb :

1. Tumbuh, berkembang, lalu hancur.

2. Pertama-tama lahir, hidup, lalu mati.

3. Muncul keinginan, pemenuhan keinginan, kepuasan lalu semakin lama hilanglah kepuasan itu.

Demikianlah sifat dasar dari kebutuhan lymbic, tak ada yang kekal abadi, sebab lymbic hanya mencakup dimensi jasad, atau dimensi bumi saja. Semua yang berada dalam dimensi bumi akan terkena rumus bumi, ada/lahir, tumbuh/berkembang lalu hancur/mati/sirna. Bumi merupakan mercapadha ; merca berarti panas atau rusak, padha artinya papan atau tempat. Bumi seperti halnya jasad, merupakan tempat di mana segala sesuatu akan mengalami kerusakan dan kehancuran.

Keberhasilan mengendalikan si lymbic, akan membuat kita berhasil memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi yakni kebutuhan roh. Artinya, apabila kebutuhan jasad dapat dikendalikan secara wajar justru kebutuhan sukma atau jiwa akan terpenuhi, berupa ketenangan, ketentraman, kemuliaan dan kebahagiaan tertinggi (audaimonistis). Dalam falsafah Jawa, proses pengendalian lymbic ini tercermin dalam pepeling yang tampak sederhana tetapi sudah menjadi bagian dari kearifan lokal : ngono yo ngono ning ojo ngono. Maksudnya agar manusia tidak melampaui batas kewajaran dari nilai-nilai kemanusiaannya, alias tidak “ber-evolusi mundur” atau set back kembali menjadi binatang berbalut raga manusia. Berbagai teknis meredam dan mengendalikan lymbic dengan olah rasa, mengoptimalkan rasa sejati/rasa pangrasa. Sehingga akan lahir menjadi manusia ber-evolusi pesat menjadi manusia linuwih, jalma kinacek, dengan kesadaran spiritual yang tinggi. Menjadi cirikhas orang-orang yang berhasil nuruti kareping rahsa. Bukan sebaliknya nuruti rahsaning karep.

TIPE PENGUASA LYMBIC

Apabila insting-insting hewani kita dibiarkan tumbuh berkembang dalam diri, lama-lama akan mengkooptasi dan menghegemoni alam pikiran bawah sadar, di mana tersimpan nilai-nilai dasar pandangan hidup, yang setiap saat mendasari cara pandang (mind set) dan dapat menjadi nara sumber “kebenaran” yang bersifat subyektif dan palsu. Alam pikiran bawah sadar sebagai stockpile, yang terisi oleh insting dasar hewani tersebut menentukan pola-pikir (mind set), cara pandang, dan menuntun bagaimana harus bertindak. Celakanya, semua itu diartikulasi atau dimanifestasi dalam perbuatan nyata, yakni berupa perbuatan hewaniah. Kekuasaan lymbic tercermin dalam sikap ego dalam diri yang sangat tinggi. Celakanya lagi ego yang melakukan pencitraan harga diri terlalu tinggi membuat seseorang sangat mudah tersinggung, gampang murka, selalu golek menange dewe, golek butuhe dewe, golek benere dewe. Sebuah karakter yang sangat berbahaya, karena karakter muncul dari ego yang sangat kuat, yang dapat menyiksa, menganiaya, menyakiti, menghancurkan, dan memusnahkan segala hal yang tidak sesuai dengan ego-nya sementara kejahatannya itu sebagai bentuk kebenaran tak terbantahkan.

Lymbic, sepadan dengan Nafsu, angkara. Hakikat nafsu dilambangkan sebagai latu murup ing telenging samudra. Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya api” di dalam air samudra yang sangat luas. Artinya, nafsu dapat menjadi sumber keburukan/angkara (nila setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air samudra/sukma sejati nan suci (rusak susu sebelanga). Disebut pula sebagai akyanmukawiyah, (nafsu) sebagai kenyataan yang “hidup” dalam eksistensinya. Paradoks dari tugas roh, bila nafsu menundukkan roh, maka manusia hanya menjadi “tumpukan sampah” atau hawa nafsu angkara. Mengikuti rasanya keinginan (rahsaning karep). Hewan bertubuh manusia.

