Semar disebut juga Badranaya

Mengemban sifat among, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.

Benih yang baik untuk hasil terbaik

Apabila menginginkan hasil yang baik maka tentulah dipilih bibit yang baik pula, bibit yang unggul, bibit yang sempurna.

Tesing dumadi, asal mula terjadinya Manusia.

Asal mula manusia adalah dari getaran tanaman dan getaran binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya tri tunggal yaitu nurcahya = sinar cahaya allah, nurrasa = sarinya Bapak dan nur buat = sarinya Ibu).

Pancasila..sikap hidup bangsa Indonesia.

Menurut ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (Wahyu tujuh ajaran yang masing-masing berisi lima butir ajaran mencapai kemuliaan, ketentraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/akhirat).

Apakah yang kita miliki..?

Ketika mati pun kita tidak akan membawa sepeser pun uang. Masihkah kita merasa sebagai makhluk yang adigang-adigung-adiguno?

Sujud dasawarsa, Sujudnya warga KSD

Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa.

Kita tidak sendiri

Alam beserta isinya adalah milik kita bersama...mari jaga kerukunan, kebersamaan dalam menjaga kelestarian demi generasi selanjudnya

out of body experience

Peristiwa out of body experience adalah merupakan gambaran awal dari kematian, Adalah merupakan indikasi putusnya hubungan Input sensor dalam tubuh, ketika kondisi manusia dalam konsisi sadar.

Butir-butir budaya jawa

Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawalesana Ngudi Sejatining Becik

Wewarah Tujuh

Merupakan kewajiban yang harus dijalankan Warga SAPTA DARMA dalam kehidupannya.

Sesanti

Sikap dan perilaku hidup dalam masyarakat yang harus diciptakan oleh Warga SAPTA DARMA.

Wejangan

Wejangan Panuntun Agung Sri Gutomo bagi warga SAPTA DARMA dalam mengenali jati diri yang sebenarnya.

Kamis, 14 Juli 2011

AMANAT SOEKARNO

AMANAT PADUKA YANG MULIA SOEKARNO
PRESIDEN PERTAMA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
PADA KONGRES KEBATINAN INDONESIA
Di GEDUNG PEMUDA, JAKARTA, TANGGAL 17 JUNI 1958


Saudara-saudara sekalian,

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Kepada Saudara-saudara yang beragama Budha, Hindu-Bali, saya berkata: “Om Manpatmahum Alignam Ashum”

Saudara-saudara, pada ini hari saya diminta untuk apa yang dinamakan memberi amanat kepada Kongres BKKI yang ke III. Dan Insya-Allah saya akan memberi sepatah dua patah kata dengan rasa hati yang gembira. Apalagi sesudah saya mengetahui definisi kebatinan, yang telah dirumuskan oleh BKKI yaitu: “Sumber azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup”. Mengetahui pula semboyan BKKI yaitu: “Sepi ing pamrih rame ing gawe, mamayu hayuning bawono” amat bergembira saya berhadapan dengan Saudara-saudara sekalian.

Terutama sekali pula sebagai tadi saya katakan, definisi kebatinan, sumber azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena sebagai Saudara-saudara semua ketahui, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila yang pertama daripada Pancasila dari Negara kita. Dan memang Saudara-saudara, siapa tidak mengerti bahwa Pancasila yang lima ini adalah satu kesatuan, siapa yang hendak memisah-misahkan Ketuhanan Yang Maha Esa daripada Kebangsaan, daripada Perikemanusiaan, daripada Kedaulatan Rakyat, daripada Keadilan Sosial, ia tidak mengerti akan inti dan arti Pancasila itu. Maka kalau yang pertama yang akan saya tandaskan kepada Saudara-saudara sekalian ialah mengerti kesatuan yang tak boleh dipecah-pecahkan dan pisah-pisahkan antara kelima-lima sila ini. “DE ONVERBREEKBARE EENHEID”. Kesatuan yang tak boleh dipecah-pecahkan daripada kelima sila ini.

Ada orang yang berkata: “Tak perlu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, cukup sila yang empat, Kebangsaan, rasa kebangsaan Indonesia yang bulat, cukup rasa Peri-Kemanusiaan, cukup Kedaulatan Rakyat, cukup Keadilan Sosial” Perkataan yang demikian itu adalah perkataan yang salah.

Kebangsaan tak dapat menjadi kebangsaan yang kuat, rasa kebangsaan tak dapat menjadi rasa yang mesra, yang menghikmati segenap jiwa kita, jikalau tidak diresapi atau tidak didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri-kemanusiaan, cinta kasih kepada sesama manusia, tidak perduli ia berkulit hitam atau berkulit putih atau berkulit merah atau berkulit kuning, tak dapat rasa cinta itu meresap sedalam-dalamnya didalam kita punya jiwa, jikalau tidak diresapi oleh rasa ketuhanan Yang Maha Esa. Kedaulatan rakyat demikian pula. Keadilan Sosial, yaitu kehendak untuk mengadakan satu masyarakat yang adil dan makmur tanpa penindasan manusia kepada manusia, rasa yang demikian itupun tak dapat meresapi kita punya jiwa, masuk kedalam tulang sumsum kita, darah daging kita, jikalau tidak diresapi atau berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebaliknya ada orang yang berkata: “Cukup hanya dengan rasa Ketuhanan Yang Maha Esa saja. Tidak perlu kebangsaan, tidak perlu Per-Kemanusiaan, tidak perlu Kedaulatan Rakyat, tidak perlu Keadilan Sosial” Pendirian yang demikian itu juga salah Saudara-saudara.

Justru oleh karena seseorang hidup didalam Ketuhanan Yang Maha Esa, justru oleh karena itulah dia cinta kepada tanah air. Justru oleh karena itulah dia harus cinta kepada sesama manusia. Justru oleh karena itulah dia harus cinta kepada cara pemerintahan yang bernama Kedaulatan Rakyat. Justru oleh karena itulah dia harus berikhtiar mati-matian untuk mendatangkan keadilan sosial atau satu masyarakat yang adil dan makmur.

Didalam agama Islam ada satu hadits yang ……katakanlah hadits ini hadits dhoif, tetapi hadits yang berbunyi “Hubbul wathan minal iman” “Cinta kepada tanah air adalah sebagian daripada iman” Sehingga orang yang tidak cinta kepada tanah air, imannya belum lengkap.

Demikian pula Saudara-saudara, Perikemanusiaan. Tiap-tiap agama memerintahkan kita supaya cinta kepada sesama manusia. Didalam agama Hindu berulang-ulang saya katakan, ada satu ajaran yang berbunyi: “Tat twam asi”, Tat twam asi, dia adalah aku, aku adalah dia. Dia, dia, dia, dia adalah aku, aku adalah dia, artinya kesatuan diantara semua manusia, tidak perduli ia berkulit hitam, tidak perduli ia berkulit warna yang lain.

Demikian pula Saudara-saudara, segenap ajaran tiap-tiap agama. Ambillah misalnya agama Islam, yang kitab Al-Qur’an-nya atau hadits-hadits Nabi-Nya penuh dengan ajaran-ajaran mencintai sesama manusia, ajaran Fardhu Qifayah.

Ajaran Fardhu Qifayah berdasarkan atas cinta sesama manusia. Engkau berdosa, jikalau engkau hidup disesuatu desa, ada orang meninggal misalnya, dan orang meninggal itu tidak terurus, tidak terkubur dengan baik, meskipun engkau bukan bapak daripada simati atau mbok daripada simati, engkau ikut berdosa. Engkau harus ikut bertanggung-jawab atas hidup atau matinya orang yang mati itu. Fardhu Qifayah Saudara-saudara.

Demikian pula sila Kedaulatan Rakyat. Bagaimana kita bisa dengan rasa mesra percaya, bahwa cara pemerintahan yang satu-satunya sempurna ialah mengambil kehendak rakyat. Kedaulatan Rakyat, jikalau kita tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, jikalau kita tidak percaya kepada ucapan orang Yunani, yang pada waktu itu belum ada agama mono-theisme, tetapi toh telah berkata “VOX POPULI, VOX DEI” “Suara rakyat adalah suara Tuhan”

Demikian pula Keadilan Sosial, Saudara-saudara. Rasa Keadilan Sosial yang kita tidak merasa senang hidup, jikalau kita masih melihat “EXPLOITATION DE L’HOMME PAR L’HOMME”. Melihat manusia dihisap oleh manusia lain. Melihat kemiskinan, melihat penderitaan, melihat kesengsaraan. Bagaimana kita bisa mati-matian berjuang untuk melihat keadilan sosial, kalau didalam dada kita tidak bersemayam rasa Ketuhanan Yang Maha Esa? Maka oleh karena itu Saudara-saudara, saya bergembira, bahwa BKKI memberi definisi yang demikian kepada kebatinan dengan menegaskan buat kesekian kalinya, bahwa Pancasila tak boleh dibagi-bagi.

