Semar disebut juga Badranaya

Mengemban sifat among, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.

Benih yang baik untuk hasil terbaik

Apabila menginginkan hasil yang baik maka tentulah dipilih bibit yang baik pula, bibit yang unggul, bibit yang sempurna.

Tesing dumadi, asal mula terjadinya Manusia.

Asal mula manusia adalah dari getaran tanaman dan getaran binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya tri tunggal yaitu nurcahya = sinar cahaya allah, nurrasa = sarinya Bapak dan nur buat = sarinya Ibu).

Pancasila..sikap hidup bangsa Indonesia.

Menurut ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (Wahyu tujuh ajaran yang masing-masing berisi lima butir ajaran mencapai kemuliaan, ketentraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/akhirat).

Apakah yang kita miliki..?

Ketika mati pun kita tidak akan membawa sepeser pun uang. Masihkah kita merasa sebagai makhluk yang adigang-adigung-adiguno?

Sujud dasawarsa, Sujudnya warga KSD

Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa.

Kita tidak sendiri

Alam beserta isinya adalah milik kita bersama...mari jaga kerukunan, kebersamaan dalam menjaga kelestarian demi generasi selanjudnya

out of body experience

Peristiwa out of body experience adalah merupakan gambaran awal dari kematian, Adalah merupakan indikasi putusnya hubungan Input sensor dalam tubuh, ketika kondisi manusia dalam konsisi sadar.

Butir-butir budaya jawa

Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawalesana Ngudi Sejatining Becik

Wewarah Tujuh

Merupakan kewajiban yang harus dijalankan Warga SAPTA DARMA dalam kehidupannya.

Sesanti

Sikap dan perilaku hidup dalam masyarakat yang harus diciptakan oleh Warga SAPTA DARMA.

Wejangan

Wejangan Panuntun Agung Sri Gutomo bagi warga SAPTA DARMA dalam mengenali jati diri yang sebenarnya.

Senin, 05 Maret 2012

MATERI SUJUD PENGGALIAN


Apabila kita kaji MATERI PENGGALIAN yang ada, maka kita akan memahami bahwa materi penggalian tersebut bisa kita pilahkan menjadi 2 hal yaitu, Materi Laku Penghayatan dan Materi Ilmu Kerokhanian. Untuk lebih jelasnya marilah kita kaji lebih jauh tentang materi penggalian, sbb :
1. Pandangan Satu Meter, Getaran Kasar, ASMA TIGA, Getaran Halus, Ucapan Sujud, Kesalahan, Mertobat, Sapta Rengga I. Pembersihan Getaran Air Suci, Sapta Rengga II. Pancaran Cahya Hyang Maha Suci, Tigas Jangga (Jawa: Pisahing Gembung Lan Sirah atau Pisahnya Kepala dan Badan), Terjadinya Sabda, Tutup Lubang Sembilan (Jawa: Nutupi Babahan Hawa Sanga atau Menutup Lobang Sembilan), Pudhak Sinumpet (Sepuluh Tinutup), Nguwali Babahan Hawa Sanga, Kukut Saudara Sebelas, Napas Tiga, Racut.
Pada materi ini warga diajarkan bagaimana mencapai kesempurnaan laku pendekatan diri kepada Tuhan. Dalam rangkaian materi tataran diatas apabila tercapai dalam penghayatannya, warga akan menerima proses pensucian dan pembangunan diri seutuhnya. Pada puncak atau akhir dari proses tersebut ditandai dengan pencapaian tataran yang disebut dengan Racut sebagai pertanda kesempurnaan Manembah Manusia kepada Tuhan.

Dimana dari masing-masing tataran merupakan satu rangkaian proses yang telah tertata sedemikian rupa, sehingga apabila dilakukan dan dihayati dengan baik akan berlangsung suatu proses pembangunan pribadi menuju budi luhur. Secara filosofis rangkaian proses tersebut bisa diungkapkan antara lain sebagai berikut :

Pandangan Satu Meter, Getaran Kasar, ASMA TIGA
Tataran ini merupakan bagian prolog ritual sujud dimana dengan meng-hayati tataran ini warga akan terbawa oleh proses sujud memasuki Alam Rokhani, yaitu posisi terdekat dengan Tuhan yang mampu dicapai oleh para warga. Dimana pada posisi ini manusia secara jiwa dan raga telah siap untuk Sujud, mohon ampun atas kesalahan, serta Mertobat.

Getaran Halus
Setelah pada tataran sebelumnya JIWA dan RAGA tunduk serta patuh untuk bersama-sama manembah maring Allah, maka proses Getaran Halus merupakan perwujudan Tumungkule (manembahae) Jiwa dan Raga yang ditandai oleh naiknya Toya Sari. Yang pada akhirnya akan menuju Triwikrama yaitu Getaran Halus, Hyang Maha Suci dan Hyang Maha Kuasa.