Lymbic bekerja membawahi akal budi. Artinya seberapapun hebat kemampuan akal, secerdas dan sejenius apapun otak manusia tetap saja berada di bawah kekuasaan lymbic. Dalam terminologi falsafah Jawa disebut latu murup ing telenging samudra. Latu atau bara api sebagai kiasan dari insting dasar (hawa nafsu). Sedangkan samudra sebagai kiasan dari jiwa yang suci.

Tipikal pemimpin yang dikuasai lymbic section atau pemimpin yang belum menjalani pengendalian lymbic dapat dilihat sebagai mana tercermin dalam beberapa karakter pemimpin di bawah ini;

1. Kagetan, gumunan. Bersifat reaksioner.

2. Ora kuat nyunggi drajat; begitu mendapat jabatan, mereka akan berubah sikap sangat drastis. Sok jaim, sok wibawa, sering salah tingkah, gagal menjalankan tanggungjawabnya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.

3. Sumber kewibawaan bukan berasal keluhuran budi, kualitas kerja dan karya, melainkan keibawaan identik dengan menakutkan.

4. Menjaga kehormatan diri dan kekuasaannya dengan cara intimidasi dan menebar ancaman.

5. Hilangnya kharisma yang memancar dari dalam diri. Kharisma diganti dengan wajah angker nan galak. Seram dan menakutkan. Sikap yang bukan tegas namun tega dan sadis.

6. Kepatuhan para staf dan rakyatnya hanya dikendalikan oleh rasa takut, bukan rasa welas asih dan terimakasih.

7. Mengutamakan kepentingan kelompoknya; kelompok politik, golongan, ras, suku, agama, dan faham politiknya. Sikap anti toleran, pola pikir sektarian, primordial, rasistis.

8. Lebih memilih penghancuran dan pemusnahan sebagai cara utama dan pertama yang ditempuh daripada pendekatan persuasif melalui penyadaran dan penginsyafan.

9. Kekuasaan bukan dipandang sebagai sarana, tetapi sudah menjadi tujuan utama. Bila seseorang bercita-cita menegakkan keadilan dan ingin menciptakan kemakmuran untuk negeri dan rakyatnya, tetapi meraih kekuasaan melalui cara-cara kotor, menghalalkan segala cara, mau menangnya sendiri, itulah penguasa yang dikuasai lymbic.

10. Power of law, berganti menjadi law of the power. Kekuasaan bukan lagi bersumber dari hukum atau konstitusi yang disepakati rakyat, sebaliknya kekuasaan disalahgunakan untuk merumuskan hukum yang melindungi kepentingan pribadinya.

11. Pemimpin bukan dipahami sebagai pelayan rakyat. Sebaliknya pemimpin malah menuntut rakyatnya yang harus melayaninya.

Tipikal “pemimpin lymbic”, layaknya sindrom yang mengidap sebagian para politisi kita saat ini. Lebih berkiblat kepada nafsu jasad atau (nuruti rahsaning karep) yang bersumber dari lymbic section, ketimbang kebutuhan roh yang bersumber dari cahaya Ilahi (nuruti kareping rahsa).

WASPADAI DIRI SENDIRI

Lymbic mendorong seseorang untuk memenuhi segala kebutuhan insting dasar hewani. Guna mewujudkan setiap keinginan hewani bilamana ada kesempatan seseorang akan menghalalkan segala cara demi mewujudkan insting primitifnya. Tindak “pelacuran otoritas” hingga pembunuhan, tindak kriminal seperti korupsi, mark up, penggelapan, perampasan hak orang lain, merupakan manifestasi dari dorongan lymbic atau insting primitif hewani.

Akal-budi, disebut juga indera. Keberadaan nafsu menjadi wahana adanya akal-budi. Dilambangkan sebagai kudha ngerap ing pandengan, kudha nyander kang kakarungan. Akal-budi letaknya di dalam nafsu, diibaratkan sebagai “orang lumpuh mengelilingi bumi”. Adalah tugas yang amat berat bagi akal-budi; yakni menuntun hawa nafsu angkara kepada yang positif/putih (mutmainah). Sehingga diumpamakan wong lumpuh angideri jagad; orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Disebut juga akyan-maknawiyah. Kemenangan akal-budi menuntun hawa nafsu ke arah yang positif dan tidak merusak, maka akan melahirkan nafsu baru, yakni nafsul mutmainah.