Lima tetapi satu, Saudara-saudara. Ketuhanan Yang Maha Esa, Satu artinya Esa. Tetapi jangan lupa Saudara-saudara, bahwa Tuhan juga bernama Robbul’Alamin. Tuhan Seru Sekalian Alam. “DE HEER DE WERELDEN” kata orang Belanda. Tuhan Seru Sekalian Alam, Robbul ‘Alamin, tetapi satu, seru sekalian alam. Tuhanku, ya Tuhannya Pak Wongsonegoro, ya Tuhannya Pak KH Ilyas, ya Tuhannya Saudara Sukanto, ya Tuhannya bumi ini, ya tetapi juga Tuhannya matahari, Tuhannya bulan, Tuhannya bintang, Tuhannya gunung yang membiru, Tuhannya awan yang berarak dilangit, Tuhannya lautan yang bergelora, Tuhannya sibanteng, Tuhannya sigajah, Tuhannya semut yang kecil-kecil, Tuhannya bunga, Tuhannya rumput yang kita injak, Tuhannya batu kerikil yang kecil-kecil, Tuhannya setan-setan dan jin-jin, Tuhan Seru Sekalian Alam, Robbul’Alamin. Tetapi satu Saudara-saudara. Dan jikalau orang merasa benar, bahwa Tuhan ini adalah Tuhan Sekalian Alam, maka orang lantas merasa persatuan antara aku dan dia, antara dia dengan dia, sama-sama anak Adam, sama-sama menyembah Tuhan Seru Sekalian Alam itu.

Maka oleh karena itulah Saudara-saudara tadi saya katakan, tanpa rasa Ketuhanan Yang Maha Esa meresap didalam jiwa kita bahkan ……..nanti akan saya terangkan…………, berkobar-kobar mengapi-api, menggempa didalam kita punya jiwa, kita tak dapat merasakan dengan benar-benar akan kebenaran azas Pancasila ini. Bahkan saya berkata, tidak dapat kita bekerja mati-matian.

Saya setuju sekali dengan ucapan kawan-kawan itu tadi, bahwa kebatinan bukanlah ilmu klenik. Ya memang inipun Saudara-saudara berulang-ulang akan saya gemblengkan didalam kalbu semua rakyat Indonesia, jangan sekali lagi, jangan sekali-kali berilmu klenik!

Kebatinan bukan ilmu klenik. Kebatinan bukan harus ilmu klenik. Kebatinan sebagai tadi telah berulang-ulang dikatakan baik oleh Pak Diro, oleh Pak Ilyas, oleh Pak Wongsonegaro, kebatinan dapat hidup dan harus hidup didalam masyarakat yang bergolak.

Tadi Pak Wongsonegoro berkata satu kalimat yang pada hakekatnya benar. Apa yang dikatakan oleh pak Wongsonegoro? Pihak Kongres adalah berbicara. Pihak kebatinan kata beliau adalah semadi dan taffakur.

Pada hakekatnya ucapan ini adalah benar. Tetapi semadi dan taffakur Saudara-saudara berjalan pula didalam aktivitet. Jangan kira semadi dan taffakur hanya terjadi didalam kamar tertutup. Kita memegang tasbih atau tidak memegang tasbih, memadamkan semua lampu, menutupi babahan howo songo, hamandeng pucuk ing grono, jangan kira bahwa taffakur berarti memutar-mutarkan tasbih, tidak saudara-saudara.

Lihat hidupnya para pemimpin-pemimpin besar, juga pemimpin-pemimpin dilapangan kebatinan. Didalam aksi mereka, didalam keaktifan mereka, didalam pembantingan tulang mereka, didalam mereka memeraskan tenaganya, memeraskan keringat-keringatnya, didalam mereka berjuang, mati-matian berjuang mereka semadi dan taffakur.

Kalau Nabi Muhammad SAW duduk diatas kudanya dengan memegang pedang menghadapi musuh, jiwanya bersemadi dan bertaffakur.

Jikalau Vivekananda, empu Sannyasin yang Maha Besar dimasyarakat Hindu India, jikalau Swami Vivekananda anjajah desa amilang kori dari Utara India sampai ke Tanjung Pemurin Selatan pergi ke Timur India, melintasi India lagi sampai kepantai barat, jikalau Vivekananda ini menjalankan apa yang ia namakan pariwradjaka, dari desa kedesa, dari desa kedesa, ia menolong orang miskin, ia berpidato berkobar-kobar, ia mencoba menggugahkan semangat India, agar supaya rakyat India cinta kepada tanah air dan bangsa, ia bersemadi dan bertaffakur. Jiwanya bersemadi dan bertaffakur. Jiwa penuh dengan api kebatinan. Malahan Vivekananda berkata: “Aku menghendaki rakyat India ini satu persatunya berjiwa” apa katanya? “Berjiwa daripada dahsatnya petir dan gledek dan guntur!” Ia menghendaki engkau berjiwa yang jiwanya terbuat dari dahsyatnya petir, geledek dan guntur.

Ia menghendaki kamu supaya engkau berjiwa yang terbuat daripada zat petir dan geledek dan guntur. Ia menghendaki kamu, supaya engkau berjiwa yang terbuat daripada zat petir dan geledek dan guntur. Jiwa yang berkobar-kobar, kataku. En toch Vivekananda, ahli semadi dan ahli taffakur. Inilah yang dimaksudkan oleh Pak Wongsonegoro, kongres berbicara, kebatinan semadi dan taffakur.

“Semadi dan taffakur didalam aktiviteit !!”. Lihatlah hidupnya orang-orang besar! Lihatlah hidupnya maharadja-maharadja kebatinan didalam sejarah! Minta contoh dari agama apa?

Contoh daripada agama Budha? Lihat hidupnya Buddha Sakyamuni! Diapun hidupnya dari desa kedesa, dari desa kedesa, tidak berhenti-henti ia beraksi, tidak berhenti-henti ia menolong kepada orang miskin, tidak berhenti-henti ia menghidupkan rasa Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebenar-benarnya, tidak berhenti-henti ia membantu agar supaya hilanglah kesengsaraan didunia ini.

Ingin contoh daripada agama Kristen? Ya Allah, Ya Robbi, siapa yang tidak mengetahui sejarah hidupnya Isa? Isa yang misalnya sebagai juga Muhammad, anti riba. Sedih hatinya melihat orang menjalankan riba, menghisap darah orang miskin dengan meminjamkan uang, yang harus dikembalikan dengan rente setingi-tinginya. Apa yang Isa perbuat Saudara-saudara? Mula-mula ia kasi ajaran, jangan riba, jangan riba, jangan riba, masuk desa keluar desa, jangan riba, jangan riba, masuk desa keluar desa, bukan putar tasbih didalam kamar yang tertutup atau didalam gua, tidak! Keluar desa masuk desa, sehingga ada seorang seni pahat yang bernama Epstein membuat patung Isa. Epstein orang abad ke-20, karena dia mengetahui Isa selalu berjalan dari desa-kedesa, dari desa kedesa, dan iapun pandai sekali menjadi tukang kayu, maka Epstein membuat patung Isa digambarkan sebagai manusia yang kakinya bukan kaki ningrat, yang halus runcing Saudara-saudara. Orang yang saban hari berjalan dari desa kedesa mustinya kakinya kaki kasar. Orang yang suka kepada kerja kasar menggergaji, menyerut, tangannya mestinya bukan tangan halus seperti tangannya putrid-putri, yang duduk disana. Tidak, Epstein membuat patung yang demikian. Nah, Isa Saudara-saudara masuk desa keluar desa, masuk desa keluar desa, berkata kepada rakyat, jangan riba, jangan riba, jangan riba!

Tetapi sesudah ia melihat, bahwa iapunya piwuruk ajaran-ajaran ini tidak di-paelu orang, apa yang ia perbuat? Ia ambil cambuk Saudara-saudara! Dia pergi ketempat temple, yang dimuka temple itu orang-orang pribadi duduk. Isa datang disitu, dan ia usir orang-orang ini sama sekali dengan cambuk Saudara-saudara. Lambang aksi, dia mencambuk orang, mengusir orang yang berbuat salah, oleh karena orang-orang ini tidak dapat diperbaiki lagi, dengan sekedar amanat dan wejangan.

Mau contoh lain Saudara-saudara? Ambil dari agama Hindu. Saya sering, bahkan sudah lima kali saya membaca kitab Bhagavad Gita, dari A sampai Z, A sampai Z, A sampai Z, keempat kalinya A sampai z, kelimakalinya A sampai Z. Aku kagum disitu Saudara-saudara, Bhagavad Gita ternyata bukan kitab klenik. Ternyata bukan kitab untuk duduk didalam kamar bersemadi hanutupi babahan howo songo hamandeng pucuk ing grono, tidak Saudara-saudara, tetapi Bhagavad Gita adalah dalam bahasa asing “EVANGELIE VAN DE DAAD” Gita adalah nyanyian perbuatan, nyanyian amal, nyanyian fi’il.