Ucapan Sujud, Kesalahan, Mertobat
Karena disadari bahwa yang menghambat, menghalangi, atau mengganggu hubungan manusia dengan Tuhan adalah akibat KESALAHAN MANUSIA. Maka Sapta Darma secara pokok mengajarkan pada setiap warganya untuk memohon ampun atas kesalahannya pada setiap kali sujudnya. Ini menggambarkan bahwa satu-satunya permohonan manusia yang senantiasa dibawa dalam sujud adalah permohanan ampun atas kesalahannya, serta berjanji untuk tidak mengulanginya kembali (Mertobat).

Untuk itu setelah seluruh jiwa dan raga mau dan bisa tunduk pada Hyang Maha Suci, maka atas nama seluruh jiwa dan raga Hyang Moho Suci ; SUJUD, MOHON AMPUN DAN MERTOBAT kepada Hyang Maha Kuasa.

Pembersihan Sapta Rengga dengan Getaran Air Suci,
Pembersihan Sapta Rengga dengan Pancaran Cahaya Hyang Maha Suci
Sapta Rengga adalah merupakan alat atau sarana manusia untuk berhubungan dengan alam duniawi. Karena aktifitas sapta rengga inilah manusia sering terdorong atau terjerumus pada perilaku yang salah dan bertentangan dengan kehendak ajaran.
Maka Ajaran Sujud dengan segala kelebihannya mengajarkan proses pembersihan sapta rengga, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kesucian pribadi manusia agar bisa lebih dekat lagi dengan Allah Hyang Maha Kuasa.

Tigas Jangga (Pisahing Gembung Lan Sirah), Terjadinya Sabda
Dalam rangka penyempurnaan manembah serta ketulusan dalam berdarma maka para warga menerima materi tataran Tigas Jangga, yaitu proses yang memisahkan rasa dan cahya. Melalui ajaran ini para warga akan mampu meninggalkan berbagai keterikatan duniawi, yang pada hakekatnya mengganggu ketulusan dan kemurnian hubungan manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa. Jika kondisi ini bisa dicapai para warga maka hubungan manusia dengan Tuhan akan lebih sempurna dan setiap kata-katanya akan menjadi Sabda.

Tutup Lubang Sembilan (Babahan Hawa Sanga),
Pudhak Sinumpet (Sepuluh Tinutup), Nguwali Babahan Hawa Sanga, Kukut Saudara Sebelas
Proses ini akan sangat bermanfaat untuk menjaga kesempurnaan serta menjaga kelestarian kontak (hubungan) manusia (Hyang Maha Suci) dengan Tuhan. Dimana pribadi akan terlindungi dari segala gangguan baik dari dalam maupun dari luar pribadi, dimana saudara (nafsu) manggeleng menjadi satu.

Napas Tiga, Racut
Setelah berbagai proses dilalui dan rasa dalam pribadi telah mencapai keadaan manggeleng, maka dalam penyempurnaan proses menghadap kepada Tuhan, Sapta Darma mengajarkan pernafasan bagi tiga (Napas Tiga). Dalam proses ini terjadi pengeluaran Hawa (getaran nafsu) yang tersisa dalam pribadi seakan seperti pembuangan Napas melalui tiga saluran pembuangan. Dengan demikian pribadi akan semakin kosong dari pengaruh Nafsu (saudara), sehingga pada saat seperti ini terjadilah apa yang dikatakan proses Racut, yaitu sowannya Hyang Maha Suci pada Hyang Maha Kuasa.

Melihat dari segala uraian diatas maka hakekat dari sujud adalah kewajiban setiap manusia yang hidup di dunia ini untuk mendekatkan diri pada Allah dengan tujuan menghadap (kembali/sowan) kepada Allah. 

Adapun makna sujud yang dilakukan warga setiap harinya adalah merupakan satu sarana (upaya) pembersihan (pensucian) diri untuk mencapai kesempurnaan manembah manusia kepada Allah Hyang Maha Kuasa.

Pada umumnya didalam penghayatan sujud para warga Sapta Darma mengalami proses yang berbeda-beda. Hal ini sangat mungkin terjadi dan menjadi suatu hal yang wajar, namun yang penting dan harus menjadi perhatian adalah :
1. Proses sujud menuju leremnya saudara (nafsu) yang ditandai dengan sireping pamikir, longgaring manah saha weninging raos harus menjadi pedoman.
2. Proses sujud didasari pengertian rasa dekat dengan Tuhan (linambaran rasa rumangsa ngadhep Gusti Allah).
3. Pada akhir atau selesai sujud merasakan padhang, plong, entheng atau beban hidup terasa lebih ringan (merasakan hati dan pikiran terang serta bahagia).
4. Radar Belah Ketupat, Alat Kontrol.

Didalam atau selama penghayatan sujud berjalan, para warga akan memahami adanya getaran rasa yang ada dalam pribadi para warga. Diantara getaran rasa tersebut ada yang disebut dengan radar dan alat kontrol, dimana keduanya merupakan proses getaran rasa yang terfahami (terasa) secara khusus, baik posisi, arah dan rasa dari getaran tersebut. Dimana keadaan itu dalam ajaran Sapta Darma memiliki makna atau arti khusus dalam kaitannya dengan sesuatu kejadian pada pribadi manusia.
Sehingga dengan materi Tataran Radar dan Alat Kontrol para penghayat ajaran Sapta Darma akan memahami apa yang sedang dan akan terjadi pada dirinya. Hal ini sangat penting sebagai bekal kehati-hatian dalam hidup para warga serta sebagai bekal kesadaran dalam menghadapi kejadian yang akan datang.