Apabila lymbic dibiarkan berkembang secara simultan pada gilirannya akan menghegemoni alam pikiran bawah sadar dan setiap saat akan menjadi sumber pembenaran diri atau kebenaran subyektif. Demikianlah proses terjadinya sosok manusia super egois, hinggga mencapai titik paling ekstrim yakni timbulnya penyakit jiwa seperti megalomania, egosentrisme, psikopat hingga kegilaan permanen. Psikopat tidak selalu tindakan pembunuhan berantai seperti dalam film-film thriller. Psikopat bisa saja dengan mudah menyusup ke dalam perilaku golek menange dewe, golek butuhe dewe, golek benerew dewe. Hal ini membentuk pola pikir atau mind set yang sempit, yang menganggap diri paling bener. Lalu dengan mudahnya mencari-cari alasan pembenar untuk menganiaya lahir atau batin orang-orang yang dibenci atau yang berbeda pendapat dan keinginan dengan dirinya. Seorang psikopat mudah menyakiti dan mencelakai orang lain demi pencapaian keinginan pribadinya. Bahkan saking terbiasanya, ia dapat berbuat kejahatan kepada siapapun yang dikehendakinya, sementara ia menikmati perbuatan jahatnya itu. Bahkan dengan bangganya seorang psikopat mentertawakan kesengsaraan orang lain yang menjadi korban kejahatannya. Itulah gambaran jiwa psikopat, di mana hati nuraninya telah wafat. Kepuasannya justru terpenuhi manakala ia dapat "menari di atas bangkai" para korbannya. Lymbic yang benar-benar out of control amat sangat berbahaya, lebih berbahaya lagi apabila jiwa-jiwa psikopat disertai dengan kecerdasan otak yang relatif tinggi dengan dimilikinya kekuasaan yang legitimate. Manusia akan berubah tidak hanya sekedar binatang, namun menjadi sosok monster yang lengkap memiliki senjata pamungkas. Kenyataannya penyakit jiwa ini banyak menghinggapi penduduk bumi nusantara di masa sekarang ini. Manusia yang turun martabat dan habitatnya menjadi spesies purba dan primitif namun juga sangat ganas. Benar-benar menjelma sebagai manusia homo-hominilupus, alias binatang buas buat manusia lainnya. Apa jadinya bila sosok demikian ini berkesempatan menjadi pemimpin umat di negeri ini ? Menjadi sosok manusia yang mempunyai kesempatan dan kemampuan tinggi untuk menghancurkan bumi. Otak bagian kanan tidak difungsikan untuk menggapai kesadaran dan kecerdasan spiritualitas, sebaliknya hanya berfungsi membangun perilaku munafik, sibuk memperhalus dan menutupi kebuasannya. Selalu berkreasi untuk menjaga imej mulia dan lembut di hadapan khalayak, sementara di dalam dirinya menyimpan potensi besar insting hewani yang primitif yang siap menelan segala yang ia inginkan.

HUBUNGAN KEKUASAAN LYMBIC DENGAN KERUSAKAN ALAM SEMESTA

Negeri ini sudah terlalu carut marut, semrawut, bagaikan benang kusut. Berbagai penyakit kejiwaan akibat dominasi kekuasaan lymbic telah menjangkiti seluruh sendi kehidupan negeri. Tindakan yang sangat mendesak untuk segera dilakukan, adalah ; jati diri palsu bangsa ini harus segera dikoreksi dan diselamatkan dengan cara menselaraskan antara keseimbangan mikrokosmos dengan keseimbangan makrokosmos. Sebagaimana telah dikatakan oleh seorang filsuf Socrates pada 500 th SM, serta terdapat dalam berbagai kitab suci, kita harus mengenali jati diri terlebih dahulu, barulah kita akan mengenali Tuhan. Maka jati diri bangsa ini harus digali dan dikenali lagi. Untuk sebuah gerakan penyadaran jati diri bangsa, akan lebih efektif apabila dimulai oleh para pemimpin dengan menjalani lakuning urip secara pas dan pener. Biarpun kekacauan multidimensi negeri saat ini tampak sudah sangat akut, namun hendaknya kita tetap optimis. Sebab masih ada satu celah dengan cara menghayati nilai-nilai luhur kearifan lokal. Hal ini bukan sekedar latah, karena nilai kearifan lokal adalah nilai yang merepresentasikan jati diri bangsa apa adanya, alamiah dan manusiawi. Dimulai dari diri kita masing-masing, kemudian meningkat dalam lingkup otoritas daerah, selanjutnya hingga ke pusat secara bottom up. Tentu saja untuk sebuah misi mulia itu masing-masing pribadi harus memerdekakan diri dari hegemoni insting primitif hewani terlebih dulu. Sebab untuk menjadi pamomong bagi banyak orang seyogyanya kita lebih dulu harus sukses ngemong diri sendiri.

