Semar disebut juga Badranaya

Mengemban sifat among, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.

Benih yang baik untuk hasil terbaik

Apabila menginginkan hasil yang baik maka tentulah dipilih bibit yang baik pula, bibit yang unggul, bibit yang sempurna.

Tesing dumadi, asal mula terjadinya Manusia.

Asal mula manusia adalah dari getaran tanaman dan getaran binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya tri tunggal yaitu nurcahya = sinar cahaya allah, nurrasa = sarinya Bapak dan nur buat = sarinya Ibu).

Pancasila..sikap hidup bangsa Indonesia.

Menurut ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (Wahyu tujuh ajaran yang masing-masing berisi lima butir ajaran mencapai kemuliaan, ketentraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/akhirat).

Apakah yang kita miliki..?

Ketika mati pun kita tidak akan membawa sepeser pun uang. Masihkah kita merasa sebagai makhluk yang adigang-adigung-adiguno?

Sujud dasawarsa, Sujudnya warga KSD

Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa.

Kita tidak sendiri

Alam beserta isinya adalah milik kita bersama...mari jaga kerukunan, kebersamaan dalam menjaga kelestarian demi generasi selanjudnya

out of body experience

Peristiwa out of body experience adalah merupakan gambaran awal dari kematian, Adalah merupakan indikasi putusnya hubungan Input sensor dalam tubuh, ketika kondisi manusia dalam konsisi sadar.

Butir-butir budaya jawa

Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawalesana Ngudi Sejatining Becik

Wewarah Tujuh

Merupakan kewajiban yang harus dijalankan Warga SAPTA DARMA dalam kehidupannya.

Sesanti

Sikap dan perilaku hidup dalam masyarakat yang harus diciptakan oleh Warga SAPTA DARMA.

Wejangan

Wejangan Panuntun Agung Sri Gutomo bagi warga SAPTA DARMA dalam mengenali jati diri yang sebenarnya.

Senin, 27 Desember 2010

"SYEKH SITI JENAR" NAMANYA MELARISKAN BUKU

Siapakah Syekh Siti Jenar? Meskipun setidaknya Intisari telah menjejaki – yang disebut sebagai – dua kuburan Syekh Siti Jenar, masing-masing di Kemlaten, Cirebon maupun Gedong Ombo, Tuban, agaknya Syekh Siti Jenar tidak bisa dipastikan keberadaan historisnya secara ilmiah dalam kategori positivistik. Keberadaan Syekh Siti Jenar adalah keberadaan sebuah makna, baik dalam bentuk suatu ajaran yang tercatat pada berbagai naskah, maupun makna keberadaan dalam penafsiran politis, sebagai tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali. Suatu konstelasi yang sebetulnya juga merupakan tipologi konstelasi politik duniawi, ketika kerajaan-kerajaan Islam di Jawa telah menjadi dominan, tetapi pusat-pusat kekuasaan pra-Islam dengan segenap aliran kepercayaannya, belum sepenuhnya terleburkan – bahkan sampai hari ini.
                                    