Wejangan 12 Saudara :
Wejangan 1 : Telu-telune Atunggal, Lima-limane Atunggal, Pitu-pitune Atunggal, Sanga-sangane Atunggal, dan Rolas-rolase Atunggal diwejang Hyang widhi.
Wejangan 2 : Wejangan wasiat 33 dari Hyang widhi.
Wejangan 3 : Wejangan Pesta dari Hyang widhi.
Wejangan 4 : Wejangan Numpak Jaran sembrani dari Hyang widhi.
Wejangan 5 : Wejangan Perbintangan dari Hyang widhi.

Saudara 12 adalah sarana (prabot) manusia hidup di dunia, dimana didalam kehidupan sehari-hari kondisi saudara inilah yang nampak (mewarnai) kehidupan manusia. Baik-buruknya saudara akan menjadi dasar penampilan atau perwujudan watak dan perilaku manusia. Sehingga dalam kenyataan hidup sehari-hari apa yang kita lihat pada diri kita adalah gambaran sifat dan perilaku saudara 12 yang ada dalam pribadi kita.

Dengan penghayatan sujud Sapta Darma, saudara 12 manusia memperoleh wejangan langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa melalui Hyang Widi. Dengan penghayatan proses rasa pada tataran wejangan saudara 12 ini, maka terjadi penyempurnaan (pangruatan) saudara menuju kebaikan (kesucian). Disamping itu para warga juga akan memperoleh pengertian tentang manusia beserta kehidupannya.

Dalam tataran ini, para warga juga akan memperoleh berbagai pengertian tentang kelebihan (keistimewaan) manusia dibandingkan makhluk lainnya, serta hal-hal penting yang berhubungan dengan jasmani manusia.

5. Wejangan 6 : Andulu Mulai Tesing Dumadi (Wujud Bayi).
    Wejangan 7 : Andulu Tali Rasa.
    Wejangan 8 : Sedulur Rolas Jejer Padha.
    Wejangan 9 : Andulu Orang Mati (Dari 1 s/d 1.000 Hari).
    Wejangan 10 : Andulu Orang Mati (Proses Kerusakan Jasmani).
    Wejangan 11 : Andulu Orang Mati (Wiwit Mati s/d Alam Langgeng). 

Melalui tataran ini para warga akan memahami tentang perjalanan proses kehidupan manusia dari awal hingga akhirnya kelak (eling marang purwa, madya, wusananing urip) . Dengan demikian para warga akan semakin mudah menyadari dan berhati-hati dalam kehidupan di dunia ini, apa yang harus dilakukan, kemana tujuannya, dan bagaimana mewujudkannya. Yang akhirnya manusia akan menyadari akan arti kehidupan dan selalu berupaya membawakan dirinya menuju pada perbuatan dan perilaku yang selaras dengan kodratnya.

6. Wejangan 12 : Wejangan Jejer Satria Utama
Melalui tataran ini para warga akan memahami bagaimana perwujudan manusia yang benar-benar menjadi Satria Utama (Jejer Satria Utama). Sehingga diharapkan dalam kehidupan bebrayan agung para warga mampu mengendalikan diri dan membawakan diri selaras dengan harapan ajaran untuk memiliki jiwa dan kepribadian Satria Utama. Lebih dari itu Ajaran tidak saja mengharap para warga untuk menjadi satria-satria utama, tetapi juga memberikan pengertian bagaimana perwujudan Satria Utama, serta bagaimana cara mewujudkannya.

TINJAUAN FILOSOFIS WEJANGAN SAUDARA 12
Secara Filosofis Ajaran Wejangan 12 memberikan pelajaran bagi para warga mulai dari saudara 12 (mikrokosmos) sampai pada perbintangan (makrokosmos) serta kehidupan sesudah mati (alam langgeng). Maka angka 12 memberikan makna filosofis tersendiri bagi para warga, apa lagi kalau kita kaji lebih jauh lagi tentang adanya waktu 12 jam untuk siang dan malam hari, tentang jumlah hari (7) dalam seminggu serta jumlah pasaran (5) dalam sepasar apabila dijumlahkan juga ada 12, tentang jumlah bulan dalam satu tahun ada 12 bulan, tentang Naptu dalam budaya leluhur jawa dimana Naptu hari-hari dalam satu minggu (7 hari) ada 42 dan Naptu pasaran dalam sepasar (5 hari) ada 33 apabila dijumlah sama dengan 75, dimana angka 7 dan 5 apa bila dujumlah juga sama dengan 12. Maka angka (jumlah) 12 merupakan angka yang memiliki arti tersendiri.

Hal ini menggambarkan filosofis keeratan hubungan antara saudara 12 serta wejangan 12 dalam ajaran Sapta Darma dengan berbagai hal dalam kehidupan bebrayan agung, utamanya dengan mangsa kala atau masa atau waktu.