KENAPA HARUS DI MULAI DARI DIRI KITA PRIBADI ?

Karena kegelisahan, kegundahan, sifat mudah panik, kalut, ela-elu, anut grubyuk, yang merambah dalam diri kita bukanlah disebabkan oleh orang lain atau faktor eksternal. Namun disebabkan oleh mekanisme ketidakseimbangan (disharmoni) dalam diri kita sendiri. Berawal dari terjadinya disharmoni, lalu terjadi disintegritas jati diri kita yang menghasilkan hormon dan adrenalin secara berlebihan. Kelebihan produksi hormon itu dapat mengganggu kestabilan dan kesehatan jiwa raga alias stress dan depress. Terjadilah imbal balik, di mana stres dan depresi, akan mengacaukan kesimbangam dalam diri yang berujung memperdalam terjadinya disintegritas jati diri. Di saat inilah manusia turun drajat menjadi binatang, jika tidak ya sepadan dengan manusia setengah gila.

Carut marut negeri ini berasal dari keadaan mental diri kita sendiri. Mental generasi penerus bangsa yang kehilangan jati dirinya. Tak kenal dan tak selaras lagi dengan karakter lingkungan sosial dan lingkungan alam sekitarnya. Hilangnya jati diri melahirkan tindakan-tindakan melawan kodrat alam. Hal itu meretas kegelisahan dan kebingungan, kepanikan dan kebuntuan dalam mengambil sikap hidup. Semuanya jadi serba salah kaprah & salah tingkah. Banyak hal-hal esensial menjadi serba terbalik maknanya. Inilah yang dimaksud dengan tanda-tanda wolak-waliking jaman seperti pernah diperingatkan oleh para pujangga masa lalu. Yang saat ini ternyata benar-benar terjadi.

Penebangan hutan secara liar, ekploitasi pertambangan alam yang tidak lagi peduli dengan kaidah alamiah dan manusiawiah, cut and fill kontur tanah yang tidak memperhatikan hukum-hukum geografis dan geologis, demi alasan pembangunan nasional sungai-sungai dirombak alur dan irama alamnya menjadi irama nafsu lymbic. Lembah-lembah hijau tempat serapan air dirubah menjadi resapan penghasil fulus dengan ijin “ilegal” mendirikan bangunan rumah disekitar bantaran dan lembah sungai. Mata air digusur, hutannya dibabat habis, gunung-gunung sebagai tampungan air telah digempur diratakan. Akibat dari semua itu adalah banjir, kekeringan, salah mongso, iklim yang kacau, suhu yang berubah-ubah drastis, lempeng bumi terjadi rongga-rongga karena kadar air semakin berkurang, lempeng bumi terjadi pelapukan dan pergeseran lebih cepat. Akibat lebih lanjut adalah terjadi berbagai gempa bumi, kekurangan air tanah, kelembaban udara menurun drastis, mengakibatkan baksil dan bakteri berkembang biak, wabah penyakit dan hama tanaman menjadi sangat variatif dan sulit diatasi.