Kresna memberi ajaran kepada Arjuna: “Arjuna, berbuat, Arjuna, berbuatlah, Arjuna, berjuanglah, jangan engkau diam” Arjuna berkata: “Aku tidak sampai hati untuk berbuat, terutama sekali berbuat membunuh Saudara-saudaraku sendiri, membunuh mereka dipadang Kuru Kestra. Padahal mereka-mereka itu Kurawa, adalah saudara-saudara sendiri. Aku tidak sampai hati untuk membunuh kurawa itu, aku tidak mau berbuat!” Kresna berkata: “Berbuatlah, bertempurlah, bunuhlah mereka itu” “Aku tidak mau membunuh Saudaraku sendiri” “Bukan engkau yang membunuh, sebelum engkau yang membunuh, aku telah membunuh dia. Sebelum engkau membunuh dia (sijahat) aku telah membunuh dia. Engkau ini sekedar seperti membunuh dia. Tetapi pembunuh yang sebenarnya ialah aku, aku Kresna” Kresna didalam arti Tuhan.

Dengan keyakinan yang demikian ini, maka Arjuna bertempur Saudara-saudara. Dia bertempur, dia menaiki dia punya kereta. Dia mementangkan dia punya gendewa, dia menarik dia punya keris, pendek kata dia bertempur mati-matian. Jiwanya semadi dan taffakur! Aku berbuat ini atas nama dia, aku berbuat ini karena dia, telah kukerjakan hal ini.

Saudara-saudara, lebih dahulu saya menggok sebentar, Hal Kresna yang dia mengatakan aku, dirinya berupa Kresna Saudara-saudara. Tetapi ia berkata aku, aku adalah God yang satu, Tuhan yang Maha Esa, tetapi aku adalah dimana-mana. Ya didalam zaman sekarang ini ada orang berkata, dimana letaknya Tuhan? Ada yang berkata, oh, Tuhan disana, tinggi, tinggi duduk disana. Kita ini disini dibumi. Tuhan disana. Tidak Saudara-saudara! Tuhan Seru Sekalian Alam berada dimana-mana. Tetapi satu. Dia meliputi segala alam ini, tetapi Esa. Dia dimana? Ya, Dia dilangit, saf ketujuh, tetapi Dia juga ada disini. Dia dibelakang jendela itu Saudara-saudara. Yang didalam hatinya Pak Wongso, ya Dia didalam bunga-bunga ini, dimana-mana ada Tuhan Saudara-saudara, tetapi Ia adalah Satu.

Ini Saudara-saudara apa yang diajarkan pula oleh Kresna, tatkala Arjuna Tanya kepadanya: “Ya Maha Kresna, Tuanku berkata aku, aku itu apa ?” Kresna berkata: “Aku, aku adalah didalam awan yang berarak, aku adalah digunung yang membiru, aku adalah didalam samudra, aku adalah didalamnya samudra gelora, aku adalah didalam api, aku adalah bahannya api, aku adalah bulan, aku adalah sinarnya bulan, aku adalah perkataan kramat Om, aku adalah didalam ruangan singa, aku adalah Marici, dewa angin, aku adalah didalam Waruna, dewa air, aku adalah didalam senyumannya tiga pici yang manis, aku adalah didalam batu yang disembah oleh orang yang belum beragama, aku adalah didalamnya sepoinya angin, aku adalah didalam harum gandanya bunga yang cantik, aku adalah permulaan, tetapi aku adalah pula akhir. Aku tak kenal permulaan, akupun tidak kenal akhir. Aku tidak dilahirkan, tetapi aku tidak mati pula. Aku dimana-mana, aku adalah zat yang abadi. Satu atom dari aku ini, memikul seluruh alam semesta ini”. ”ONE ATOM OF MYSELF SUSTAINS THE WHOLE UNIVERSE”. Satu atom dari aku ini, memikul seluruh alam semesta ini. Tetapi aku satu. Aku adalah Esa. Aku adalah didalam perbuatan, aku adalah didalam rasa, aku adalah didalam penglihatan, aku adalah didalam pikiran. Aku meliputi segala hal, sesuai dengan sebagai tadi saya katakana Saudara-saudara; Robbul’Alamin, Tuhanku, Tuhanmu, Tuhanmu, Tuhannya daun pohon yang saya lihat dari sini, Tuhannya burung yang kelihatan terbang disana, Tuhannya awan yang ber-arak, Tuhannya Gunung Merapi, Tuhannya Gunung Guntur, Tuhannya sikembang, Tuhannya sisungai, Tuhannya silaut, Tuhannya segala yang ada kumelip dimuka bumi ini.

Dan memang Saudara-saudara, hanya jikalau kita meresapi kita punya jiwa dengan rasa yang demikian ini, barulah kita bisa Saudara-saudara; Bernasionalisme sehebat-hebatnya jiwa, ber peri-kemanusiaan sehebat-hebatnya jiwa, berkedaulatan rakyat sehebat-hebatnya jiwa, berkeadilan sosial sehebat-hebatnya jiwa. Aku tadi sedang menceritakan bahwa kebatinan adalah juga didalam aksi, bahkan kebatinan yang sejati adalah dinamis, adalah aktif.

Contohnya yang lain. Aku telah menunjukan contoh Isa, telah menunjukkan Vivikananda dengan ia punya pariwradjaka, telah menunjukan contoh Budha Sakyamuni.

Ingin suatu contoh yang hebat Saudara-saudara ? Ambillah contoh Nabi Muhammad SAW. Telah dijanjikan oleh Tuhan kepadanya: “Muhammad, engkau akan menang!” Bahkan Tuhan telah berkata kepadanya: “Engkau telah kuangkat menjadi manusia yang teragung” Bukan lagi janji saudara-saudara, malah telah dikatakan TELAH. “Engkau akan menang, musuhmu akan kalah, musuhmu akan tunduk” Tetapi apakah Nabi Muhammad SAW yang dijanjikan hal demikin itu lantas: “Ya Allah sudah janji, tinggal kita nagih saja”

Terlaksananya itu janji duduk didalam mesjid atau duduk didalam sanggar pemujaan. Lagi-lagi hanutupi babahan howo songo mandeng pucuk ing grono. TIDAK saudara-saudara ! Nabi Muhammad SAW berjuang !! Berbuat !! Bertindak !! bahkan bertempur !! Ia kumpulkan sahabat-sahabatnya, saudara-saudaranya: “Asah engkau punya senjata, perbaiki engkau punya panah, latih engkau punya onta-onta, mari kita persiapkan diri kita untuk bertempur, untuk berbuat, untuk beraksi! ” Ia gerakan seluruh umat sahabatnya untuk beraksi. Pagi sampai sore, sore sampai malam. Berbuat, berbuat, amal, amal, amal, sekali lagi amal. Ini adalah taffakurnya, semadinya Nabi Muhammad bin Abdullah SAW

Maka saya minta kepada Saudara-saudara sekalian supaya mengerti, bahwa kebatinan sejati, demikianlah. Saya ulangi perkataan saya tadi itu; jangan sekali-kali Saudara-saudara anggap kebatinan adalah ilmu klenik. Jangan sekali-kali saudara-saudara berbuat klenik.

Apalagi jikalau nanti membahas ibukota, deg-deg-an hati saya, berdebar-debar hati saya, kalau Saudara-saudara tentukan, putuskan ibukota harus disana, sebab sudah saja klenikkan. Jangan Saudara-saudara, sama sekali tidak boleh demikian.

Saya kira Saudara-saudara, ocehan saya yang 40 menit ini sudah cukup melukiskan hati saya kepada Saudara-saudara. Demikianlah harapan saya kepada Saudara-saudara sekalian. Tinggal saya mendoa kepada Tuhan Seru Sekalian Alam itu tadi, Tuhanku, Tuhanmu, Tuhanmu, ya Tuhannya Pandit, ya Tuhannya Saudara Ibrahim, ya Tuhannya Saudara Sumardjo, ya Tuhannya Pak Wongso, ya Tuhannya Pak Hutasoit, Tuhannya kita, Tuhan Seru Sekalian Alam ini, agar supaya Kongres BKKI yang ke-III sampai pada keputusan-keputusan yang betul-betul manfaat, bagi manusia, bagi Tanah Air, bagi Negara.

“Mamayu hayuning bawono, mamayu hayuning bongso, mamayu hayuning negoro”Terimah kasih.

Rabu, 13 Juli 2011

PERMADI DAN WARNA HITAM


Banyak orang yang menilai warna hitam adalah simbol kejahatan dan keburukan. Bagi politisi PDIP, Permadi, warna hitam adalah simbul Ketuhanan yang hakiki. Karena dalam warna hitam itulah konsep Jawa manunggaling kawulo lan gusti (bersatunya manusia dan Tuhan) dapat terjadi. Kok bisa?