Apabila kita menengok kembali tentang budaya leluhur hubungannya dengan mangsa kala, para leluhur menyampaikan adanya hubungan yang sangat erat antara hari, tanggal, bulan dan tahuni dengan peri kehidupan manusia. Hal ini dibuktikan dalam berbagai upacara adat misalnya, mendirikan rumah, pernikahan, dan lain-lain. Pada umumnya sebagian bangsa kita (khususnya jawa) saat ini masih menggunakan bermacam-macam perhitungan untuk menentukan dan memilih hari. Dimana ajaran Sapta Darma mendidik para warga untuk tidak meyakini dan menggunakannya.

Hal ini bukan tanpa alasan, utamanya apabila para warga dari waktu ke waktu terus terpancang pada perhitungan hari, naptu, tanggal, dll untuk beraktifitas dan berdarma dalam kehidupannya. Maka semua itu akan mengganggu atau menghambat kemajuan peradapan manusia, yang pada akhirnya akan merusak keyakinannya kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Sehingga hal itu apabila tidak disadari akan merusak kemurnian ajaran dan kemurnian keyakinan kepada Allah.

Melalui penghayatan ajaran, para warga diajarkan tentang asal atau sebab-sebab adanya penderitaan, serta diajarkan tentang hukum atau sifat owah gingsir anyakra manggilingan dari keadaan dunia. Dimana suka dan duka, baik dan buruk, luhur dan asor, dll semua itu bersumber dari keberadaan dan sifat dari saudara (nafsu) manusia. 

Maka melalui ajaran, para warga diberi berbagai pengertian dan penghayatan ajaran dalam rangka penyempurnaan (pengruwatan) saudara untuk mencapai hidup bahagia di dunia sampai nanti di alam langgeng. Dengan demikian keyakinan bahwa jam, hari, bulan dan tahun ada yang tidak baik dan menjadi awal sumber penderitaan bagi manusia secara otomatis sudah tidak berlaku lagi bagi warga Sapta Darma. 

Akhirnya disini bisa kita fahami bahwa, menurut penelitian para leluhur mangsa kala atau wektu beserta aktifitasnya (kondisi dan kejadian alam) erat hubungannya dengan hidup manusia. Dengan kata lain perubahan kondisi global alam semesta akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Sehingga para leluhur mencoba mencari cara menghindar dari pengaruh buruk dengan memilih waktu yang baik untuk memulai berbagai hal dalam hidupnya.

Dalam hal ini para warga bukannya tidak percaya bahwa hal ini mungkin dan bisa dibuktikan kebenarannya (kasunyatannya). Namun apabila hal ini terus menerus diikuti dan keadaan alam semesta ini dari waktu kewaktu semakin rusak dan hancur, maka manusia juga akan bersama-sama hancur didalamnya. 

Tetapi Sapta Darma mengajarkan lain, Sapta Darma mengajarkan Sujud Asal Mula Manusia (Tes dumadining Manungsa) yang akan mengembalikan manusia seperti asalnya atau kodratnya, yaitu kodrat bahwa manusia berasal dari dzat Suci dan Luhur. Dengan demikian bukan kerusakan alam semesta yang akan mempengaruhi hidup manusia, tetapi keluhuran dan kesucian manusia yang akan mempengaruhi dan memperbaiki Alam Semesta.
Sehingga pada akhirnya nanti alam semesta akan kembali menjadi tempat yang nyaman dan bahagia bagi manusia. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena dengan memperbaiki Jagat Pribadi (Mikrokosmos) berati juga akan memperbaiki Jagat Gumelar (Makrokosmos). Janganlah keadaan Alam Semesta ini yang merubah dan menentukan hidup kita, tetapi hendaknya kaluhuran manusia yang harus mempengaruhi dan menata kembali alam semesta, karena sejatine manungsa mono utusaning Gusti ing alam ndonya, kautus hamemayu hayuning bagia bawana.

TINJAUAN FILOSOFIS WEJANGAN WASIAT 33
Wasiat 33 (tiga puluh tiga) dan saudara 12 adalah merupakan suatu prabot atau perangkat atau perlengkapan manusia untuk hidup di dunia. Tidak ubahnya seperti kelengkapan lain yang nampak secara jasmani seperti panca indra, otak, kaki, tangan, dll. Semua itu merupakan perlengkapan hidup manusia di dunia, agar manusia bisa menjalankan tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. 

Namun perlu disadari bahwa wasiat 33, saudara 12 serta indra batin lainnya merupakan bagian kelengkapan rohani, sedangkan panca indra, otak, jantung, kaki dan tangan merupakan kelengkapan jasmani. Untuk kelengkapan-kelengkapan jasmani manusia lebih mudah memahami akan keberadaan dan fungsinya, namun untuk memahami keberadaan dan fungsi kelengkapan rokhani manusia harus mempelajari melalui jalan rohani.
Dengan kelengkapan yang serba sempurna inilah manusia memperoleh sebutan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Tetapi juga harus disadari, apabila manusia jadi penjahat juga bisa menjadi penjahat yang paling kejam, apabila manusia berperilaku asor juga bisa jadi titah yang paling asor, sebaliknya apabila manusia menjadi titah yang luhur kaluhurannya juga yang paling sempurna yang mampu memayu hayu bagia bawana. Manusia tinggal memilih (pinaringan purba wasesa) dalam meletakkan dirinya. 