Itulah gambaran dalam dimensi luas hubungan antara manusia (jagad alit) dengan lingkungan alam (jagad besar) yang tidak lagi selaras, seiring dan sejalan. Untuk itu para pemimpin perlu segera mengupayakan usaha-usaha pemerdekaan diri bagi generasi penerus bangsa dari penjajahan lymbic section. Kembali kepada jati diri bangsa, menggapai kesadaran tinggi (highest consciousness) yang tidak terjajah oleh lymbic, yakni kesadaran rahsa sejati. Usaha itu harus diawali dengan membangun keseimbangan dalam diri kita pribadi. Dimulai dari pribadi-pribadi peduli yang tinggal di “wilayah TIMUR”. Sebagaimana terungkap dalam kitab kuno jongko-joyoboyo. Dan di sinilah tempatnya yang tepat. Dimulai dari kota lumpur Sidoarjo tempat di mana para putra Sang Fajar mulai menyingsing dari ufuk timur. Njejegake soko guru bangsa, yang akan membuka jalan bagi kembalinya kejayaan bumi nusantara. Dan para putra sang fajar itu adalah Anda yang hadir di sini dalam pertemuan ini. Sebagai pemimpin, apabila anda melakukan start lebih awal, anda bersama rakyat akan lebih dulu meraih dan merasakan anugrah agung yakni, indahnya kemuliaan, kehormatan dan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Yang melibatkan kesejahteraan lahir dan batin. Namun anugrah agung itu tentunya tidaklah GRATIS, karena masyarakat bersama para pemimpin di wilayah Sidoarjo harus menebus anugrah agung dengan musibah dan penderitaan panjang. Semakin tabah menjalaninya, semakin besar pula “uang tebusan” yang anda kumpulkan. Berati semakin besar pula anugrah yang akan diperoleh.

TIPIKAL NEGARAWAN SEJATI

Sementara itu gambaran kejiwaan negarawan sejati, mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak hanya memiliki kesadaran theolgis, lebih dari itu memiliki kesadaran kosmik. Kesadaran yang selaras dan seimbang antara jagad kecil (mikrokosmos) dan jagad besar (makrokosmos), keselarasan antara rakyat dengan pemimpinnya (manunggaling kawula kalawan gusti), dan keselarasan jiwa manusia dengan nilai ketuhanan (manunggaling kawula Gusti atau roroning atunggil/dwi tunggal). Pencapaian keadaan itu dapat dirasakan sebagai suasana yang tenang, damai, riang, bahagia. Saling memberi, saling menebarkan aura kasih-sayang. Terpancarlah nilai-nilai kebaikan dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Kebaikan akan meretas kebaikan pula. Dalam diri pribadi, keadaan positif ini memicu produksi hormon-hormon melatonin & endorfin, yang bekerja untuk melipatgandakan ketenangan, ketrentaman dan kebahagiaan. Begitulah seterusnya. Hiup menjadi lebih tenang, tidak kelebihan hormon adrenalin yang akan membawa kepada sikap kagetan dan gumunan, raksioner dan frontal, gelisah, geram dan emosional.

Tipikal seorang negarawan sejati yakni merdeka dari pengaruh hegemoni lymbic. Saya sebut pula sebagai pemimpin yang nuruti kareping rahsa. Dalam terminologi falsafah Jawa disebut sebagai kodok kinemulan ing leng, atau wit ing sajroning wiji. Jiwa yang tuntun oleh sukma-sejati/roh kudus/ruh al kuds, dibimbing oleh rasa sejati/sirulah, disinari oleh cahyo sejati/nurullah, dan pada akhirnya menjadi jiwa raga yang dihidupkan oleh atma sejati/chayyu/kayun yakni energi yang menghidupkan. Mereka itulah adalah sosok negarawan sejati. Pribadi yang tidak lagi terkooptasi oleh kelompok kepentingannya sendiri. Tidak mewakili dan mengatasnamakan kepentingan dan warna politik, golongan, dan kelompok tertentu. Negarawan mengatasi kepentingan seluruh warga bangsa, atau mengutamakan kepentingan umum. Perilaku dan perbuatan pribadi negarawan sejati tidaklah egois, sebaliknya bersikap altruis mempersembahkan hidupnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsanya di atas kepentingan-kepentingan lainnya (berkah bagi alam/rahmatan lil alamin). Kursi kekuasaan bukan menjadi tujuan, melainkan sebagai sarana atau alat menciptakan kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan bersama. Biarpun tidak sedang menduduki jabatan, seorang yang berjiwa negarawan sejati memiliki tabiat perilaku yang konsisten. Arif dan bijaksana, mampu ngemong diri pribadi sebelum bertanggungjawab ngemong orang banyak sehingga tak ada bedanya saat sebelum dan sesudah menduduki tampuk kekuasaan. Kehidupan ini dijalani dengan sikap profan apa adanya, tidak mengada-ada, antara solah atau perilaku badan dengan bawa atau perilaku batin tidak berbenturan satu sama lain (munafik). Selalu eling akan sangkan paraning dumadi, dan waspada atas segala hal yang dapat menjadi penghalang kemuliaan dirinya. Seorang negarawan sejati berani sugih tanpa bondo, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Menjalankan tanggungjawab kepemimpinannya dengan dasar rasa welas asih, welas tanpo alis, belas kasih kepada siapa saja tanpa pilih kasih, dan tanpa pamrih kecuali sebagai bentuk netepi titahing Gusti, mengikuti afngal atau sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang tanpa pernah pilih kasih !! Negarawan memanfaatkan kewenangannya sebagai alat atau sarana laku prihatin yakni dengan tapa ngrame. Laku tapa, tapaking hyang suksma. Menjadi pribadi kosmologis, perilakunya selaras, harmoni dan sinergi dengan kodrat alam. Kesadarannya bukan hanya kesadaran theologis dogmatis saja, namun sudah menggapai kesadaran kosmologis yang berada dalam wilayah kesadaran hakekat.

