Semar disebut juga Badranaya

Mengemban sifat among, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.

Benih yang baik untuk hasil terbaik

Apabila menginginkan hasil yang baik maka tentulah dipilih bibit yang baik pula, bibit yang unggul, bibit yang sempurna.

Tesing dumadi, asal mula terjadinya Manusia.

Asal mula manusia adalah dari getaran tanaman dan getaran binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya tri tunggal yaitu nurcahya = sinar cahaya allah, nurrasa = sarinya Bapak dan nur buat = sarinya Ibu).

Pancasila..sikap hidup bangsa Indonesia.

Menurut ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (Wahyu tujuh ajaran yang masing-masing berisi lima butir ajaran mencapai kemuliaan, ketentraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/akhirat).

Apakah yang kita miliki..?

Ketika mati pun kita tidak akan membawa sepeser pun uang. Masihkah kita merasa sebagai makhluk yang adigang-adigung-adiguno?

Sujud dasawarsa, Sujudnya warga KSD

Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa.

Kita tidak sendiri

Alam beserta isinya adalah milik kita bersama...mari jaga kerukunan, kebersamaan dalam menjaga kelestarian demi generasi selanjudnya

out of body experience

Peristiwa out of body experience adalah merupakan gambaran awal dari kematian, Adalah merupakan indikasi putusnya hubungan Input sensor dalam tubuh, ketika kondisi manusia dalam konsisi sadar.

Butir-butir budaya jawa

Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawalesana Ngudi Sejatining Becik

Wewarah Tujuh

Merupakan kewajiban yang harus dijalankan Warga SAPTA DARMA dalam kehidupannya.

Sesanti

Sikap dan perilaku hidup dalam masyarakat yang harus diciptakan oleh Warga SAPTA DARMA.

Wejangan

Wejangan Panuntun Agung Sri Gutomo bagi warga SAPTA DARMA dalam mengenali jati diri yang sebenarnya.

Jumat, 18 Maret 2011

NYALAKAN "LAMPU HATI"

Hidup ini diciptakan oleh GUSTI ALLAH berpasang-pasangan. Ada siang-malam, lelaki-perempuan, orangtua-anak-anak, besar-kecil, tua-muda, baik-buruk, bahagia-sedih dan lain-lain. Semuanya itu merupakan pasang-pasangan yang sudah ditetapkan oleh GUSTI ALLAH. Jikalau hidup kita sedang mengalami kebahagiaan, janganlah lantas kita
bangga. Pasalnya, dibalik kebahagiaan itu pasti ada kesedihan. Tidak mungkin hidup seseorang di dunia ini bahagia selamanya karena kita semua hidup di alam fana (tidak abadi).



Demikian juga ketika kita sedang dilanda kesulitan hidup, janganlah berputus-asa. Karena dibalik kesulitan hidup itu pasti ada kemudahan. Sering kita mendengar orang bijak yang mengatakan,"Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya". Bahkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW sendiri lewat hadistnya pernah mengungkapkan beberapa hal penting. Apa itu?

1. Ingatlah sehat-mu sebelum sakit
2. Ingatlah muda sebelum tua
3. Ingatlah kaya sebelum miskin
4. Ingatlah lapang sebelum sempit
5. Ingatlah hidup sebelum mati

Hidup bahagia itu bisa dicapai jika hati kita terlepas dari gundah gulana, tidak ada kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan untuk menghadapi hidup ini. Dengan hati yang tenang, maka segala persoalan hidup akan bisa diatasi karena hati yang tenang akan membuat pikiran kita lebih jernih dalam memandang segala persoalan yang ada dalam hidup ini.

Bagi masyarakat Kejawen, untuk membuat hati menjadi tenang, maka langkah utama yang harus dilakukan adalah menyalakan "lampu" dalam hati kita yang gelap. Dengan begitu, maka hati kita menjadi terang benderang. Bagaimana untuk mendapatkan hati yang terang benderang? Orang Jawa yang berpaham Kejawen memiliki kiat tersendiri. Kiat itu adalah dengan jalan bertapa.

Kata-kata bertapa yang dikenal oleh masyarakat Kejawen bukan berarti menyendiri di hutan ataupun di gunung, tetapi bisa saja bertapa itu dilakukan di perkotaan ataupun tempat ramai. Contohnya, ada tapa ngrame, dimana si pelaku tapa tidak boleh masuk ke dalam rumah atau tempat-tempat yang dinaungi atap untuk beberapa hari dan harus selalu mencari keramaian. Tentu saja hal itu dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH.