Wali yang mencemaskan
Dalam ziarah pustaka ini, gambaran Nancy K. Florida tentang Tiga Guru Jawa (Syekh Siti Jenar, Syekh Malang Sumirang, Ki Ageng Pengging) dalam disertasinya, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) akan dikutip sebagai pengantar:
“Di antara ketiga empu tersebut, Syekh Siti Jenarlah yang paling dikenal, dengan ketenarannya sebagai wali pembangkang yang paling utama di Jawa bahkan hingga saat ini. Berbagai versi kisahnya, baik lisan maupun tulisan, melimpah. Dialah tokoh yang mewakili penyebarluasan, dan yang disebarluaskannya adalah pengetahuan esoteris eksklusif yang keluar dari kalangan elite politik-spiritual ke dalam budaya khalayak ramai. Atas penyebarluasan inilah maka para wali merasa terpanggil untuk memusnahkan Syekh Siti Jenar. Mereka melihat ancaman politik yang benar-benar nyata dalam dirinya; lantaran sebagai sosok penyebarluasan dan populisme dia dengan sendirinya menentang pemusatan dan penyatuan kekuasaan.
“Dalam benak khalayak ramai, Siti Jenar dikenang sebagai patron wong cilik. Garis besar kisah hidupnya menggarisbawahi keterkaitan organisnya dengan lapis terendah masyarakat. Dalam versi kisahnya yang paling tersebar luas, Siti Jenar diceritakan sebagai seekor cacing tanah yang secara ajaib berubah menjadi manusia. Pengubahan ini terjadi karena sang cacing secara kebetulan menerima pengetahuan esoteris yang mengantarnya menuju Hakikat Sejati. Sekali menjadi manusia, dia yang semula cacing ini kemudian berani untuk membuka tabir Pengetahuan Makrifat ini kepada khalayak ramai. Barangkali anggapan bahwa penyampaian pengetahuan semacam itu akan dapat mengubah martabat “cacing-cacing” yang lain adalah kecemasan elite spiritual-politik di ibu negeri Demak.
“Selain dosanya ‘menyingkap sang Rahasia’ kepada khalayak ramai, Siti Jenar juga dipersalahkan karena menyepelekan syariat, hukum suci Islam. Dan di dalam banyak penuturan kisahnya, dia dituduh sebagai orang yang mengaku dirinya Allah. Bagaimanapun juga, yang paling mencuat dan diberitakan adalah dosanya menyebarluaskan Ilmu Gaib; dan lantaran dosa inilah sang wali diadili dan dijatuhi hukuman mati. Terdapat berbagai versi tentang ‘pengadilan’ dan eksekusinya. Masing-masing versi perlu untuk dipahami dengan latar belakang ingatan kolektif masyarakat tentang kisahnya dan dalam bandingan dengan versi lainnya. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah keragaman kisah atas apa yang terjadi dengan jasad sang wali; berkisar dari ekstrem yang satu bahwa jasadnya berubah menjadi bangkai busuk seekor anjing hingga ke ekstrem yang lain (yakni pada versi Babad Jaka Tingkir) bahwa sang wali akhirnya mikraj ke surga.”
Adapun asal nama Kemlaten, kuburan Syekh Siti Jenar di Cirebon, terasalkan dari kisah dalam Babad Cerbon, bahwa ketika para wali membongkar kuburan Siti Jenar setelah dihukum mati, untuk membuktikan kebenaran ajarannya: bahwa jika ia mati di dunia ini artinya hidup abadi di dunia yang sebenarnya -ternyata memang tak menemukan jasad, melainkan sekuntum bunga melati. Seperti juga telah sering ditemukan dalam riwayat wali yang sembilan, istilah “politik dongeng” menegaskan terdapatnya kepentingan ideologis di balik segenap “sejarah” tersebut. Kesadaran tentang perlu diabaikannya keberadaan dongeng-dongeng tersebut sebagai fakta historis, juga tersurat dalam catatan sejarawan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), seperti ketika memberi catatan atas keberadaan Dewan Walisanga:
“Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).”                                    
Ajaran tentang ada
Lantas, ajaran macam apa sebetulnya, yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga? Dalam kenyataannya, buku-buku yang memuat dan menyebarkan teks yang disebut sebagai “ajaran” Syekh Siti Jenar ini beredar luas pada masa kini, beberapa di antaranya bahkan berpredikat best seller alias laris manis tanjung kimpul, yang bukan hanya tidak mengundang kecaman apa pun dari para pemeluk teguh syariat, melainkan justru ditulis oleh para ahli agama itu sendiri. Untuk menyebut beberapa, bisa diperiksa dua buku laris Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (1999) dan Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (2001), Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar (2004), Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf Al-Hallaj di Jawa (2003), dan yang ditulis dengan sapaan hangat serta indah karya Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian” (2002). Namun untuk mengintip apa yang disebut “ajaran rahasia” tersebut, pustaka yang akan diziarahi masih dari karya ilmiah P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1935).
Tidak mungkin memindahkan ulasan panjang lebar dalam disertasi Zoetmulder tersebut, tapi kita mulai saja dengan petikan atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, pada 1922:
Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.
Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.
Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.
Dalam disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”

                              
Bukan Al-Hallaj, tapi India
Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.
Namun karena penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India.
“Akhirnya, juga kematian Siti Jenar – menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Sukma semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.
“Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”
Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) – itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan, bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik Al-Hallaj.”
Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa.”
                                   
