Semar disebut juga Badranaya

Mengemban sifat among, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.

Benih yang baik untuk hasil terbaik

Apabila menginginkan hasil yang baik maka tentulah dipilih bibit yang baik pula, bibit yang unggul, bibit yang sempurna.

Tesing dumadi, asal mula terjadinya Manusia.

Asal mula manusia adalah dari getaran tanaman dan getaran binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya tri tunggal yaitu nurcahya = sinar cahaya allah, nurrasa = sarinya Bapak dan nur buat = sarinya Ibu).

Pancasila..sikap hidup bangsa Indonesia.

Menurut ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (Wahyu tujuh ajaran yang masing-masing berisi lima butir ajaran mencapai kemuliaan, ketentraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/akhirat).

Apakah yang kita miliki..?

Ketika mati pun kita tidak akan membawa sepeser pun uang. Masihkah kita merasa sebagai makhluk yang adigang-adigung-adiguno?

Sujud dasawarsa, Sujudnya warga KSD

Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa.

Kita tidak sendiri

Alam beserta isinya adalah milik kita bersama...mari jaga kerukunan, kebersamaan dalam menjaga kelestarian demi generasi selanjudnya

out of body experience

Peristiwa out of body experience adalah merupakan gambaran awal dari kematian, Adalah merupakan indikasi putusnya hubungan Input sensor dalam tubuh, ketika kondisi manusia dalam konsisi sadar.

Butir-butir budaya jawa

Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawalesana Ngudi Sejatining Becik

Wewarah Tujuh

Merupakan kewajiban yang harus dijalankan Warga SAPTA DARMA dalam kehidupannya.

Sesanti

Sikap dan perilaku hidup dalam masyarakat yang harus diciptakan oleh Warga SAPTA DARMA.

Wejangan

Wejangan Panuntun Agung Sri Gutomo bagi warga SAPTA DARMA dalam mengenali jati diri yang sebenarnya.

Selasa, 31 Mei 2011

Mengapa harus Progressive Revolusioner?




“Progressive Revolusioner”, kata-kata ini muncul pada buku dasawarsa cetakan lama, yang kurang lebih artinya adalah gerakan secara cepat untuk merubah kondisi supaya lebih maju atau positif. Hubungan linier antara pelaku penghayat sujud dengan perilaku sebelum dan sesudah melakukan sujud, sering diwujudkan dalam sebuah kata: “progressive revolusioner”. Jika kita bertitik tolak dari sebuah kehidupan ini sebagaimana dedication of life (pengabdian hidup), maka Sujud adalah langkah progressive revolusioner dalam tingkah laku hidupnya menjadikannya lebih maju, lebih baik dan lebih bermanfaat bagi semuanya.
Sesuai “Simbol Pribadi Manusia”, maka kewajiban atau pengabdian hidup kita, hanyalah tertuju pada Allah; kepada kedua orangtua atau sesame atau sebangsa; dan se-tanah-air. Oleh karenanya kita wajib membuat komitmen (janji) atau krenteg batin kita terhadap pengertian belah ketupat sebagaimana bentuk aplikasi kehidupan yang tidak terlepas dari asal mula manusia dan kodratnya.


Kiat-kiat dalam melaksanakan pengabdian hidup sebagai berikut:

Hidupkan Penghayatan Sujudmu kepada Allah

Hidupkan penghayatan sujudmu kepada Allah sampai dengan tingkatan racut. Tanyakan pada diri kita: untuk apa sujud? Mengapa kita mau melakukannya? Sampai pada suatu kesadaran bahwa kita yang sesungguhnya membutuhkan atau kewajiban manembah kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Selanjutnya lakukanlah dengan kondisi ‘’Sifat Rohanimu‘’ yang mengemudi, yang menghikmati seluruh gerak rasa dalam sujudmu karena sujud itu merupakan perwujudan laku yang dipimpin oleh batinnya rohani.
Hal-hal yang perlu untuk diperhatikan adalah proses sujud itu sebenarnya mengandung maksud, arti dan tujuan. Ini merupakan kunci yang tidak bisa kita abaikan, karena proses itu tergantung kondisi pelaku sujud itu sendiri. Dan hidupnya suatu penghayatan tergantung kesadaran pelaku dalam mempersiapkan waktu dan kemauannya, yaitu:
 

Pertama, triwikrama kesatu
Terpadunya tiga getaran yaitu getaran kasar (sari-sari bumi); getaran Hyang Maha Suci dan getaran Hyang Maha Kuasa adalah wujud tercapainya ketenangan. Dengan kata lain tercapainya sifat rohani inilah yang mengemudi laku dan sifat jasmaninya. Tandanya menutup mata (dengan sendirinya) serta keluarnya air liur sebagaimana atom-atom berjiwa yang sangat bermanfaat untuk prosesi sujud itu sendiri, karena atom yang dimaksud dalam hal ini memiliki atau menerima atau memperoleh daya rohani dari ASMA TIGA, sehingga getaran Sinar Hyang Maha Kuasa berkenan membangkitkan geraknya air suci.
 