"Warna hitam itu warna Tuhan. Bapak saya mengajari, ilmu tertinggi sebelum manunggaling kawulo lan gusti adalah saka paraning dumadi (dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali). Sebelum kita manunggal, kita harus memasuki alam kelanggengan (keabadian) yang disebut alam tan keno kinoyo ngopo, itu simbulnya hitam," kata Permadi pada detikcom di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Itulah Permadi. Mantan Anggota Komisi I DPR asal PDIP ini dengan bangganya menjelaskan filosofi warna hitam yang selalu dia wujudkan dalam bentuk baju, celana, kaos, jaket, bahkan CD alas celana dalam sekali pun.

"Kalau sudah manunggaling kawulo lan gusti, tidak ada sedikit pun rasa takut apa-apa. Mau kritis, mau nggak dapat amplop, mau ngadepin siapa pun, berani. Karena itu setiap hari saya selalu mengenakan pakaian hitam. Baju hitam, celana hitam, kaos hitam, bahkan celana dalam saya pun yang jumlahnya 15 juga hitam," terang Permadi.

Pria yang lebih senang disebut spiritualis ini lalu menjelaskan asal muasal kecintaanya pada warna hitam. Tidak hanya itu Permadi pun juga membuat joke-joke.

"Saya suka warna hitam itu sejak kecil sekitar umur 5 tahun. Meski demikian, kadang masih selang-seling dengan warna lain karena orang tua saya ingin baju anaknya tidak terlihat itu-itu saja," terang pria kelahiran Semarang 16 Mei 1940 ini.

"Baru setelah umur 25-an, bersamaan dengan perlawanan saya kepada Soeharto tahun 1965/1966-an, saya konsisten mengenakan warna hitam. Sampai sekarang 2 periode manjadi anggota DPR, saya sekali pun tidak pernah mengunakan warna lain," terang Permadi.

Menurut ayah 4 anak ini, warna hitam merupakan simbol dari idealisme dan konsekuen. Karena itulah, sampai akhir hayatnya ia akan menjalani ritual hitam sebagai bentuk komitmen pada perjuangan idealisme dan keteguhan terhadap arti hidup yang konsekuen.

"Warna hitam itu warna yang paling konsekuen. Anda pakai baju apa pun, apakah warna merah, hitam, kuning, biru, putih sekalipun kalau kena cahaya, bayangannya akan tetap hitam. Artinya kalau orang sudah hitam, apa yang dia pikirkan, rasakan, katakan dan lakukan akan sama," terangnya.

Permadi mengaku pernah disebut 'iblis' karena ke mana-mana selalu pakai hitam-hitam. Namun dia tidak kehilangan akal untuk menjawab olok-olokan dan julukan tersebut.

"Saya pernah diundang di satu universitas Islam. Saya pakai hitam-hitam. Seorang penanya dengan beraninya memaki-maki saya dan menyatakan saya pengikut iblis karena selalu pakai hitam-hitam.

Saya tidak marah, justru saya balik bertanya, apakah saudara pernah lihat, iblis itu warna hitam. Hantu yang bisa dilihat yaitu Casper saja, warnanya putih. Anda tidak berdasar saya katakan. Dia nggak bisa ngomong lagi," kenangnya.

Kalau sejak umur 25 tahun Permadi sudah pakai hitam-hitam, berapa jumlah pakaiannya yang berwarna hitam ya? "Wah, saya nggak tahu, Mas. Pastinya banyak sekali. Saya nggak pernah ngitung. Tapi sekarang yang selalu saya pakai sekitar 10 setel," sahutnya.

Meski serba hitam, tapi tetap ada warna lain di tubuh Permadi. "Rambut saya yang putih hahahaha," selorohnya.
Sumber : detik.com

Selasa, 12 Juli 2011

BABAD TANAH JAWI (BAG. III )


VERSI PANEMBAHAN SENOPATI
By alang alang@Juni 18, 2008
DHANDHANGGULA
(1)     Lawan Jebeng ya sun Tanya yekti, antuk apa sira seka sagra”, Senapati lon ature, “Inggih binektan ulun, Tigan lungsungjagat ken nedhi, lan Jayengkaton lisah”, dwi serana katur, sang wiku wrin lon delingya, “Katujone durung kongsi sira bukti, yen wisa dadi apa.
Kepadamu anakku aku bertanya, kamu mendapat apa dari segoro/samudera”, Senopati menjawab pelan, “Ya saya diberi Telur Lungsung Jagad yang disuruh memakannya, dan Minyak Jayengkaton”, Keduannya adalah pemberian, sang Wiku sudah menyadarinya dan berkata secara halus, “Untung saja kamu belum membuktikannya, jika sudah dimakan mau jadi apa kamu Nak.
(2)     Temah antuk sengsareng ngaurip, yekti wurung sira dadi nata, nggonirarsa mengku ngrate, sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan wikan, myang garwa putramu, labete wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul mesthi, sabab nir manungsanya.
Hanya mendapat hidup yang sengsara, pasti gagal keinginanmu menjadi Raja memerintah kerajaan malah terperangkap di samudera luas, tidak bisa kembali ke Mataram, rakyatmu dan anak isterimu tidak akan melihatmu karena kamu sudah berubah wujud, karena kamu menjadi lelaki/suami Ratu Kidul, menjadi hilang wujud manusiamu.
(3)    Maneh Jebeng sun Tanya kang yekti, sira remen marang narpaning dyah, kaya ngapa suwarnane”, Senapati lon matur, “Wananipun ayu nglangkungi, saktuwuk dereng mriksa, keng (k.253) kadya Dyah Kidul”, sang wiku mesem ngandika, “Kesamaran kita Jebeng Senapati, kena ngayu sulapan.
Kembali saya bertanya kepada mu dengan pasti, kamu suka kecantikan sang Ratu, seperti apa wajahnya”, Senopati menjawab pelan, “Wajahnya sangat cantik, seumur hidup saya belum pernah melihat, yang seperti (k.253) Dyah Ratu Kidul”, Sang Wiku tersenyum berbicara, “Kamu terkena sihirnya anakku, itu hanya wujud yang disulap.

(4)       Sabab sira durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing pura, dyah supine ya suncolong, neng jenthik driji sang rum, iki warna delengen Kaki”, kagyat Sang Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gengira, pan sakwengku tebok bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.
Sebab kamu belum pernah melihat sebelumnya, dulu saya sudah pernah masuk ke pura, aku mencuri cincin dari jari kelingking sang Ratu, ini wujud sebenarnya sang Ratu silahkan melihat anakku”, senopati terkejut, melihat cincin yang sangat besar, sebesar “tebok” lubang cincin, Senopati merunduk memperhatikan.
(5)       Driya maksih maiben ing galih, Sunan  Adi  ing tyas  wus  waskitha,  Senapati  tyas  sandeyeng,  wusana ngling sang wiku, “Payo Jebeng ya padha bali,mumpung narpeng dyah nendra,katon warna tuhu, mengko Jebeng wespadakna”, ri wusira Jeng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.
Saya masih merasa ragu dalam hati, Sunan Adilangu menyadari dalam hatinya, hati senopati bimbang, lalu melihat kepada sang Wiku, “Ayo Nak kita pulang, mumpung Ratu sedang tidur, nanti kamu bisa memperhatikannya lagi” setelahnya Kanjeng Sunan Adilangu dan senopati berabjak meninggalkan samudera.

(6)      Sakpraptaning jro pureng jeladri, Ratu Kidul wus kepanggih   nendra,  nglenggorong langkung agenge, lukar ngorok mandhekur,rema gimbal jatha mangisis,panjangnya tigang kilan, sakcarak gengipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing warni, tansah legek tan nebda.
Sesampainya di pintu samudera, diketahui bahwa Ratu Kidul sudah tidur, tidur telentang badannya sangat besar, tidur tanpa pakaian dan suara mendengkur, rambutnya gimbal/ gembel dan gigi siungnya keluar tajam, panjangnya 3 kali jengkal tangan, sebesar “carak”, payudaranya turun menggantung, Senopati menggigil ketakutan melihat wujudnya, sangat terkejut sampai tanpa bicara.

(7)     (k.254) Sunan Adi nebdeng Senapati, “Jebeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu mring Hyang Agung, lamun wungu sakarep dadi, bisa salin ping sapta, sakdina warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok menawi mengko tangi, gawe rengating driya.”
(k.254) Sunan Adilangu berkata kepada Senopati, “Nak itu lah wujud sebenarnya Ratu Kidul, yang bisa berubah menjadi cantik karena sulapan sihir, “linulu” kepada Hyang Agung, ketika bangun berubah lagi, bisa berubah selama tujuh (7) kali, dalam satu hari, menjadi cantik, kalau kamu sudah puas melihantnya mari kita pulang, kemungkinan dia nanti bangun, membuat sakit hati.”

(8)     Wusnya nulya kentar pyagung kalih, ing semarga Sunan tansah jarwa, “Ya sun tan malangi Jebeng, nggonira kita wanuh, lan dyah narpa sakkarsa Kaki, wis bener karsanira, nging ta cegah ingsun, wenangira mung persobat, sabab iku kang rumeksa Pulo Jawi, wenang sinambat karsa.
Setelah itu kedua pembesar beranjak pergi, di perjalanan Sunan berbicara, “Ya saya tidak menghalangi kamu berkenalan dengan Ratu Kidul, sudah benar keinginanmu, terserah kamu, hak kamu berteman, sebab itu yang menyatukan Pulau Jawa, berhak meminta bantuan.