Lemah Abang serba pinggiran
Dengan konteks pengaruh India dan bukan Islam da lam ajaran Syekh Siti Jenar, menjadi jelas konteks duniawi yang terpadankan dengannya, seperti teruraikan oleh Graaf dan Pigeaud mengenai kedudukan politis Pengging sebagai kerajaan “kafir” terhadap kekuasaan Demak. Dalam legenda, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging adalah murid Syekh Siti Jenar yang membangkang dan tidak bersedia tunduk maupun melawan Sultan Demak – yang membuat kedudukannya sulit diatasi meski Sunan Kudus ia izinkan untuk membunuhnya. “Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap ’si bid’ah’ Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara: Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh.” Bahwa Pengging sebelumnya disebut-sebut sebagai kerajaan “kafir” yang masih berdiri setelah Majapahit runtuh, jelas menunjukkan personifikasi Syekh Siti Jenar sebagai representasi perlawanan, terhadap dominasi Demak sebagai representasi hegemoni kekuasaan rohani sekaligus duniawi.
Mungkinkah bisa dipahami sekarang, mengapa banyak wilayah di Jawa bernama Lemah Abang, dan selalu terletak di pinggiran?
 
Sumber : INTISARI No. 517 TH. XLIII, AGUSTUS 2006

Kamis, 02 Desember 2010

PANCASILA ALLAH

Maksud Pancasila Allah dalam wewarah Sapta Darma adalah merupakan sifat keluhuran dan sikap perwujudan kehendak Allah Hyang Maha Kuasa seperti berikut :
Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil, Allah Hyang Maha Wasesa dan Allah Hyang Maha Langgeng.  Dan sifat keluhuran ini tercermin dalam sifat dan sikap hidup manusia seperti berikut :
  1. Mau atau suka memaafkan kesalahan orang lain, mau menerima dan mau member, sifat berbudi bawa laksana serta daya cipta yang dimiliki.
  2. Rasa cinta dan kasih.
  3. Rasa keadilan.
  4. Rasa tanggung jawab dan mampu melaksanakan tugas yang diembannya, terutama dalam menguasai dan mengendalikan nafsu pada diri pribadi.
  5. Kesadaran bahwa hidup manusia tiada mati tapi abadi/langgeng dan akan kembali keasalnya/Allah Hyang Maha Langgeng untuk mempertanggungjawabkan tugasnya selama hidup di dunia bersama jasmaninya.
Manusia sebagai mahluk social tidak dapat lepas dari manusia lainnya, oleh karenanya pada diri manusia itu terdapat sifat tolong menolong, sifat toleransi, sifat cinta kasih dan lain-lainnya. Manusia selalu ingin berhubungan antara sesame manusia. Sifat-sifat semacam ini kita rasakan bersama pada diri kita masing-masing. Terus darimanakah sumber sifat-sifat tersebut? Tiada lain tentu dari Zat Mutlak yang tunggal yang disebut Hyang Maha Kuasa. Sifat inilah yang disebut Hyang Maha Rokhim.
Manusia juga mempunyai sifat tidak membeda-bedakan kepada sesame. Sifat ini tidak hanya terdapat pada orang-orang tua atau orang dewasa saja tetapi juga terdapat pada anak-anak. Dan sifat inipun ada sumbernya yaitu Hyang maha Kuasa, sehingga Hyang Maha Kuasa mempunyai sifat Hyang Maha Adil. Mengenai sifat adil ini dapat dijelaskan bahwa untuk mengatur kekuasaan yang ada didalam dunia ini harus ada peraturan-peraturan yang baik. Jadi segala keadaan ditata diatur dengan kejadian-kejadian yang menumbuhkan suatu keadaan pada keseimbangan yang berarti terjaminnya keadaan sebelumnya. Misalnya untuk mencari keadilan kita lari ke pengadilan, disini kita temukan seorang hakim, jaksa, pembela dan disini kita melihat keadilan yang harus dijatuhkan oleh hakim tersebut untuk memberikan suatu keseimbangan  dari orang yang bersalah /berdosa tersebut. Hasil dari