Kedua, triwikrama kedua. 
Terpadunya tiga getaran, yaitu: getaran halus (air purwitosari), getaran Hyang Maha Suci dan getaran Hyang Maha Kuasa adalah tercapainya kepasrahan yakni sebagai bentuk keihklasan laku secara fisik dan batin untuk manembah bakti kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Proses ini hasilnya adalah Nur-nya Hyang Maha Suci kontak dengan Sinar Hyang Maha Kuasa.
Dalam keadaan demikian maka antara pelaku sujud, Hyang Maha Suci dengan Hyang Maha Kuasa dalam keadaan sambung cahya. Dalam kondisi demikian Hyang Maha Kuasa senantiasa memberikan bimbingan serta kekuatan lahir dan batin. Bilamana Hyang Maha Suci kita benar-benar yang sujud kepada Hyang Maha Kuasa, maka Hyang Maha Suci menerima restu Allah dalam rencana-Nya seperti di dalam penghayatan Bapa sewaktu kembali dalam racutnya diiringi sebuah bintang sebagai tanda restu Allah. Kondisi inilah yang mestinya kita harapkan. PRIBADI yang ASLI, yaitu: pribadi dengan sosok semar seperti di dalam Simbol Pribadi Manusia bisa tercapai. Namun keadaan ini tidak langgeng perlu kesadaran pelaku sujud supaya senantiasa ingat akan kewajiban keutamaan yaitu pengabdian hidupnya sebagai satria utama.
Pengertian fungsi dan peran sosok semar ini perlu dipahami, lebih dari itu wajib bagi warga Sapta Darma untuk mendudukkannya (Dewa ngawula marang kawula kang angawulo dewa), yang berarti fungsi sosok semar ini sebagai pamong dalam pribadi, perlu dijaga keberadaannya. Kesetiaan dan kesediaan kita melaksanakan kewajiban utama ini seperti halnya yang dilakukan satria utama. Apabila kita lalai maka sosok semar akan loncat dari fungsinya sehingga Hyang Maha Suci kita hanya berfungsi sebagai saksi saja atau pasif didalam hidup. Kalau sudah diloncati fungsi sosok semar, apakah kita masih punya kuncung putih? Hal yang sangat penting dan istimewa sifatnya bila kita mencapai tugas racut dalam tugas suci sujud penggalian. Peristiwa tersebut merupakan kanugrahan restu Allah yang manfaatnya bisa kita purbawasesakan kepada sanak saudara kita baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Ingat pengalaman Hardjo Sapoero sewaktu racut pertama kali, anugerah yang diterima yaitu: diayun-ayun, ditunjukkan ke sebuah taman yang indah dan harum baunya, ditunjukkan sumur gumuling, sumur jalatunda, diterimanya pula anugerah berupa dua pusaka nagasastra dan bendho segadha, sebuah kitab besar hingga bintang yang mengikuti perjalanan kembali ke badan wadag.

Menghidupkan Darma Agung

Menghidupkan Darma Agung dalam peranannya bermasyarakat serta pengabdian kepada Allah. Semangat dalam berdarma tidak lepas dari keyakinan kita kepada suatu kebenaran seperti:
Wahyu Sri Gutama. Suatu pengertian keyakinan dalam hal kebenaran bahwa Panuntun Agung kita adalah pelopornya bebuden luhur yang berarti dituntut bagi warga Sapta Darma untuk patuh dan tunduk pada kebenaran kalau kita mengaku sebagai pengikutnya.
Wahyu Sri Pawenang. Suatu pengertian semangat dalam diri kita agar berani mengambil sikap/kebijaksanaan-hidup dalam hal waktu dan kemauan. Mengambil langkah kebijaksanaan atau tekad dalam hidup untuk bersapta darma harus ada dalam jiwa kita.
Tanpa keyakinan itu, sulitlah bagi kita mempertaruhkan keihklasan, kejujuran, kaya darma, kemauan dan kemampuan kita dalam berdarma agung. Keyakinan dan semangat inilah yang memberikan motivasi terdahap “Berfungsinya Sosok Semar” kepada rohani seseorang. Dalam memimpin hidupnya Satria Utama, Hyang Maha Suci bisa berperan membantu dalam kesulitan hidupnya, memberikan solusi dalam kesulitan, memberikan hiburan dalam kesedihannya, memberikan nasehat dalam kebingungan dan sebagainya. Dengan keyakinan dan semangat berdarma yang disertai kesungguhan dalam pengetrapannya serta jujur dalam pengajaran-Nya bersapta darma, selanjutnya karya-karya kita sebagai warga Sapta Darma akan memberikan banyak manfaat bagi rencana Allah, bagi bangsa, negara, tanah air dan kedua orangtua serta kepada sesama.