Apabila kita kaji lebih dalam lagi tentang kelengkapan manusia tersebut diatas, semuanya akan bekerja otomatis dan sistematis sesuai dengan fungsinya masing-masing. Sebagai contoh yang gampang ; gerakan tangan dan kaki, dalam keadaan wajar manusia tidak perlu berpikir untuk mengangkat tangan apabila menggaruk-nggaruk bagian yang gatal, begitu juga kaki, otomatis akan melangkah saat kita mau ambil barang yang agak jauh. Dan lagi apabila kita mengamati kerja paru-paru, jantung atau organ tubuh yang lain semuanya serba otomatis. 

Kecuali dalam keadaan khusus misalnya, sedang sakit, berhati-hati untuk tujuan tertentu, dll baru manusia perlu berpikir dan mengatur fungsi organ tersebut. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga dan mengupayakan agar semua kembali menjadi normal atau lebih baik. 

Kembali pada pemahaman perlengkapan rokhani manusia, hakekatnya baik itu saudara maupun wasiat semuanya berfungsi otomatis, seperti halnya perangkat jasmani apabila kondisinya dalam keadaan sehat (waras). Kewarasan inilah yang menjadi prasyarat fungsi perlengkapan jasmani dan rokhani akan sempurna. 

Dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya jasmani makan tiga kali setiap hari, jika kurang sehat atau lelah diberikan vitamin, sakit diobati, dan hasilnya seperti yang kita rasakan sekarang ini. Sekarang bagaimana dengan rohani kita, sudahkah kita perlakukan sama dengan jasmani kita. Dan apakah kita sadar dan memahami bagaimana keadaan rohani kita masing-masing. Sehingga antara jasmani dan rokhani memperoleh perhatian yang sama, serasi, selaras dan seimbang, dan pada akhirnya pembangunan manusia seutuhnya akan terwujud.

Sapta Darma dengan berbagai ajarannya mengajarkan pada manusia bagaimana memahami dan mengerti kenyataan keadaan rohani manusia, serta mengajarkan bagaimana memperbaiki dan meningkatkan kuwalitas rohani manusia menjadi lebih baik.
Terkadang para warga masih sulit memahami bagaimana seharusnya menyikapi dalam mengimplementasikan (mewujudkan) petunjuk-petunjuk ajaran. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan prinsip hukum yang berlaku dalam kehidupan rohani dan jasmani. 

Sebagai contoh :
  • Dalam hal kaya darma, secara jasmani apabila harta kita hilang maka kita dikatakan rugi, namun secara rokhani apabila kita berdarma sebagian harta kita diyakini harta kita justru akan bertambah nilainya.
  • Dalam hal usaha, secara jasmani apabila kita punya keinginan, maka kita harus kerja keras membanting tulang, namun secara rokhani apabila kita punya hajat disarankan harus ditingkatkan kuwalitas sujudnya dengan cara harus semakin pasif atau pasrah sumeleh.
  • Dalam hal perbedaan karya (milik) Tuhan dan karya (milik) manusia, karya manusia misalnya saja mobil, semakin dibebani atau sering digunakan dia akan semakin cepat aus atau rusak, lain dengan karya Tuhan apakah itu hewan maupun manusia, agar dia bisa semakin kuat justru harus dilatih dengan kerja lebih keras atau beban yang semakin berat.
  • Dalam hal perangkat jasmani dan perangkat rokhani manusia, kalau kita ingin mengangkat beban yang berat, maka kita harus konsentrasi, menata posisi tubuh, mengalirkan kekuatan ke tangan, dll. Tetapi kalau kita sedang menghadapi (mengangkat) beban rokhani yang berat justru kita harus semakin pasrah (sumeleh), posisi tubuh harus longgar, tidak boleh tegang, dll.
Dari beberapa uraian diatas, maka dalam hal menyikapi perangkat rokhani manusia khususnya tentang wasiat 33 yang benar, para warga tidak perlu dengan sengaja menggunakan/menggerakannya. Karena hukumnya wasiat 33 akan bekerja otomatis dan semakin sempurna apabila rohani manusia dalam keadaan sempurna. Sekali lagi perlu diingat bahwa hukum perangkat jasmani dan rohani tidak sama atau berbeda. Wasiat 33 semakin sering digunakan akan semakin tidak otomatis itu pertanda rokhani akan semakin tidak sehat. Hal itu akan bisa diamati dan diteliti dari perilaku (tabiat) yang akan semakin jauh dari budi luhur, dimana sifat akuisme akan semakin berkembang menjadi rumangsa bisa dan sulit untuk bisa rumangsa, karena itu adalah sifat saudara atau Nafsu.