Tapa Lelono

Salah satu cara bertapa yang dilakukan oleh masyarakat Kejawen adalah tapa lelono. Apa itu tapa lelono? Tapa lelono adalah bertapa dengan cara berjalan kaki. Lelaku jalan kaki tersebut lebih afdhal-nya dilakukan dari jam 12 malam sampai jam 3/subuh. Hakekat dari cara lelaku ini adalah untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. Lho kok bisa mendekatkan diri dengan jalan kaki? Jika cara berjalan kaki itu hendaknya diniatkan untuk mencari "lampu" hati sehingga bisa dengan mudah mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH

Pada saat berjalan kaki itu, kita berbicara sendiri dengan diri kita. Dan pada saat berjalan tersebut dipergunakan sebagai waktu untuk introspeksi diri. Jadi berjalan kaki yang kita lakukan tidak sia-sia. Insyaallah dengan cara itu, kita akan menemukan siapa jati diri kita.

Selasa, 01 Maret 2011

Asal Mula Aksara Jawa

Tidak banyak yang tahu sejarah aksara Jawa. Aksara Jawa sangat berkaitan dengan sejarah dari Ajisaka. Sang Ajisaka itulah yang menciptakan aksara Jawa yang kita kenal hingga saat ini. Bagaimana kisahnya?

Dahulu kala, di Pulau Majethi hidup seorang satria tampan bernama Ajisaka. Selain tampan, Ajisaka juga berilmu tinggi dan sakti mandraguna. Sang Satria mempunyai dua orang punggawa yang bernama Dora dan Sembada. Kedua punggawa itu sangat setia pada Ajisaka. Pada suatu hari, Ajisaka berkeinginan pergi berkelanan meninggalkan Pulau Majethi. Kepergiannya ditemani punggawanya yang bernama Dora, sementara Sembada tetap tinggal di Pulau Pulo Majethi, diperintahkan menjaga pusaka andalannya. Ajisaka berpesan pada Sembada, tidak boleh menyerahkan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali pada Ajisaka sendiri. Sembada menyanggupi akan melaksanakan perintahnya.

Pada masa itu di tanah Jawa terdapat negara yang terkenal makmur, tertib, aman dan damai, yang bernama Medhangkamulan. Rajanya adalah Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang luhur budinya serta bijaksana. Pada suatu hari, juru masak kerajaan mengalami kecelakaan, jarinya terbabat pisau hingga terlepas. Ki Juru Masak tidak menyadari bahwa potongan jarinya tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan pada Sang Prabu. Ketika tanpa sengaja memakan potongan jari tersebut, Sang Prabu serasa menyantap daging yang sangat enak, sehingga ia mengutus Sang Patih untuk menanyai Ki Juru Masak.

Setelah mengetahui yang disantap tadi adalah daging manusia, sang Prabu lalu memerintahkan Sang Patih agar setiap hari menghaturkan seorang dari rakyatnya untuk santapannya. Sejak saat itu Prabu Dewatacengkar mempunyai kegemaran menyeramkan, yaitu menyantap daging manusia. Wataknya berbalik seratus delapanpuluh derajat, berubah menjadi bengis dan senang menganiaya. Negara Medhangkamulan berubah menjadi wilayah yang angker dan sepi karena rakyatnya satu persatu dimangsa rajanya, sisanya lari menyelamatkan diri. Sang Patih pusing memikirkan keadaan, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa dihaturkan pada rajanya.

Pada saat itulah Ajisaka bersama punggawanya, Dora, tiba di Medhangkamulan. Ajisaka heran melihat keadaan yang sunyi dan menyeramkan itu, maka ia lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah mendapat keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Ajisaka lalu menghadap Rekyana Patih dan menyatakan kesanggupannya menjadi santapan Prabu Dewatacengkar. Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa sayang bila Ajisaka yang tampan dan masih muda harus disantap Sang Prabu. Namun tekad Ajisaka sudah bulat, sehingga akhirnya iapun dibawa menghadap Sang Prabu.

Sang Prabu tak habis pikir, mengapa orang yang sedemikian tampan dan masih muda mau menyerahkan jiwa raganya untuk menjadi santapannya. Ajisaka mengatakan, ia rela dijadikan santapan sang Prabu asalkan dihadiahi tanah seluas ikat kepala yang dikenakannya. Di samping itu, harus Sang rabu sendiri yang mengukur wilayah yang akan dihadiahkan tersebut. Sang Prabu menyanggupi permintaannya.

Ajisaka kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib, ikat kepala itu seakan tak ada habisnya. Sang Prabu Dewatacengkar terpaksa mundur dan semakin mundur, sehingga akhirnya tiba ditepi laut Selatan. Ikat kepala tersebut kemudian dikibaskan Ajisaka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika wujudnya berubah menjadi buaya putih. Ajisaka kemudian menjadi raja di Medhangkamulan.

Setelah dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan, Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Pulo Majethi menggambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di Pulau Majethi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka ketika meninggalkan Majethi. Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa meminta agar pusaka tersebut diberikan kepadanya. Akhirnya kedua punggawa itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.

Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Sang Prabu Ajisaka. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua punggawa kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu.

Aksara tersebut berbunyi:

Ha Na Ca Ra Ka = yang berarti Ana utusan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La = Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya = Padha digdayané (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga = Padha dadi bathangé (sama-sama menjadi mayat)