Pastilah berkah Tuhan akan selalu berlimpah ruah, sumrambah dateng tiyang kathah, mampu merubah segala musibah menjadi anugrah. Kalis ing rubeda, nir ing sambekala. Itulah konsep keadilan dan kemakmuran suatu negeri, akan datang bilamana pemimpinnya adalah sosok pribadi yang jumeneng satria pinandita sinisihan wahyu. Siapapun bisa melakukan asal memiliki kehendak (political will) dan bertekat bulat ibarat melakukan semedi di “alas ketangga” (keketeg ing hangga) yakni dengan tekat bulat meliputi jiwa dan raga.

Figur negarawan sejati, menjadikan dirinya seperti medan magnet positif yang akan menebarkan dan menarik segala hal yang positif, dan rumus ini berlaku pula sebaliknya. oleh sebab itu tidaklah sulit bagi negarawan sejati, bila selama masa kepemimpinannya akan menyebarkan benih-benih kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya. Menjadikan rakyatnya merasa benar-benar menjadi tuan di istananya sendiri. Bagi negarawan sejati, apa yang diucap akan terwujud (sabda pandita ratu), dan apa yang diucapkan segera terlaksana (idu geni). Siapapun dapat menghayati dan membuktikan sendiri. Karena Negarawan sejati bukan hanya monopoli seorang presiden, raja, atau perdana menteri saja. Tetapi bisa dilakukan oleh siapapun orangnya ; gubernur, bupati, camat, lurah, ketua RW/RT. Setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin, minimal menjadi pemimpin buat dirinya sendiri, dan keluarganya.

Kiranya tidaklah mengada-ada, apabila telah diisyaratkan oleh para leluhur kita di masa lampau, bahwa negeri ini akan mencapai kejayaannya kembali, menjadi negeri yang adil, makmur, gemah ripah loh jinawi, hanya pada saat mana dipimpin oleh figur Ratu Adil. Berarti pula memiliki kiasan sebagai pribadi-pribadi yang gandrung keadilan dan sistem ekonomi-politik yang adil. Dan siapapun anda bisa menjadi figur ratu adil apabila anda memiliki kemauan sungguh-sungguh yang anda tetapkan mulai hari ini.

TEKNIK PENGENDALIAN LYMBIC

Kita harus melakukan berbagai usaha untuk meredam kekuasaan lymbic dalam diri kita. Banyak cara dapat ditempuh, misalnya dengan berolahraga dan berolah-batin, misalnya olah meditasi, semedi, mesu budi, maladihening hingga tradisi jazirah dengan cara berzikir, i’tikaf dsb. Semua tujuannya sama, menggali getaran nurani sebagai terminal getaran energi Tuhan Yang Maha Menghidupkan. Energi yang hidup abadi yang ada dalam diri kita. Lebih dekat dari urat leher. Itulah Tuhan yang bersembunyi di dalam hati kita. Persoalannya adalah ; bagaimana kita mampu untuk mengolah tasa menggapau kesadaran tinggi ?! Untuk itu dalam pertemuan nanti, akan saya coba jabarkan soal jati diri, dan bagaimana mengolah rahsa nan sejati menjadi negarawan sejati, yang memiliki sipat kandel, winasis sebagai pribadi yang terwaca, waskita dan permana.

Selasa, 01 Juni 2010

KEJAWEN, DICURIGAI & DIKAMBING HITAMKAN

KEJAWEN
“Permata” Asli Bumi Nusantara yang Selalu Dicurigai
Dan Dikambinghitamkan

Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai
Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.
Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;
Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.
Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.

Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati
Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.