(9)   Mayo padha mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wis manira”, wusnya dwi gancang tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekken lan Senapati, tindakira lir kilat, sakedhap prapta wus, njujug dalem pepungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati, arsa ngyektekken srana.
Mari kita pulang ke Mataram, saya mau singgah di rumahmu”, ayo percepat perjalanan kita, Sunan Adilangu diikuti oleh Senopati, jalan mereka secepat kilat, sekejap sudah sampai, langsung menuju rumah belakang, Sunan Adilangu dan cucu Senopati akan membuktikan sarana (pemberian Ratu, telur dan minyak).

(10)   Juga juru taman Senapati, jalma tuwa madad karemannya, dadya mengguk  raga ngronggok, yen angot tan tuk turu, sambat muji marang Hyang Widi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna (k.255) ngumur, samben muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale krengkangan.
Juga juru taman Senopati, manusia tua yang suka menghisap candu, menjadi batuk dan badan rusak kurus kering, jika kumatnya datang tidak bisa tidur, mengadu kesakitan kepada Hyang Widi, meminta kekuatan dan panjang umur (k.255), setiap sedang memohon seperti itu seterusnya sampai tidak sadar kalau gusti majikannya menghampiri, dia turun dari bale dengan susah payah jatuh bangun.

(11)  Senapati wusnya lengah angling, “Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji mintakyate, iku ta apa tuhu, minta ing Hyang sarasing sakit, lan dawane murira”, Juru Kebon matur,”Nggih Gusti yektos amba, rinten dalu nenuwun maring Hyang Widi, pangjanging umur saras.”
Setelah duduk Senopati berbicara, “Heh Ki Taman tadi aku mendengar kamu berdoa meminta kekuatan, apa itu betul, minta kepada Hyang untuk sembuh dari sakit dan panjang umurmu”, Juru Taman menjawab,”Ya Gusti, benar hamba, setiap malam meminta kepada Hyang widi, panjang umur dan sehat.”

(12)    “Yen wis mantep panuwunmu Kaki, sunparingi sesarating gesang, dimen sirna lara kabeh”, Ki Taman nembah nuwun, majeng sinung tigan tinampin, laju kinen nguntala, seksana nguntal wus, Ki Tamanmubeng angganya, lir gangsingan tantara jumeglug muni, wreksa sol sangking prenah.
“Kalau sudah yakin permintaanmu Kaki, aku memberimu prasyarat hidup, agar hilang semua kesakitan”, Ki Taman menghaturkan sembah terimakasih, maju mendekat Senopati dan menerima telur, disuruh segera menelannya, sesudah menelan telur badan Ki Taman berputar-putar, seperti gangsingan berbunyi keras (gangsingan = mainan anak terbuat dari bamboo yang bergerak berputar-putar cepat seperti angina puyuh), arahnya dari pohon besar.
(13)    Gya jenggeleg warna geng nglangkungi, juru taman lir gunung anakan, jatha gimbal kalih kaged, wrin langkung tyasnya ngungun , sang wiku ngling mring Senapati, “Iku Jebeng dadinya, yen nut mring Ni Kidul”, Sang Sena minggu tan nebda, mitenggengen gegetun uningeng warni, dekadya arga suta.
Ki Taman berubah menjadi besar sekali seperti anak gunung, dua gigi siung dan rambut gembel, hatinya terkejut dan menangis, Sang Wiku melihat Senopati, “Itu lah jadinya Nak jika mengikuti kehendak Ni Kidul”, Sang Senopati selama tujuh (7) hari tidak mau berbicara, terpaku melihat wujud dan menyesal, Senopati berdiri kaku seperti anak gunung.

(14)  Sunan adi gya ngandika malih, “Kari siji Jebeng nyatakena, kang ran lenga Jayengkatong”, Sang Senapatya me-(k.256) stu, nulya dhawuh kinon nimbali, pawongan nguni emban, tengran Nini Panggung, lan gamel nami Ki Kosa, tan adangukalihnya wus tekap ngarsi,Sang Sena lon ngandika.
Sunan Adilangu segera berbicara lagi, “Masih ada satu lagi yang harus dibuktikan Nak, yang bernama Minyak Jayengkatong”, Sang Senopati setuju (k.256), segera memberi perintah untuk memanggil emban abdi dalem/ pengasuh yang bernama Nini Panggung, dan tukang gamelan/ tukang musik yang bernama Ki Kosa, keduanya dipanggil dan tidak lama setelahnya mereka sudah ada di hadapan, Sang Senopati berbicara pelan.

(15)  “Bibi Panggung mula suntimbali, lan si Kosa ya padha sunjajal. Nggonen lenga Jayengkatong, nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sekti ngluwihi”, kang liningan wot sekar, tan lengganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan, Jayengkatong gya sirna kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.
“Bibi Panggung kamu saya panggil dan Ki Kosa untuk saya coba. Pakailah Minyak Jayengkaton pemberian Ratu Kidul, jika sudah terbukti sangat sakti”, tidak menolak perintah, Panggung dan Kosa ditetesi Minyak jayengkaton segera keduanya hilang tidak kelihatan, sudah berubah menjadi siluman.

(16)  Saksirnanya ngungun Senapati, abdi tiga pan salah gedadyan, wusana lon ngandikane, “Heh Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi”, umatur kang sinebdan, “Inggih Gusti ulun, keng cethi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan lisah Gusti, de mawi tan katinggal.”
Setelah hilangnya mereka, Senopati menangis, pada tiga abdi sudah terjadi kesalahan, setelahnya pelan bicaranya, “Heh Kosa dan bibi Panggung, perlihatkanlah diri kalian”, menjawablah mereka, “Baik Gusti saya, yang pasti kami tidak pergi-pergi dari Anda sejak diberi minyak oleh Gusti, walaupun saya tidak terlihat.”

(17)      Sunan Adi lon nambungi angling, “Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa karo, pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling gusti, dene jatining jalma, mengko tan kadulu, pan wis dadi ejim padha, nging ta sira aja lunga sing Matawis, emongen gustenira.
Sunan Adilangu pelan menyahut, “Heh kamu Ni Panggung dan si Kosa, terimalah atas kehendak Hyang Agung, kalian menjadi tumbalnya Gusti, tetap menjadi sejatinya manusia sebelumnya sampai masadepan, walaupun sudah menjadi mahluk jin, janganlah pergi dari Mataram, asuhlah Gusti kalian.

(18)   Prayogane Jebeng (k.257) Senapati, bocahira telu ingsun prenah, Panggung Kosa ing enggone, anenga wringin sepuh, juru taman neng Gunung Mrapi, ngereha lembut ngarga,rumeksaa kewuh, mungsuh kirdha jroning praja, juru taman kang katempuh mapag jurit”, mestu kang sinung sebda.
Sebaiknya Nak Senopati (k.257), ketiga abdimu aku tempatkan, Panggung Kosa di tempat Beringin Sepuh/ Tua, Juru Taman di gunung Merapi, menguasai mahluk halus di gunung, menjaga dari musuh dalam kerajaan, Juru Taman yang akan memimpin prajurit”, semua mematuhi perintah Sinuhun Senopati.

(19)     Katriya wus kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan juru taman, sang kalih dugi karsane, gya kondur dalemipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng sagra, de meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, “Senapati wismamu tan dipageri, kebo glar neng pegungan.
Ketiganya sudah menuju tempatnya masing-masing, Panggung, Kosa dan ki Juru Taman. Keduanya sampai kehendaknya segera pulang kerumahnya, Senopati menangis hatinya, mengingat di dalam puri samudera, ternyata berbeda, Sunan Adilangu segera berbicara, “Senopati rumahmu tidak dilindungi pagar, kerbau di tikungan.
(20)     Tanpa kandhang ya kang kebo sapi, heh ta Jebeng Senapati Nglaga, iku sisip pasrahe, karena Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan ujub, kebo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru kridha.
Tanpa kandang (rumah hewan) ya kerbau dan sapi, heh Nak Senopati Ngalaga, itu perbedaan pasrah, karena bukan, keangkuhanmu di Mataram, semua kehendakmu, harus terwujud, bagaikan kerbau dan sapi tanpa kandang/rumah, menantang semua barang siapa saja yang berani denganku, manusia buruk membuat masalah.

(21)   Becik nganggo eneng lawan ening, lumakuo sokur lawan rena, wismaa  lan  pepagere,  kebo  sapi yen ucul, keluhana dipuncekeli, yen mulih prapteng wisma, kandhangna sedarum,selarae pace- (k.258) lana, tunggonana yen turu kelawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.
Lebih baik memakai ketenangan dan keheningan, berjalanlah dengan syukur dan tujuan, kerbau dan sapi jika lepas, peganglah kepalanya, jika pulang ke rumah, kandangkanlah di ruang cukup, dikunci pintunya (k.258), tunggulah ketika tidur sampai larut malam, berpasrah kepada Kang Murba (Hyang Menciptakan Hidup).