Hidupkan Sastrajendra

Hidupkan Sastrajendra hingga wasis (tepat dan benar) dalam sasmita Allah. Tuntas dalam segala pakaryan. Hindari tradisi rubuh-rubuh gedhang. Pentingnya kita mengolah pakarti. Maneges kepada Hyang Maha Kuasa dapat meningkatkan wawasan pengertian dalam Sasmita Allah. Hari besar Sapta Darma haruslah mempunyai makna, dan makna itu mengilhami seluruh penghayatan dalam ritualnya, selanjutnya ada yang penting untuk diingat, dipegang dan dimiliki sekaligus dilaksanakan sebagai bentuk keyakinan.
Suatu misal peringatan malam Jumat Wage adalah hari turunnya wahyu sujud, maka yang penting untuk diingat adalah bahwa Hyang Maha Kuasa menurunkan Wahyu Sujud agar manusia senantiasa sesuai dengan kehendak-Nya. Sujud sebagai sarana untuk menjembatani kehendak Allah kepada kita sekalian. Kehendak itu tersirat pada isi sari tujuh wahyu ajaran yang satu sama lain gegandengan, isisari-isisari sarenteng dadi sawiji diharapkan bukan hanya sebagai hiasan semata, akan tetapi merasuk ke dalam jiwa yang sudah gemilang melalui sujud asal mula manusia.
Sekarang bagaimana kita di malam peringatan Jumat Wage, mengambil hikmah peringatan itu dengan mawas diri kita masing-masing: Sudahkah kita memahami kehendak Allah atas turunnya tujuh wahyu ajaran Sapta Darma dan kita sudah mau melakukannya? Adakah titik temunya, antara pelaku sujud dan kehendak diturunkannya wahyu tersebut?
Hikmah lainnya adalah kejelasan misi dan visi masing-masing hidup atas terpanggilnya lahir di dunia ini serta untuk mensucikan diri dengan tegas mau tunduk pada kewajiban keutamaan. Suatu contoh ikut berperan dalam meringankan penderitaan orang lain dengan pangusadan, peduli terhadap orang mati, pengemis, lingkungan, ikut berperan dalam kegiatan kerohanian, ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial, bakti sosial, peduli terhadap orangtua atau lansia, peduli kepada negara (taat pajak, KTP, PBB, dan sebagainya).
Kewajiban-kewajiban ini bukanlah beban, melainkan suatu kesadaran yang dipahami peruntukannya, dan yang penting adalah: lakukan dengan progressive revolusioner. Semoga menemukan kebahagiaan dunia dan akhirat. Yang wujudnya adalah keharmonisan antara kepentingan sifat rohani dengan kepentingan sifat jasmani. Suatu laku tirakat dalam nglakoni peringatan adalah bentuk kesungguhan dan kejujuran sikap dalam pengajaran hidupnya. Marilah kita tingkatkan belajar bersama-sama: kita hidupkan acara sanggaran kita bangkitkan untuk mengisi sanggar-sanggar candi busana, kita pertaruhkan kesungguhan dalam memahami ajaran, sebagai bentuk pengabdian kita kepada Allah maupun kepada sesama warga.

  • Mawas diri adalah semangat kita dalam bersapta darma, tanpa mawas diri maka bersapta darma adalah suatu kebohongan!
  • Tekane saka tekad, tiada perjuangan tanpa pengorbanan!
  • Kewajiban-kewajiban tanpa kepedulian dalam melaksanakannya adalah sama dengan diam di tempat!
  • Membangun candi sapta rengga (keimanan) sekaligus candi busana (ahklak) adalah membentuk kepribadian satria kang sejati !

Semoga anugerah Hyang Maha Kuasa senantiasa menyertai kita sekalian.

Rabu, 25 Mei 2011

Bagian 5 : Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syeh Siti Jenar



Kekhalifahan pertama Jawa, yang selama ini dicita-citakan oleh Kaum Putihan berhasil berdiri. Raden Patah atau Tan Eng Hwat dikukuhkan sebagai khalifah pertama Demak Bintara dengan gelar Sultan Syah 'Alam Akbar Jiem-Boenningrat (Nama Jiem-Boen, adalah nama China. Saya belum tahu pasti darimana dan mengapa nama itu diambil. : Damar Shashangka)

Praktis, Raden Patah mulai berkuasa dari tahun 1479 Masehi. Begitu naik tahta, wilayah negara Demak Bintara yang dulu diperkirakan kurang lebihnya separuh bekas wilayah Majapahit, terutama wilayah bagian barat yang mayoritas sudah banyak penduduknya yang memeluk Islam, ternyata perkiraan itu salah!

Daerah-daerah yang dapat dikuasai oleh Demak, yang terang-terangan dengan suka rela mengakui kedaulatan Demak Bintara, ternyata hanya sebatas Jawa Tengah sekarang dan pesisir utara Jawa Timur hingga ke Pulau Madura. Selebihnya, tidak ada satu Kadipaten-pun yang mau tunduk tanpa syarat.

Yang sangat mencolok mata, begitu Pangeran Cakrabhuwana meletakkan jabatannya sebagai Akuwu (setingkat Adipati ) di Caruban Larang pada tahun 1479, dan pada tahun itu pula Sunan Gunungjati diangkat sebagai pengganti beliau bahkan dinikahkan dengan putri beliau Nyi Pakungwati, Caruban Larang, secara tegas menolak menjadi wilayah Demak Bintara! Sunan Gunungjati berdalih, secara historis, Caruban Larang dari dulu bukan wilayah Majapahit, tapi wilayah Pajajaran. Dan Caruban Larang berhak menentukan nasibnya sendiri.