pertimbangan hakim tersebut telah ditimbang-timbang dengan adanya tuntutan dari seorang jaksa dengan didampingi dengan pembelaan-pembelaan atau pledoi daripada pembela. Disitu akan memberikan suatu keseimbangan keselarasan hukum, supaya tetap keadilan dapat tercapai. Dilain pihak pelanggaran tidak hanya diantara manusia tetapi juga terjadi disegala aspek kehidupan. Baik di alam langgeng maupun dialam wajar. Di alam wajar kita melihat adanya banjir, petir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan lainnya. Dan hal-hal inipun juga pelanggaran yang mengakibatkan tidak adanya keseimbangan. Hal ini yang bisa memberi keadilan tidak lain adalah Hyang Maha Adil. Jadi Hyang Maha Kuasa yang bersifat Hyang Maha Adil.
Manusia juga mempunyai sifat memberikan ampun atas kesalahan orang lain atau bersifat “berbudi bawa laksana”. Dengan daya cipta pikiran manusia mampu membuat segala macam materi atau benda-benda yang dalam abad nuklir ini seperti mulai dari sepeda, motor, mobil, pesawat, senjata kimia, biologi, satlit, televise, computer, robot, senjata nuklir dsb. Apabila kita renungkan tidak heran manusia dapat mencapai hal yang sedemikian tingginya, sebab sifat kemampuan yang agung semacam itu sumbernya adalah Hyang Maha Kuasa. Oleh karena itu Hyang Maha Kuasa bersifat Hyang Maha Agung.
                Disinilah keagungan yang diberikan kepada manusia dan manusia sekarang ini telah lupa dengan sumbernya, dengan kemampuan membuat senjata seenaknya menghancurkan sesama bahkan alam semesta tempat perlindungannya.Keagungan yang diberikan kepada manusia melalui rohaninya itu hingga manusia itu mencapai sedemikian tingginya dan manusia lupa akan tujuan hidup yang sesungguhnya yaitu memayu hayuning bawana dalam arti dunia ini tidak boleh dirusak, harus dipayungi. Tapi manusia lupa akan causaprimanya yang seharusnya menjaga ketentraman dan perdamaian dunia tapi sebaliknya alat yang diciptakannya itu malah untuk merusak sesame maupun dunia ini. Contohnya adalah perang irak, afganistan,libanon, rela menjadi teroris dsb.
Sifat yang lain yang dimiliki oleh manusia ialah manusia selalu mempunyai sifat mudah mengingat-ingat akan sesuatu hal yang selamanya akan terkenang, lebih-lebih perbuatan yang baik yang diamalkan kepada sesame umat akan memunculkan nama yang baik, nama yang langgeng, yang selalu dikenang oleh masyarakat. Misalnya perbuatan amal para nabi, para wali, pahlawan bangsa, yang namanya sampai sekarang tetap dikenang/langgeng. Jadi dengan demikian manusia juga mempunyai sifat-sifat langgeng yang sebetulnya bersumber pada jiwa atau rohaninya dan sifat ini bersumber dari Hyang Maha Kuasa, sehingga Hyang Maha Kuasa bersifat Hyang Maha Langgeng.
Masih ada sifat lain yang tersembunyi pada diri manusia yang kita rasakan bersama yaitu sifat purba dan wasesa atau purba-wasesa. Hal ini sebetulnya dipunyai oleh rohani manusia yang berupa rasa. Misalnya rasa sedih, rasa sakit, rasa gembira, rasa senang,rasa bahagia dsb. Dan rasa inipun ada sumbernya yaitu Hyang Maha Kuasa, sehingga Hyang Maha Kuasa mempunyai sifat Hyang Maha Wasesa.   
            Sifat-sifat yang lain yang dimiliki oleh manusia masih banyak yang dapat kita rasakan sehari-hari, namun dari sekian sifat-sifat tersebut yang terpenting asalnya dari repleksi sinar-sinar Hyang Maha Kuasa. Sifat terpenting yang mutlak pada Hyang Maha Kuasa adalah Panca Sila Allah yang kami sebutkan diatas, sedangkan sifat lainnya apabila kita pecah sampai tidak terbatas.