(22)   Anganggoa andum lawan milih, dipatuta lan lakuning praja,lungguhira lawan ngelmune, istiyarmu diagung, anganggoa sumendhe Widi, sebarang tingkahira, anganggoa sokur, karane dipunprayitna, laku linggih solah muna lawan muni, pracina dadi nata.
Melakukan memberi dengan memilih, dipantaskan dengan sifat raja, dudukilah dengan ngelmu/ilmu, besarkan ikhtiarmu, berlakulah pasrah pada Hyang Widi, semua tingkahlaku mu, bersyukurlah, pantas diingat-ingat, tingkah laku dan berbicara selalu dijaga.

(23)   Mengko Jebeng ingsun mertikeli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salameta prapta tembe, Jebeng ngambilaranu, aja akeh kebak kang kendhi”, Senapati wotsekar, dhawuh cethi mundhut, tirta ing kendhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi, tirta mungging lantingan.
Nanti Nak saya tambah petunjuk untuk, usaha kota agar kuat kerajaan, selamat sampai nanti, Nak ambillah air, jangan banyak-banyak memuat di kendhi (tempat air dari periuk tanah)”, Senopati berkata, saya patuh mengambilnya, air di kendhi tanah, yang diperintah segera mengambil dan memberi air dengan alat.

(24)     Nulya linggar wau Sunan Adi, ngasta pandelengan isi tirta, tindak ngideri dhadhahe, Senapati tut pungkur,sarwi mbekta ingkang tetali, ngenthengi ruting tirta, ngandika sang wiku, “Heh ya Jebeng Senapatya,ge turuten saktilase banyu iki, karyanen kuthanira.
Kemudian Sunan Adilangu berjalan mengelilingi perbatasan dengan membawa kendi bersisi air, Senopati mengikuti di belakang, sambil membawa yang diikat, meringankan air, berbicaralah sang Wiku, “Heh ya Nak Senopati, segera ikuti bekas air ini, buatlah kotamu.

(25)    Jebeng rehne tumitah ngaurip, aja kandheg laku panarima, lan diweruh wewekane, ingo-(k.259) n-ingonmu sagung,uga padha kelawan kasih, yen kurang pangreksanya, temah praja eru, saking datan wruh ing weka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang Kang Murbeng Alam.
Nak karena dharma perintah hidup, jangan berhenti bersyukur menerima hidup, dan mengerti sifat-sifat semua (k.259) peliharaanmu, juga kepada yang di cintai, jika kurang memeliharanya, kerajaan menjadi ruwet/kacau, dari ketidaktahuan penglihatan, tidak merasa bahwa manusia hanya meminjam dari Kang Murbeng Alam.

(26)    Lawan sira diwespadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakena kabeh tyase, tuhunen ujar ingsun, nuli siram rentaha dasih, awita konen nyithak, wongira Matarum, sakpekolehe nggon karya, becingahen kuthanira dia becik, dadya tila isun wuntat.
Dan kamu harus berwaspada pada yang gaib, walau kita memerintah kepada rakyat, buatlah semua nyaman di hati, patuhilah nasehatku, sekarang dimulai dengan menyiram dan suruhlah orang-orang Mataram mencetak, bekerjalah dengan nyaman, buatlah kotamu menjadi bagus, akhirnya menjadi peninggalan.
(27)     Jebeng yen ws jumbuh traping urip, sasat sira wus madeg narendra, mengkoni ngrat Jawa kabeh, netepi manungsa nung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mengkoni ngalam padhang, kang kuwasa tuhu, asung sakwarneng gumelar, pan manungsa kang winenang andarbeni, lestari tanpa kara.
Nak, jika sudah berhasil dengan hidup, sama dengan sudah menjadi Raja, memerintah seluruh tanah Jawa, menjadi manusia unggul, dan Hyang Sukma menciptakan ganti, menguasai alam terang, yang benar berkuasa, membawa semua kebesaran, manusia yang berhak memiliki, lestari (nyaman sentosa) tanpa perkara.

(28)   Lan diweruh kahananing Widi, Jebeng uga nggene kang senyata, pan ya sira saksolahe, nging kesampar kesandhung, dene sira nora ngulati, nggone cedhak asamar, tan ana kang dunung, ngalela neng ngarsanira, gustenira neng ngarsa katon dumeling, anging (k.260) kalingan padhang.
Dan diperlihatkan suasana Widi, Nak juga tempat yang nyata, dengan semua tingkah mu, jatuh bangun, selalu dekat dengan kehendaknya, Gustimu terlihat di depan ingatanmu, tapi (260) terhalang sinar.
(29)    Senapati wotsekar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging meksih sandeya tyase, de naluri kang tinut,
Senopati menghaturkan terimakasih, nasehat Sunan Adilangu sudah masuk di dalam hati, tapi masih khawatir hatinya, karena naluri yang diikuti,
“By alang alang”

Minggu, 03 Juli 2011

LIMA PULUH TAHUN PERJALANAN PENGHAYATAN WAHYU SAPTA DARMA



Sekilas pengamatan perjalanan sejarah wahyu Sapta Darma, yang di dalamnya mengandung petunjuk tentang hukum-hukum Allah Hyang Maha Kuasa yang dikenal dengan PEPANCEN dan PEPESTHEN atau KODRAT dan TAKDIR. Kemudian berlaku juga hukum SEBAB dan AKIBAT atau TANDUR dan NGUNDUH. Misalnya ada kalimat NGUNDUH WOHING PAKARTI (panggawe).

Pengertian hukum tersebut diatas, sebenamya secara umum telah dikenal oleh warga umum (masyarakat), namun masih perlu adanya pendalaman dan perluasan jangkauan pengertian dan kepatuhannya dalam kehidupan.

Wahyu Sapta Danna sebagai wahyu jawa (pepadhang jagad) telah menyelesaikan perjalanan sejarahnya untuk kurun waktu lima puluh ( 50 ) tahun sebagai pertama, dari 27 Desember 1952 s/d 27 Desember 2002. Kemudian penghayatan para warga-warganya telah meluas hampir seluruh (80%) propinsi di nusantara ini, bahkan telah berkembang ke beberapa mancanegara, dengan dibuktikan adanya kedatangan warga KSD mancanegara datang berkunjung ke Sanggar Candhi Sapta Rengga di Jogjakarta dan ke Sanggar Agung Candhi Busana Pare Kediri.

Untuk selanjutnya yang akan kita bahas pada kesempatan ini adalah khusus penghayatan wahyu Sapta Darma / warga aktif didalam negeri, sedangkan PENGAMATAN penghayatan ajaran wahyu tersebut hanya bersifat umum yang nampak pada permukaannya saja (tampilannya) atau bersifat lahiriyah pada saat berinteraksi dalam pergaulan / pertemuan - pertemuan dan lain - lainnya, tentu saja pengamatan dilakukan kepada golongan warga dengan lama penghayatan 5 tahun keatas dan atau aktifis - aktifis serta petugas -petugas kelembagaan Kerokhanian Sapta Darma diberbagai tingkat.
Secara umum dapat digambarkan dalam segi positif dan negatifnya, Sisi Positif adalah :


1. Sifat percaya dm bertambah kuat.

2. (5K) Kemauan untuk maju menjadi bertambah, baik dibidang kerokhanian maupun kejasmanian.

3. (5K) Kemampuan ada peningkatan dalam tiga kategori nilai sifat yang tumbuh, yaitu ada pada nilai sifat;
a. Bidang kerokhanian bersama kejasmaniannya
b. Bidang kerokhanian lebih maju namun kejasmaniannya wajar-wajar saja     namun ada yang cenderung menurun.
c. Bidang kejasmanian atau kerokhaniannya masih diragukan
4. Tampilan kepribadian didalam pergaulan bermasyarakat (keluar) sebagian mulai tumbuh / peningakatan mengarah dalam sifat positif, namun juga ada yang sangat berhati - hati, sehingga cenderung menjadi tampak kaku ( kurang luwes) dan ......
Negatif :
1. Sebagian ada yang percaya dirinya cenderung berlebihan, dan tidak mustahil pihak lain akan menganggap sebagai sikap kesombongan.
2. (5K) Kejujuran terhadap diri pribadi sebagian masih nampak lemah (perlu terus segera dibangun pengertiannya).
3. (5K) Keiklasan masih harus dibangun serta perlu menyamakan persepsi dan memperluas pengertiannya.
4. (5K) Kaya darma masih harus terus dibangun dan perlu menyamakan persepsi / pengertiannya, misalnya secara kejasmaniannya nampak bermanfaat bagi berbagai pihak, namun secara kerokhanian sangat riskan, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan nilai darmanya.
5. Secara umum pengamalan (pendarmaan) Wewarah Pitu masih sangat lemah, dan selama ini masih sering mendengarkan dan melihat adanya perbedaan pengertian yang mengarah pada sifat berbenturan sesama warga / petugas kelembagaan, karena terlalu tebalnya muatan kepentingan diri pribadinya / akuisme, yang disebabkan karena adanya kesaksian / pembuktian kelebihan tertentu dalam pribadinya (mukjijat), sehingga manjadi terjebak / tenggelam / sengsem terhadap kelebihanya itu, sehingga berakibat sangat mengagumi / membanggakan dirinya sendiri menjadi berlebihan. Kenyataan seperti inilah yang harus segera diangkat dari ketenggelamanya agar demi sedikit dapat kembali sendiri dalam penghayatan ajaran yang selaras dengan tujuan wahyu Nya. Sehingga nilai darmanya tidak menjadi hilang sama sekali, dan kita harus sering ingat pepatah yang sering disampaikan oleh Bapa Panuntun Agung, Rame ing Gawe Sepi Ing Pamrih.