Syeh Siti Jenar diam-diam prihatin melihat kekonyolan mereka-mereka yang mengaku sebagai pemimpin umat ini. Namun, ketegangan demi ketegangan yang terjadi antar kaum Putihan sendiri, dita,bah operasi-operasi militer yang harus dilakukan oleh pemerintahan Demak Bintara, membuat Syeh Siti Jenar, sedikit banyak luput dari perhatian Dewan Wali.

Dewan Wali tengah sibuk, tengah kewalahan menghadapi perlawanan-perlawanan sisa-sisa kekuatan Hindhu-Buddha yang beberapa daerah masih nekad melakukan perlawanan. Seandainya Prabhu Brawijaya, mau mengkoordinasikan setiap kekuatan sisa-sisa Majapahit ini, maka Demak Bintara tak akan bertahan lama. Cuma yang dikhawatirkan oleh Sunan Kalijaga, jika memang pengkoordinasian kekuatan itu benar-benar dilakukan, bukan hanya Demak Bintara, bahkan seluruh umat muslim yang kontra Demak-pun jadi terkena imbasnya.

Banjir darah tidak hanya akan terjadi di Jawa, tapi diseluruh wilayah Majapahit, jika sampai Prabhu Brawijaya mengeluarkan komando penyatuan sisa-sisa kekuatan itu. Demi kemanusiaan, yang 'sadar', harus mengalah.

Disisi lain-pun, seandainya Raden Patah tidak memandang Dewan Wali Sangha, pasti dia akan melakukan invasi ke Caruban Larang yang kini, setelah dipimpin oleh Sunan Gunungjati, berubah nama menjadi Carbon Girang. Namun mengingat kedudukan kekhalifahan Islam di Jawa masih sangat lemah dan butuh kesatu paduan, untuk sementara Raden Patah memendam niatannya.

Semua dinamika politik ini, tak lepas dari pengamatan Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar. Pada awal berdirinya Demak, Sunan Kalijaga yang pernah berjanji kepada Prabhu Brawijaya untuk ikut terjun ke kancah perpolitikan, demi untuk bisa ikut menentukan arah kebijakan Demak Bintara ( baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ), pada waktu itu memilih untuk menunggu dan melihat perkembangan dulu. Beliau sekarang lebih terfokus untuk berdakwah keliling, dari satu kota ke kota lain, terutama di pedalaman Jawa demi untuk menghindari sewaktu-waktu Dewan Wali Sangha meminta bantuannya untuk menundukkan daerah tertentu dengan meminjam wibawa beliau.

Sedangkan Syeh Siti Jenar, lebih memfokuskan diri untuk mengajar para santri-santrinya. Terdapat beberapa nama santri beliau yang terkenal, diantaranya Lontang Asmara dan Sunan Panggung.

Waktu berjalan cepat. Pemerintahan Demak Bintara terus disibukkan dengan operasi-operasi militer yang tak kunjung selesai. Praktis, kesejahteraan masyarakat menjadi kurang diperhatikan. Rakyat kecil, yang dulu merasakan taraf hidup yang mapan pada saat Majapahit berkuasa, kini, pelahan-lahan, dibahaw naungan Ke-khalifah-an yang katanya pasti akan memberikan keberkahan, ternyata, malah membawa ke ambang ketidak pastian.

Stabilitas kacau balau. Roda perekonomian-pun terganggu. Banyak investor yang sudah pada hengkang dari Jawa. Jawa setelah Majapahit jatuh, bukannya berubah menjadi surga, namun malah menjadi neraka.

Dan konyolnya, pada tahun 1487 Masehi, Sunan Giri Kedhaton memproklamirkan berdirinya kembali Ke-khalifah-an Giri yang dulu pernah dihancurkan oleh Majapahit ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka).

Raden Patah, dibuat pusing karenanya.

Carut marut perpolitikan di Jawa membuat Dewan Wali melupakan kasus Syeh Siti Jenar dalam jangka waktu yang lama. Kini ditambah lagi, Carbon Girang mulai ikut-ikutan mencoba menggoyang Pajajaran.

Tahta Pajajaran, telah berganti dari Prabhu Silih Wangi atau Prabhu Niskala Wastu Kancana kepada Prabhu Tohaan sejak tahun 1475. Sunan Gunungjati, mendapati kakeknya, Prabhu Silih Wangi telah lengser, maka kini dia tak lagi sungkan-sungkan untuk mengadakan penyerangan ke wilayah Pajajaran. Namun, Pajajaran sangat kuat dan tertutup. Sehingga, baik invasi militer maupun taktik infiltrasi seperti yang pernah dilakukan kepada Majapahit, tak mampu menembus Pajajaran. Padahal Carbon Girang dibantu oleh Demak Bintara dan Kadipaten Banten. ( Banten adalah wilayah Carbon Girang. Dipimpin oleh Pangeran Sebakingkin, putra Sunan Gunungjati dengan Nyi Kawungten, putri Adipati Banten. Pangeran Sebakingkin kelak dikenal dengan gelar Maulana Hassanuddin. : Damar Shashangka).