MANFAAT SUJUD
Yang dimaksud dengan MANFAAT SUJUD adalah berbagai hal yang positif yang bisa dirasakan oleh warga apabila melakukan sujud dengan rutin dan emat. Tetapi apa yang disampaikan disini bukan TUJUAN manusia melaksanakan SUJUD.
Hal ini diharapkan menjadi dasar pemahaman bagi kita para warga dalam melakukan/menghayati SUJUD, karena apabila NIAT ini kurang tepat maka PROSES yang terjadi maupun hasil yang didapatkan juga akan tidak selaras dengan apa yang diharapkan oleh ajaran. Jadi disini benar-benar harus difahami perbedaan antara kata MANFAAT DAN TUJUAN SUJUD. 
Adapun manfaat sujud akan diuraikan sebagai berikut :
Nindakaken sujud ingkang kanthi emat miturut pitedah ing Bab V, ageng sanget pigunanipun. Sedinten sedalu sekedhikipun sapisan, langkung saking sepisan langkung sae, nanging ingkang dipun pentingaken ematipun, mboten kenging kasesa utawi ambujeng enggalipun rampung. Pramila manawi nindakaken sujud miliha wanci ingkang ayem lan tentrem, ing sengganging padamelan.
Sujud yang dilakukan dengan penuh kesungguhan seperti petunjuk Bab V mempunyai arti dan berguna yang besar sekali. Dalam 24 jam (sehari semalam). Sedikit-dikitnya dilakukan satu kali dengan pengertian baukan banyaknya melakukan sujud, tetapi adalah kesungguhannya. Jadi tak boleh tergesa-gesa, memburu lekas selesai, berhubungan dengan itu, bila sujud harap dipilih waktu yang sesuai, yaitu yang tenang tentram dalam waktu senggang dari pekerjaan.
Emat = nikmat, wis cetha banget pangincenge.
Di-Emat-ake = dirasake banget. (Bausastra Jawa)

Dalam melaksanakan sujud seperti yang diuraikan dalam BAB V, minimal dilakukan sekali dalam sehari-semalam dan apabila bisa lebih akan lebih baik. Namun yang penting bukanlah banyak atau seringnya SUJUD. Namun dikatakan adalah EMAT-nya SUJUD, tidak boleh tergesa-gesa mengejar segera selesainya SUJUD. Maka apabila melaksanakan SUJUD hendaknya memilih waktu yang longgar, disela-sela aktifitas hidup sehari-hari.

Dalam rangka mewujudkan apa yang disampaikan Wewarah diatas marilah kita renungkan sejenak bagaimana implementasinya (lakunya) dalam keseharian kita :
1. Emat-nya SUJUD :
Ditinjau dari makna kata diatas maka EMAT mengandung arti nikmat, ini berarti EMAT-nya sujud dapat dikenali melalui rasa nikmat yang dirasakan oleh para warga selama melaksanakan (menghayati) SUJUD.
EMAT juga bermakna jelas sekali apa yang diteliti, ini menjelaskan bahwa dalam suasana EMAT pemahaman terhadap apa yang diteliti akan nampak atau dimengerti atau difahami dengan jelas. Adapun lakunya diungkapkan dengan di-EMAT-ake (diematkan) = dirasakan dengan seksama. Namun disini sikap dan prakteknya harus didasari dengan pemahaman makna dan arti PASRAH DAN SUMELEH baik JIWA maupun RAGA.

2. Tidak boleh tergesa-gesa :
Tergesa-gesa adalah ungkapan rasa dorongan dari dalam diri seseorang untuk segera menyelesaikan aktivitasnya. Dalam hal melaksanakan sujud hal ini tidak boleh dilakukan, segalanya sebisa mungkin dilaksanakan/dihayati secara alamiah tanpa ada dorongan emosional sedikitpun.

3. Memilih Waktu yang longgar :
Makna waktu yang longgar memiliki makna yang umum dimana perlu ada perenungan dalam perwujudannya. Karena apabila longgar ini diartikan secara lahiriah saja, maka akan senantiasa menimbulkan makna yang delematis, mengingat pada umumnya kegiatan jasmaniah ini jika tidak diatur dengan baik akan menuntut waktu yang tiada habisnya. Maka disini makna longgar bisa diartikan waktu yang memang sudah disiapkan (terjadwal) dan waktu-waktu yang mungkin bisa diambil atau digunakan melaksanakan sujud sebagai sekala waktu prioritas.

4. Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa menjalankan sujud hendaknya memilih waktu yang longgar, lebih dari sekali lebih baik dengan syarat tidak tergesa-gesa dan bukan karena dorongan NAFSU SUJUD, sehingga SUJUD bisa terlaksana dengan WAJAR, MURNI dan EMAT.

Sujud miturut Wewarah punika bilih katelili sayektos, nuntun lampahing toya sari ingkang sampun kasaring mawantu-wantu, saha nuntun lampahing Sinar Cahya ingkang dumunung wonten ing salebeting badan, kawradinaken nglangkungi pori-pori (bolongan ingkang lembat sanget), tuwin sel-sel (peranganing daging/ urat-urat ing sak indenging badaning manungsa).