Demikianlah pengamatan secara umum yang dapat dipaparkan secara garis besamya saja yang masih harus dibahas lebih lanjut lagi didalam bawa rasa sesama warga sebagai bahan koreksi pada diri kita masing-masing guna naenyongsong hari depan yang lebih baik (guna menerima pepadhang dan sinar cahaya Allah Hyang Maha Kuasa dalam diri kita setiap warga).

Dalam upaya koreksi diri pribadi ini, kita semuanya harus bermodal / berbekal KEJUJURAN dan KEIKLASAN, terutama jujur dan iklas terhadap dirinya sendiri, yang selama ini telah merasa berjuang / berjasa / berdarma dsb, tidak perlu diingat ingat lagi apalagi sering dibicarakan (dipamerkan).
Selama kurun waktu 50 tahun sebagai tahap awal penghayat wahyu Sapta Darma, yang dapat juga disebut sebagai generasi pertama atau generasi pemula, yang masing - masing baru mengenal pada pengalaman jatuh bangun yang belum dimanfaatkan sebagai gurunya, serta kurang asah-asih-asuh dan tun-tinuntun / mong-kinemong sesama warga dll.
Kenyataan tersebut sebenamya sangatlah wajar, mengingat ajaran wahyu memang sangat luas jangkauannya dan universal, karena itu tidak perlu ada yang harus dipersalahkan atau ada yang merasa paling benar. Sebab manusia sendiri menurut pepancen / kodratnya tidak akan mampu menghindarkan diri dari sifat kesalahan secara total (benar mutlak).
Seyogyanya kita semua yang merasa sebagai warga Sapta Darma, apapun kedudukannya, yang ingin menghormati dan patuh mengikuti Panuntun Agungnya sebagai pelopor budi luhur, dan Tuntunan Agung Ibu Sri Pawenang yang telah melaksanakan kewenangan dengan penuh sikap arif dan bijaksana, menerima perintah dari Bapa Panuntun Agung Sri Gutama untuk menetapkan pedoman dasar penghayatan ajaran wahyu bagi para warganya, dalam bentuk buku ;

1. Buku Wewarah Kerokhanian Sapta Darma, jilid I, II (sebagai buku suci).
2. Buku Dasa Warsa (secara pokok uraian pedoman penghayatan).
3. Buku Pedoman Sujud Penggalian Pribadi Manusia (pendalaman pengenalan pribadi / pembentukan kepribadian yang asli)
4. Buku - buku pemaparan budaya spiritual (dalam berbagai macam dan kesempatan / fonun-forum tertentu)
5. Naskah - naskah Teks Sambutan Tanggap Warsa 1 Suro pada setiap tahun diselenggarakan
6. Catatan Fatwa Bapa Panuntun Agung Sri Gutama untuk segenap warga
7. Beberapa catatan notulen ular - ular dan penjabaran pengertian ajaran oleh Bapa Panuntun Agung dihadapan para warga
8. Buku catatan penjabaran pengertian ajaran wahyu yang bersifat luas / dalam serta universal
9. Buku sejarah Sapta Danna yang tentunya akan segera menyusul terbitnya

Kita segenap warga memang wajib melaksanakan dan menghayati ajaran wahyu dengan baik dan benar, artinya selaras dengan kehendak dan tujuan wahyu itu sendiri.
Sebagai pedoman dasar adalah Buku Wewarah Sapta Darma yang telah ditetapkan sebagai buku suci. Karenanya wajib kita pelihara dengan baik serta wajib selalu dibaca secara bertahap, dengan cermat dan dengan keematan rasa yang jemih. Sehingga dapat menemukan kandungan yang ada didalamnya, untuk penjabaran pengertiannya lebih lanjut.
Bapa Panuntun Agung telah berfatwa bahwa wahyu ajaran Sapta Danna ini masih dalam keadaan WUNGKUL (bahasa jawa) atau utuh / bulat, ibarat sebuah kelapa wungkul yang baru dimulai mengupas kulit serabutnya, untuk selanjutnya diharapkan (dikudang -kudang / bahasa jawa) para warga dapat mengupas lebih lanjut (sebagai satria utama) agar berkemampuan mendayagunakan / memanfaatkan serabutnya, tempurungnya, daging dan airnya yang ada, guna melengkapi / memenuhi kebutuhan hidup - kehidupan - dan penghidupan manusia, demi keluhuran dan kemulyaan manusia itu sendiri.
Kesemuanya itu secara bertahap dan berkesinambungan menjadi wajib kita bersama untuk mewujudkannya, karena itulah pengalaman perjalanan 50 tahun tahap pertama, apapun yang kita rasakan dalam dinamika dan romantikanya (baik / buruk - salah / benar - hambatan / dorongan dsb.), kita semua hams menerimanya dengan jujur dan ikias, Dalam pengertian insyaf (istilahnya Bapa Panuntun), itu semuanya merupakan wejangan berbentuk tantangan dan sekahgus peluang yang baik bagi kita segenap warga, yang selanjutnya wajib kita hadapi (sejatinya menghadapi din kita sendiri) dengan sabar, arif dan bijaksana, dan kita harus percaya, bahwa dengan tuntunan HIDUP / Pribadi kita masing - masing. Semua WEJANGAN dapat kita kerjakan dengan baik, serta dapat dilalui dengan tenang tentram dan membahagiakan kita semua, karena kita semuanya merasa sebagai KAWULANING GUSTI, yang wajib harus NGAWULA (MENGHAMBA) dengan baik dalam rasa yang jujur tulus dan ikias.

50 tahun tahap kedua (2002 - 2052) komunitas / warga ini patut disebut GENERASI PERSIAPAN (mempersiapkan din dalam pembentukan kepribadian yang asli). Sebagaimana kita makhuni bersama bahwa wahyu Sapta Darma akan membimbing warga - warganya untuk mencapai tujuan wahyu, untuk menikmati ketentraman dan kebahagiaan didalam alam dunia dan di alam langgeng. Tentunya dengan syarat setiap warga harus berupaya sendiri dalam membentuk dirinya untuk mewujudkan kepribadian satria utama yang hambeg budi luhur. Untuk itu wajib diantara kita / warga adanya saling asah, asih, asuh - tuntun tinuntun dan emong kinemong, yang selanjutnya akan selalu menerima kasih sayang dan perlindungan dari Allah Hyang Maha Kuasa (buku Wewarah bab 11 Gegayuhan .......... terakhir).
Kita semuanya telah mengarungi kehidupan dalam tahun 2006, berarti telah memanfaatkan waktu ± 4 tahun dari periode Generasi Persiapan, dalam mempersiapkan dirinya perlu perbekalan dalam memasang pondasi / dasar bangunan kepribadian, antara lain adalah;

1. (5K) Kemauan yang kuat, tidak mudah menyerah / putus asa, dengan sabar dan telaten terus berjalan sampai pada tujuan.

2. (5K) Kejujuran terhadap dirinya sendiri, sadar akan statusnya sebagai titah (tahu diri) kita dalam keterbatasan.

3. (5K) Keiklasan menerima kenyataan yang ada,tanpa harus memperbandmgkanjasa/ perjuangan / darmanya atau segala pengorbanan yang telah dilakukan.

4. (5K) Kemampuan dalam melaksanakan nomor 1, 2, 3 tersebut diatas, akan terus menerima tambahan berbagai kemampuan yang diperlukan dalam tugas kehidupannya lebih lanjut selaras dengan tahapannya.

5. (5K) Kaya darma, pengertian berdasarkan ajaran kita darma adalah bermakna kewajiban suci atau bersih, bersih dari segala bentuk pamrih. Kata darma mengandung makna sangat luas / dalam, misalnya berbentuk harta, benda, tenaga, pikiran, tingkah laku yang baik didalam pergaulan bebrayan agung.

Dengan unggah - ungguh, subasita, dan tatakrama, termasuk hubungan manusia terhadap alam lingkungan beserta isinya, dan hubungan manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa / Kawula Gusti, semuanya tidak akan meninggalkan tatakramanya masing - masing. Dan kesemuanya itu merupakan satu kesatuan penghayatan Wewarah Pitu yang telah terjabar dan terangkai dengan penghayatan nomor 1-4 tersebut diatas.