Kegagalan taktik infiltrasi sebagian besar dikarenakan di Pajajaran, tidak banyak pejabatnya yang memeluk agama Islam seperti halnya Majapahit dulu. Bahkan diam-diam, beberapa sisa-sisa lasykar Majapahit, menyokong Pajajaran.

Jalan satu-satunya untuk memperlemah Pajajaran hanyalah menguasai pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa Barat, dimana dari pelabuhan-pelabuhan ini, roda perekonomian Pajajaran sebagian besar tertunjang karenanya. Seluruh pesisir utara Jawa Barat, dikuasai dengan paksa oleh Carbon Girang. Praktis, jika dengan kekuatan militer, Carbon Girang tidak mampu menembus Pajajaran, maka jalan satu-satunya adalah melakukan blokade ekonomi!

Melihat perkembangan politik Caruban Larang yang kini berganti nama Carbon Girang sedemikian panas, Syeh Siti Jenar punya niatan untuk memindahkan pesantrennya ke pedalaman Jawa. Beliau berniat untuk menyingkir ke basis kaum Abangan. Carbon Girang hendak beliau tinggalkan. Namun, Syeh Siti Jnear, bukanlah tokoh yang dekat dengan kekuasaan seperti halnya Sunan Kalijaga. Beliau kesulitan melobi hunian baru untuk tempat kepindahan pesantrennya.

Seandainya beliau tidak memikirkan nasib para pendukungnya, bisa saja beliau meninggalkan Jawa. Namun, itu bukan watak orang yang sudah 'tercerahkan'.

Menginjak awal tahun 1490 Masehi, ketika Pajajaran diperintah oleh Sang Raja Jayadewata (1482-1521 M), Ki Ageng Kebo Kenanga, atau yang terkenal dengan gelar Ki Ageng Pengging, penguasa daerah Pengging ( sekitar Surakarta, Jawa Tengah, sekarang : Damar Shashangka), yang masih berusia 21 tahun, sangat muda, diam-diam menawarkan daerah Pengging sebagai tempak hunian baru kepindahan pesantren beliau.

Mendengar hal itu, Sunan Kalijaga, yang pernah mendapat amanah agar menjaga trah Pengging dan trah Tarub dari Prabhu Brawijaya ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ), segera memperingatkan Syeh Siti Jenar agar menolak tawaran tersebut. Mengingat penguasa Demak Bintara masih menganggap trah Pengging adalah bahaya laten bagi Demak Bintara. Karena memang sesungguhnya tahta Majapahit, harus jatuh ke trah Pengging, bukan ke Raden Patah. Jika sampai pemerintah Demak tahu ada hubungan khusus antara Syeh Siti Jenar dengan Pengging, dapat dipastikan, Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging, akan dicurigai tengah membangun kembali kekuatan politik Majapahit.

Syeh Siti Jenar yang memang tidak paham peta politik Jawa, segera mempertimbangkan akan hal itu. Dan segera, beliau menolak tawaran Ki Ageng Pengging yang masih muda tersebut. Namun, Syeh Siti Jenar tidak bisa mengelak untuk menyukai sosok Ki Ageng Pengging, yang walaupun masih muda, namun sangat tinggi kedalaman 'spiritualitas'-nya. Syeh Siti Jenar dibuat kagug karenanya. Tidak hanya beliau, Sunan Kalijaga-pun juga mengagumi pemuda ini.

Walau terpaut usia yang cukup jauh, Syeh Siti Jenar tak segqan-segan mengajak Ki Ageng Pengging berdiskusi masalah 'spiritualitas'. Walaupun Ki Ageng Pengging pemeluk Shiva Buddha dan Syeh Siti Jenar pemeluk Islam, tapi pada ujung-ujungnya, esensi spiritualitas yang mereka dalami adalah sama.

Seringkali Syeh Siti Jenar memeluk Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih. Beliau sudah menganggap, pemuda ini adalah anaknya sendiri, tiada beda dengan Syeh Datuk Pardhun, putra Syeh Siti Jenar sendiri.

Begitu juga Ki Ageng Pengging, juga sudah menganggap Syeh Siti Jenar seolah seperti ayah kandungnya. Maklum, Adipati Handayaningrat IV, ayah kandung Ki Ageng Penggging, memang sudah wafat.

Kedekatan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Siti Jenar, menarik minat Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging, untuk berguru kepada Syeh Siti Jenar.

Disini perlu diperjelas, yang menjadi murid Syeh Siti Jenar sebenarnya adalah Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sedangkan Ki Ageng Pengging, walau dekat dengan Sang Syeh, tapi tetap memeluk Shiva Buddha. Hubungan yang indah antara sahabat, ayah angkat, murid dan Guru ini memang seringkali menimbulkan salah pengertian. Kelak, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang terkenal dengan gelar Sunan Butuh dan Sunan Ngerang, murid-murid Syeh Siti Jenar.