Sebenarnya sujud menurut wewarah tersebut bila di dalami serta diteliti sungguh-sungguh adalah membimbing/menuntun jalannya air sari. Air sari yang telah tersaring sungguh-sungguh, serta menuntun Sinar Cahaya yang ada/meliputi seluruh tubuh, diratakan sampai ke sel-sel sedalam-dalamnya. 

SUJUD menurut Wewarah ini apabila diteliti betul-betul, akan :
1. Menuntun jalannya Air Prawita Sari yang sudah tersaring berkali-kali.
2. Menuntun jalannya Sinar Cahya yang berada didalam seluruh Badan yang dilewatkan melalui pori-pori (lubang yang sangat halus sekali), dan juga sel-sel (bagian daging/urat-urat diseluruh badan manusia).

Dari uraian diatas mengajarkan bahwa PROSES SUJUD secara Sapta Darma akan menuntun (menggerakan) GETARAN TOYA SARI dan SINAR CAHYA sesuai dengan proses sujud yang selaras dengan AJARAN.
Perlu dipun mangertosi punapata geteran saha toya sari punika lan asalipun, dunungipun ing pundi ? Geteran inggih Sinar Cahya Allah, inggih hawa ingkang kasanepakaken ijem maya-maya ing ngajeng ingkang dumunung ing lebet saranduning pribadining manungsa. Dene toya sari inggih toya pethak, utawi toya suci asalipun saking sari-sari bumi, ingkang asalipun saking tetuwuhan, dados dhedhaharan kadhahar dening manungsa, sari-sarining dhedhaharan kala wau mujudaken toya pethak (sari) ingkang dumunung ing cethik (silit kodhok). 

Yang perlu dimengerti adalah : apakah sebenarnya getaran-getaran serta air sari itu, dari mana asalnya dan dimana tempatnya? Getaran atau Sinar Cahaya Allah adalah cahaya yang digambarkan berwarna hijau muda (=maya) yang ada di dalam seluruh pribadi manusia. Sari-sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (Jawa=Cetik /silit kodok /brutu).

Hawa = Gas kang nglimputi alam, kereping ati marang …(Bausastra Jawa)
Disini perlu difahami apakah yang dimaksud dengan Getaran dan Air Suci ini dan asalnya dari mana ? Getaran adalah Sinar Cahya Allah yaitu HAWA yang disimbolkan (digambarkan) dengan warna Hijau Maya pada Simbol Pribadi Manusia yang berada merata dalam seluruh tubuh manusia. Dari pengertian makna HAWA di-atas maka getaran yang dimaksud disini adalah getaran yang mencerminkan kehendak hati (Niat Sujud) yang berasal dari SINAR CAHYA ALLAH yang menuntun proses SUJUD sesuai ajaran SAPTA DARMA.
Adapun AIR SUCI berasal dari SARI-SARI-ning BUMI yang asalnya dari tanaman dan hewan yang dimakan oleh manusia, sari-sarinya makanan tersebut menghasilkan AIR SUCI yang berada pada CETHIK (silit kodok) pada diri manusia.

Dengan demikian hal ini cocok dengan kodrat manusia (Tes Dumadining Manungsa), dimana manusia berasal dari Sinar Cahya Allah dan Sari-Sari Bumi. Dan dalam SUJUD SAPTA DARMA, kedua unsur itulah yang berproses SUJUD kepada ALLAH HYANG MAHA KUASA, dimana SUJUDNYA disebut SUJUD ASAL MULA MANUSIA.

Manunggaling geteran Sinar Cahya kaliyan geteran toya sari ingkang mlampah alus sanget ing saranduning badan sakujur, maha-nani daya kekiyatan ingkang mawarni-warni. Dene kedadosan kala wau saged kawastanan atom ingkang berjiwa dumunung wonten ing pribadi manungsa. Kekiyatan wau ageng sanget paedahipun, amargi saged brastha bibit-bibit sesakit, ngleremaken napsu angkara, nglan-tipaken akal lan pikiran, saged nampi kawaskithan mawarni-warni, (waskitha pandulu, pamiyarsa, pangganda, waskitha ing pangandika saha waskitha ing rasa).

Bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh, menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali. Daya kekuatan ini disebut: Atom Berjiwa yang ada pada pribadi manusia. Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan guna yang besar sekali seperti antaranya :
- Dapat memberantas kuman-kuman penyakut dalam tubuh
- Dapat menenteramkan/menindas nafsu angkara
- Dapat mencerdaskan pikiran
- Dapat memiliki kewaskitaan, seperti kewaskitaan akan penglihatan, pendengaran, penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa.

Bersatunya GETARAN Sinar Cahya Allah dengan Air Suci yang berjalan halus sekali dalam proses SUJUD pada seluruh tubuh, membuahkan (menghasilkan) daya kekuatan yang beraneka ragam. Dan bersatunya Getaran Sinar Cahya Allah dengan Getaran Sari-sari Bumi (Air Suci) akan menghasilkan apa yang disebut dengan ATOM BERJIWA.
Atom Berjiwa ini besar sekali manfaatnya bagi diri pribadi manusia, karena bisa menyirnakan segala Bibit Penyakit, Menentramkan Nafsu Angkara Murka, Mencerdaskan Akal Pikir, Dan Bisa Menerima Berbagai Kelebihan.