Adapun makna kata kaya adalah memperbanyak perbuatan darma pada setiap saat / kesempatan kepada siapapun tanpa pandang bulu (membeda bedakan). Semuanya bersfli dari pengharapan memperoleh imbalan berupa apapun dan dari pihak manapun (termasuk dari Allah Hyang Maha Kuasa) dan laku ini dilaksanakan selama hayat dikandung badan (sepanjang umur), yang oteh Bapa Panuntun Agung disebut TAPA PRAJA, yang identik dengan MAYA BRATA atau dalam sebutan RAME ING GAWE SEPIINGPAMRIH.

KEYAKINAN YANG MUTLAK

Oleh : Naen Soeryono (Ketua Persada Pusat)

Sering saya mendengar kabar, bahkan sering ada cerita tentang seseorang yang banyak digunjingkan oleh sesama Warga karena mempunyai “ kelebihan “ dan tidak jarang banyak Warga mengatakan orang yang mempunyai “ kelebihan “ itu adalah orang yang “ sakti “, dia pandai menyembuhkan sesama, bisa melihat segala hal yang orang lain tidak tahu, bahkan punya kelebihan yang tidak setiap orang mampu melakukan itu.
Bahkan tidak hanya Warga yang sering ikut penggalian, bahkan si Tuntunan pun yang notabene sebagai Pembina Warga ada yang tergila-gila kepada orang-orang yang dianggap punya tenaga linuwih, sehingga ikut-ikutan mempercayai setiap omongan yang disampaikan, termasuk segala hal yang tidak sesuai dengan arah ajaran Kerokhanian Sapta Darma termasuk Hukum Tuhan.

Setiap orang yang dilahirkan untuk hidup didunia ini pasti mempunyai permasalahan tentang kehidupan, sehingga banyak cerita dan dongeng dengan perumpamaan pada saat bayi dilahirkan di dunia ini pasti ditandai dengan “ tangisan sang jabang bayi pada saat dilhirkan “, dan permasalahn hidup antara yang satu dengn yang lain tentu saja berbeda-beda, ada yang berrmasalah dengan ekonminya, ada yang bermasalah dengan kesehatannya, ada yang bermasalah dengan anaknya, ada yang bermasalah dengan pekerjaannya, ada yang bermasalah dengan isteri atau suaminya, dan banyak masalah-masalah lain yang tidak tercover dalam tulisan diatas, karena memang yang namanya masalah itu beribu-ribu penyebabnya.

Pernah ada keluarga yang menceritakan kepada saya tentang permasalahan hidup yang dihadapi, pada saat menghadapi sakit pada bagian perut selama 2 (dua) bulan, setiap berobat seminggu sekali untuk memeriksakan ke dokter dan untuk beli obat pasti mengeluarkan duit Rp. 2.500.000, - (dua juta lima ratus ribu) dan sudah tiga dokter yang memeriksa penyakitnya, ada Prof. dr. Pratik yang ahli Kandungan, ada Prof. dr. Heru juga specialis kandungan, dan ada Prof. dr. Erik juga specialis SPOG, rata–rata hasil pemeriksaan si Profesor selalu mengatakan “ ada mium dalam rahim, ada pelengketan rahim, dan ada farices dalam rahim dan ketiga dokter itu mengatakan tidak akan bisa punya anak lagi. dan kalaupun bisa resikonya sangat besar bagi si ibu.

Pada saat penyakitnya sudah tidak ada tanda-tanda kesembuhan dan perkembangan yang baik, maka pasangan suami isteri tersebut memasrahkan sakitnya kepada Hyang Maha Kuasa dengan cara melakukan sujudan selama tujuh hari bersama sang suami, satu hari ditempuh dengan tiga kali sujud, dan sepenuhnya dilakukan dengan cara ikhlas, termasuk mohon petunjuk Hyang Maha Kuasa, tenryata pada hari yang terakhir sujudan, si perempuan yang sakit pada saat mengucap “Kesalahane Hyang Maha Suci mohon ampun Hyang Maha Kuasa, melihat kesalahan dalam dirinya dan melihat suatu pengalaman yang pahit pada saat menggugurkan kandungan si jabang bayi yang ada dalam rahimnya dan baru berumur satu bulan, si perempuan itu menangis dalam kain di tempat dia sujud, dan menangis tersedu-sedu, seolah-olah dia tidak bisa berdiri untuk mengangkat badannya, karena ingat akan pengalaman pahit pada saat mengugurkan kandungan dalam rahimnya.

Ada pengertian dalam dialog pada saat sujud, bahwa suatu kesalahan yang kita perbuat tentu tidak gratis begitu saja hilang, setiap kesalahan pasti ak an ada penebusan, pada saat mengucap “Hyang Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuasa“ di dalam diri perempuan itu mengatakan kepada Nya, “ … aku siap menggantikan anak yang pernah kugugurkan itu, beri aku pengganti anak itu …sekalipun nyawaku adalah tebusannya” dan pada saat terakhir sujud si bapak mendapat tuntunan, agar mengembalikan roh suci yang pernah ditiupkan oleh Hyang Maha Kuasa di rahim si ibu sambil memberi nama si jabang bayi tadi, maka diberilah nama si jabang bayi itu “ayu“ karena memang terlihat bayi perempuan, dan ayu dikembalikan kepada pemilik Nya ….

Suatu pengalaman yang luar biasa yang dirasakan perempuan itu…..setelah melaksanakan tirakatan, dalam kondisi sakit….,tapi hatinya diliputi oleh keihklasan yang luar biasa, sakit yang dideritanya diakatakan sebagai anugrah, merasakan sebagai umat yang sangat dikasihi oleh-Nya. Dalam setiap sujud dan tidurnya dia berkata dalam hati : “ akan kunikmati setiap rasa sakit yang Kau berikan ini dengan rasa ikhlas dan bahagia karena ini adalah bagian dari kasih sayang MU untuk menebus kesalahanku “

Setelah dua minggu selesai melaksanakan sujudan, si perempuan dan suaminya pergi ke dokter lagi untuk memeriksakan penyakit yang pernah diderita, ternyata dokter mengatakan bahwa benjolan yang dulu pernah dilihat pada saat diperiksa sudah hilang, berganti dengan si embrio kecil nafas jabang bayi dalam rahimnya, si dokter mengatakan…kalau ibu dapat hamil berarti sudah sembuh…, dan ternyata benar perut si perempuan itu kian hari kian besar sebagai tanda kehamilan.., dan setelah sembilan bulan sepuluh hari lahirlah bayi laki-laki yang lucu dan menangis dengan keras, lalu si bapak menggendong si bayi itu dengan mengucap Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil, trimakasih …………..,

Pengalaman di atas, adalah cerita kecil dari sisi kehidupan yang banyak dialami oleh Warga kita, tetapi pada saat kita mengadapi permasalahan dalam hidup, kita sering mencari jalan keluar yang instant alias cepat tanpa ada pengorbanan (… ya wajar-wajar saja namanya manusia itu kan selalu pengin cepat-cepat membuang masalahnya), tetapi ingat dalam Wewarah Tujuh mengatakan “ Wani urip kanthi kapitayan saka kekuatane dhewe “, artinya janganlah kita melimpahkan kesalahan yang pernah kita perbuat kepada orang lain …, kita harus berani mempertanggung jawabkan apa yang pernah kita perbuat kepada Hyang Maha Kuasa dengan cara memasrahkan hidup kita pada Nya, dengan cara sujud sesuai Ajaran Kerohanian Sapta Darma ,

Keyainan kepada Hyang Maha Kuasa tidak boleh separuh-separuh, kalau kita diberi sakit seperti cerita diatas, tentu saja mengandung pengertian bahwa Tuhan masih sayang kepada kita, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat, Tuhan masih mencintai kita, tetapi kita sebagai manusia kadhang lupa tentang kekuasaan Tuhan kepada kita, bahkan kita malah selalu ingin menghindar atas kelalian kita, dan kita selalu ingin mencari jalan instant sebagai penyelamat dengan cara mencari orang-orang yang dianggap mempunyai kelebihan, mencari orang-orang yang dianggap mampu mengatasi permasalahan hidup kita.

Bukankah Sri Gutomo pernah mengatakan dalam buku dasa warsa, “JANGANLAH WARGA PERCAYA PADA BARANG KLENIK & DUKUN” artinya kalau kita percaya kepada orang-orang yang dianggap pinter atau mempunyai kelebihan, dan ternyata orang itu menggunakan kekuatan roh-roh penasaran, atau kekuatan saudara sebelas, maka orang yang meminta tolong tentu saja sudah berhutang kepada kekuatan itu (entah saudara sebelas atau roh-roh penasaran).

Jadi keyakinan kita kepada Hyang Maha Kuasa haruslah keyakinan yang betul – betul mutlak, tidak menduakan kekuasaan-Nya, harus dengan cara-Nya untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan ini …..

Selamat mencoba ……..salam Waras.