Namun, gerak-gerik Ki Ageng Pengging, senantiasa dimonitor oleh mata-mata Demak Bintara. Laporan kedekatan Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging telah masuk ke hadapan Raden Patah, Sultan Demak. Hal ini, perlu diwaspadai. Sebagai seorang pemimpin politik tertinggi Demak, mau tak mau, Raden Patah harus mencurigai kegiatan Ki Ageng Pengging.

Dan laporan serupa, sampai juga ke Kekhalifahan Giri. Sunan Giri, walau telah menjabat sebagai Sultan Giri, namun masih tetap juga menjabat sebagai Pemimpin Dewan Wali Sangha. Kerancauan ini, otomatis membuat Demak Bintara, walau bukan wilayah Giri Kedhaton, namun mau tak mau harus tetap tunduk pada fatwa-fatwa Sunan Giri. Dan fatwa-fatwa Sunan Giri, sangat tipis bedanya dengan perintah-perintah beliau sebagai seorang Sultan. Kalau direnungkan kembali, sebenarnya Raden Patah, tidak memiliki wewenang yang sesungguhnya sebagai Sultan Demak.

Hal inilah yang memicu kelak dikemudian hari, pada masa sesudah Kekhalifahan Demak jatuh, banyak penguasa Kekhalifahan Jawa yang berusaha menyerang Giri Kedhaton dengan kekuatan militer. Karena bagaimanapun juga, sebuah pemerintahan tidak akan bisa mementukan kebijakan secara bebas jika selalu diintervensi penguasa pemerintahan lain dengan berselimutkan fatwa.

Namun, usaha-usaha yang rasional seperti ini, malah dicerca habis-habisan oleh Kaum Putihan dikemudian hari. Mereka menjelek-jelekkan Sultan Hadiwijaya ( Kesultanan Pajang ) dan Panembahan Senopati ( Kesultanan Mataram ) yang menyerang Giri. Pada buku-buku kaum Putihan, yang melimpah ruah dipasaran, kedua penguasa ini sangat-sangat dipersalahkan.

Kelak pada tahun 1679 Masehi, pada saat Kesultanan Mataram diperintah oleh Sunan Amangkurat II, Giri Kedhaton berhasil dihancurkan.

Perkembangan hubungan antara Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, terus diawasi oleh Kesultanan Demak Bintara dan Kesultanan Carbon. Menjalang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sangha, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Carbon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar.

Pemerintahan Demak dan Carbon, merespon perintah Dewan Wali tersebut.

Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi ke Carbon Girang, membawa pasukan sebanyak 700 orang untuk menangkap Syeh Siti Jenar.

Kedatangan pasukan Demak diwilayah Kasultanan Carbon Girang menggegerkan masyarakat sekitar. Pasukan Carbon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak Bintara.

Pasukan gabungan ini lantas menuju Pesantren Krendhasawa, dimana Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar bermukim. Para santri geger melihat kedatangan pasukan gabungan ini. Seluruh santri diultimatum untuk meninggalkan area pondok Pesantren. Namun, perlawanan terjadi. Perlawanan yang takseberapa. Namun jatuh juga korban dipihak santri Syeh Siti Jenar.

Pondok Pesantren Krendhasawa dikepung ketat. Setelah pasukan Demak Bintara dan Carbon berhasil menguasai keadaan, Sunan Kudus, Senopati Demak Bintara, segera masuk ke Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar tinggal. Kedua ulama yang berseberangan ini bertemu dalam situasi tegang! Sunan Kudus, dengan menunjukkan surat perintah dari Sultan Demak, meminta Syeh Siti Jenar bersedia ditangkap. Syeh Siti Jenar dengan tenang menyatakan kesediaannya untuk ditangkap.

Pondok Pesantren Krendhasawa selama beberapa hari dalam situasi mencekam. Syeh Siti Jenar masih ada didalam sana. Beliautidak diperkenankan keluar dari kediaman beliau. Status beliau sekarang adalah tahanan negara! Beliau akan diadili di Cirebon, dengan tuduhan telah menggalang gerakan makar kepada pemerintahan yang sah dan telah menyebarkan ajaran menyimpang kepada ummat Islam. Ki Ageng Pengging, menyusul kemudian untuk ditangkap!

Tempat pengadilan belum ditentukan, menunggu kedatangan para Wali dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang tengah dalam perjalanan menuju Carbon Girang.

Beberapa hari kemudian Sunan Kalijaga datang lebih dahulu. Diiringi dengan beberapa santri beliau. Sunan Kalijaga, meminta kepada Sunan Kudus agar memperkenankan dirinya bertemu dengan Syeh Siti Jenar. Sunan Kudus tidak memberikan ijin. Tapi, Sunan Gunungjati, meminta Sunan Kudus agar memberikan kelonggaran bagi Sunan Kalijaga. Akhirnya, Sunan Kudus memberikan ijin juga.

Sunan Kalijaga berhasil menemui Syeh Siti Jenar, sosok yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Di Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar ditahan, mereka berdua berpelukan erat. Meteka berdua bertemu dalam situasi memilukan.

Syeh Siti Jenar, tetap terlihat tegar. Bahkan beliau berpesan kepada Sunan Kalijaga agar terus berjuang menegakkan Islam yang toleran, yang penuh kasih, bukan Islam yang kolot, kaku dan dangkal.

Beberapa hari kemudian, datanglah rombongan Dewan Wali ke Carbon. Mereka langsung menuju ke Istana Pakungwati ( Istana Kasultanan Carbon bernama Pakungwati, mengambil nama dari istri Sunan Gunungjati, Nyi Pakungwati : Damar Shashangka). Dibawah pimpinan Sunan Giri, Para Wali memutuskan untuk mengadili Syeh Lemah Abang dengan mengambil Masjid Agung Sang Ciptarasa sebagai tempatnya.

Syeh Lemah Abang, diiringi Sunan Kalijaga, dengan dikawal pasukan Demak dan Carbon, segera menuju Masjid Agung Sang Ciptarasa. Pengawalan sangat ketat. Seluruh masyarakat Carbon Girang mengawasi dengan hati tercekam.

Ada beberapa kejadian yang tak terduga, beberapa santri Syeh Lemah Abang melakukan perlawanan hendak menerobos blokade militer yang tengah mengawal Sang Syeh. Mereka berhasil ditangkap. Syeh Lemah Abang, ditengah kerumunan pasukan dan masyarakat yang hendak menyaksikan, segera memerintahkan agar seluruh santrinya tenang dan ridlo'. Seluruh pendukungnya diminta agar berserah diri kepada Dzat Penguasa 'Alam.

Di Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus berperan sebagai seorang Jaksa, dan Hakim dipegang oleh Sunan Giri.

Pengadilan berjalan a lot dan lamban. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi disana. Karena pengadilan ini bersifat tertutup. Situasi Masjid Agung Sang Ciptarasa sangat mencekam. Penjagaan ketat terlihat disana-sini. Pasukan Demak, dibantu Pasukan Carbon, melakukan penjagaan berlapis-lapis. Tidak ada yang boleh memasuki areal Masjid. Siapapun juga!

Hampir seharian penuh, tak ada perubahan situasi. Tetap mencekam. Dan menjelang malam tiba, nampak Syeh Lemah Abang, digiring ke halaman Masjid Sang Ciptarasa. Pasukan semakin diperketat.

Dihalaman Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus sendiri yang menjalankan eksekusi hukuman mati. Syeh Lemah Abang, dengan senyum dibibirnya, dengan kepasrahan total kepada Dzat Yang Meliputi Semesta, menyambut detik-detik terakhir hidupnya.

Sunan Kudus, memenggal kepala Syeh Siti Jenar. Kepala sudah terlepas dari badan. Darah menyemburat! Dan Syeh Lemah Abang, wafat saat itu juga!

Namun terjadi keganjilan, diareal Masjid Sang Ciptarasa, begitu Syeh Lemah Abang terpenggal kepalanya, mendadak sontak tercium aroma wangi semerbak yang aneh. Wangi yang bukan datang dari alam manusia. Wangi yang menyeruak dari alam Illahi!

Seluruh yang hadir tercekat. Para Wali yang menyaksikan jalannya eksekusi mati keheranan. Sunan Kudus tertegun. Para Pasukan yang bertugas sebagai penjaga pelaksanaan eksekusi, miris dan ketakutan.

Bahkan lamat-lamat, Para Wali melihat samar dan halus, ditengah-tengah darah yang menggenang disekitar jasad Syeh Siti Jenar, lamat-lamat, muncul empat huruf yang jika dibaca akan berbunyi ALLAH! Cuma sebentar. Dan kejadian gaib ini, sudah membuat beberapa Wali terjajar halus kebelakang!

Kala itulah, mendadak Sunan Kalijaga mengalami 'Peningkatan Kesadaran'. Batinnya sangat peka. Ada sebuah kekuatan illahi yang menarik 'Kesadaran' beliau. Dan Sunan Kalijaga tergetar begitu mendengar suara lamat-lamat, yang syahdu, berasal dari dalam jiwanya. Suara itu adalah suara Syeh Lemah Abang,...

Inilah yang beliau dengar..............


Kinanti

1.Wau kang murweng don luhung,
atilar wasita jati,
e manungsa sesa-sesa,
mungguh ing jamaning pati,
ing reh pêpuntoning tekad,
santa-santosaning kapti.

2.Nora saking anon ngrungu,
riringa rêngêt siningit,
labêt sasalin salaga,
salugune den-ugêmi,
yeka pangagême raga,
suminggah ing sangga runggi.

3.Marmane sarak siningkur,
kêrana angrubêdi,
manggung karya was sumêlang,
êmbuh-êmbuh den-andhêmi,
iku panganggone donya,
têkeng pati nguciwani.

4.Sajati-jatining ngelmu,
lungguhe cipta pribadi,
pusthinên pangesthinira,
ginêlêng dadi sawiji,
wijanging ngelmu jatmika,
neng kaanan ênêng êning.

Terjemahan :

1.Dari yang sampai kepada Jalan Agung,
Meninggalkan Pesan Sejati,
Wahai manusia semua,
Pada saat kematian menjelang,
Tekad yang kuat (menggapai Kesempurnaan Sejati ),
Dan keteguhan kehendak (menggapai Kesempurnaan Sejati )..

2.Tidak didapatkan karena hanya mendengar semata,
Terkecoh ajaran berbelit-belit,
Mementingkan keutamaan tubuh (Ilmu Fiqh),
Apa yang tertulis dipercayai begitu saja,
Padahal itu hanya Ilmu Etika,
Belum menyentuh apa yang sesungguhnya.

3.Maka jangan terjebak syari'at,
Sangat-sangat mengganggu pencapaian Kesejatian,
Terlalu menimbulkan keragu-raguan dan ketidak pastian,
Walau tidak yakin benar tetap saja kamu jalani,
(Fiqh) itu Ilmu Duniawi,
Ketika meninggal tidak berguna.

4.Sesungguh-sungguhnya Ilmu,
Berada didalam Kesadaranmu sendiri,
Tingkatkan Kesadaranmu itu,
Satukan dengan Kesadaran Sejati,
Kesempurnaan Ilmu Sesungguhnya,
Akan kamu dapatkan dalam keadaan ENENG ( DIAM ) ENING ( HENING).

Sunan Kalijaga menitikkan air mata haru mendapati fenomena luar biasa itu. Dan segera, beliau memerintahkan pasukan Demak, merawat jasad Sang Kekasih Allah tersebut.

Sunan Kudus terpaku. Tak mampu berucap sepatah kata-pun.

Jenasah beliau, dikebumikan di Kampung Kemlaten. Namun dikemudian hari, jenasah beliau dipindahkan ke Giri Amparanjati atas perintah Sunan Gunungjati.

Keharuman nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, tidak bisa dihapuskan begitu saja dari benak masyarakat Jawa. Walaupun demikian hebat fitnahan yang dilancarkan kepada beliau sesudah beliau wafat, namun bagi masyarakat Jawa, diam-diam Syeh Siti Jenar tetap sebagai tokoh Agung.

(Tamat)

Mepes Hawa Nafsu di Bulan SURO

Salah satu bulan yang sangat disakralkan bagi orang yang berpaham Kejawen adalah bulan SURO. Di bulan tersebut, masyarakat Kejawen diwajibkan kembali menelaah perjalanan hidupnya dan memulai ritual sucinya dengan berbagai cara.

Ada yang melakukan sarasehan, melekan (tidak tidur hingga pagi hari), larung sesaji, grebeg Suro dan lainnya. Namun semuanya memiliki tujuan yang sama yakni hanya memuji kebesaran GUSTI ALLAH. Antara ajaran Kejawen dan Islam sebenarnya ada kesamaannya. Orang berpaham Kejawen menyebut bulan dengan sebutan SURO. Sedangkan Islam menyebutnya dengan bulan MUHARAM. Bulan SURO atau MUHARAM itu merupakan tahun baru Jawa dan Islam. Sedangkan tahun baru yang banyak dirayakan oleh masyarakat seluruh dunia adalah tahun baru Masehi.

Pertanyaan yang muncul, Mengapa berbagai ritual itu mesti dilakukan pada bulan SURO? Apakah bulan-bulan lain tidak disakralkan dan tidak boleh melakukan ritual? Boleh-boleh saja. Pada prinsipnya manembah pada GUSTI ALLAH itu tidak terikat oleh ruang dan waktu. Bukankah kita hidup hakekatnya ada 2 yaitu
1. tansah eling lan manembah marang GUSTI ALLAH tan kendat rino kelawan wengi (selalu ingat dan menyembah GUSTI ALLAH baik siang maupun malam)
2. Apik marang sakpodo-padaning urip (berkelakuan baik terhadap setiap makhluk ciptaan TUHAN). Bulan SURO dikatakan merupakan salah satu bulan istimewa karena di tahun yang baru ini kita wajib untuk menelaah kehidupan yang telah kita lalui untuk menapaki kehidupan yang akan datang.

Ada kepercayaan pada masyarakat Jawa yang berpaham Kejawen bahwa saking sakralnya bulan SURO ini, maka tidak boleh ada kegiatan yang tergolong untuk bersenang-senang seperti pesta pernikahan, mendirikan rumah dan lainnya. Semua itu ada benarnya. Pasalnya, pada bulan SURO ini setiap masyarakat Jawa wajib untuk mepes hawa nafsu. Artinya kita wajib introspeksi dengan cara melakukan perjalanan masuk ke dalam diri. Sebuah perjalanan ritual yang sulit untuk dilalui. Buktinya, ketika kita nyata-nyata memang bersalah, toh kita masih menuding orang lain yang salah. Ini sebuah contoh bentuk pengingkaran yang ada dalam diri masing-masing manusia. Dan sifat itu perlu ditelaah agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang.

Bahkan bulan SURO yang diawali dengan tanggal 1 SURO senantiasa dirayakan masyarakat Jawa dengan beraneka ritual dan tidak bersifat hura-hura. Itulah sebabnya bulan SURO menjadi sakral di mata masyarakat Kejawen. SELAMAT TAHUN BARU, Mugi GUSTI ALLAH tansah maringi eling lan waspodo dhumateng kito sami. RAHAYU!