Manggelengipun ing embun-embunan maujudaken Nur, minggahipun manunggal ngadhep Hyang Maha Kuwasa saged nampi sasmita warni-warni kadosta: sanepan gegambaran-gegambaran, seratan-seratan (Sastra Jendra Hayuningrat = Tulis tanpa papan). Sarananipun mboten sanes namung pangolahing rokhani ing wekdal Sujud saha panggulawenthahing budi pakarti tumuju dhumateng keluhuran. Panggulawenthahing pribadi punika tumrap para ingkang sampun saged, prasasat nyithak Atum ingkang berjiwa ing pribadinipun. 

Bila telah memusat di ubun-ubun akan mewujudkan Nur Putih. Akhirnya naik menghadap Hyang Maha Kuasa untuk menerima perintah-perintah/petunjuk yang berupa isyarat/kias seperti berupa gegambaran, tulisan-tulisan (tulis tanpa papan = sastra jendra hayuningrat).Sekali lagi dikatakan, bahwa syarat untuk memiliki kemampuan itu semua, tiada lain adalah pengolahan/ penyempurnaan budi pekerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan sehari-hari.Pengolahan/penyempurnaan pribadi itu, bagi pemeluk yang sudah dapat/mampu, adalah berarti selalu mencetak atom berjiwa pada pribadinya. Atom tersebut digunakan untuk perikemanusiaan ialah menolong orang yang sakit.
Bersatunya Sinar Cahya Allah dan Air Suci secara utuh (Manggeleng) di ubun-ubun manusia akan mewujudkan sebuah NUR (sinar cahya) yang bisa menghadhap Allah Hyang Maha Kuasa. Dalam kondisi yang demikian manusia bisa menerima bermacam-macam pengertian, baik berupa gambar, atau tulisan (Sastra Jendra Hayuningrat = Tulis Tanpa Papan). Latihan SUJUD yang demikian bagi mereka yang sudah berpengalaman, merupakan sebuah latihan yang sangat berguna untuk mencetak ATOM BERJIWA dalam PRIBADINYA.

Kesempurnaan sujud manusia/warga kepada Hyang Maha Kuasa, sebagaimana pokok-pokok pengertian yang telah dijelaskan diatas, jika dilaksanakan secara rutin dengan didasari K.5 (Kemauan, Kemampuan, Kayadarma, Kejujuran, dan Keikhlasan) akan menghasilkan terbentuknya manusia-manusia yang berkepribadian asli, dengan kata lain memiliki sikap watak satriya Utama yang hambeg budi luhur yang berkemampuan hamemayu mayu bagya bawana. Karena nafsu, budi, dan pakartinya telah tertuntun oleh hidupnya dalam menuju kesejahteraan dan kebahagiaan bersama secara adil dan beradap, yang selaras dengan pepancen/kodrat manusia sebagai titah yang luhur dan mulya atas kehendak Hyang Maha Kuasa.

KESIMPULAN
Sujud adalah wujud Darma baktinya hidup (Hyang Maha Suci) manusia kepada yang memberi hidup (Hyang Maha Kuasa)

Sujud menurut Ajaran Sapta Darma, bagi para warga diwajibkan melak-sanakan sujud minimal satu kali (1X) dalam waktu 24 Jam (sehari semalam).

Hidup (Hyang Maha Suci) manusia dalam melaksanakan sujud kepada Hyang Maha Kuasa menggunakan Rasa (Getaran Hidup), yaitu :
1. Getaran Kasar untuk mengucap / meluhurkan Asma Tiga (tiga sifat Allah).
2. Getaran Halus / Getaran Air Suci untuk melaksanakan sujud, dan mengucapkan, ucapan-ucapan dalam sujud.
3. Karena itu Sujud Sapta Darma disebut Sujud Asal Mula Manusia.

Sujud menurut Sapta Darma ada dua macam, yaitu :
1. Sujud wajib yang wajib dilaksanakan oleh tiap warga Sapta Darma sehari-hari secara rutin, baik dirumah maupun di Sanggar-Sanggar Candi Busana bersama-sama.
2. Sujud penggalian (sujud penelitian), yang dilaksanakan oleh para tuntunan dan Warga yang ingin mendalami ajaran Sapta Darma secara utuh (lengkap).

Sujud yang baik, benar dan sempurna apabila penghayatannya dapat melalui proses :
1. Sikap jasmani bisa sesuai petunjuk wahyu, sopan santun dan susila.

2. Pandangan pada titik ± 1 meter, yang emat dan tajam sehingga mendapatkan cahaya ketenangan, baik jasmani maupun rokhani.

3. Terciptanya hubungan rasa dan cahaya (suasana tinarbuka) yang menjaga setabilitas ketenangan.

4. Timbulnya getaran kasar dari Bundelan tali rasa THA naik keatas bertemu dengan getaran cahya di ubun-ubun, kemudian getaran rasa turun kebawah bagian muka menutup mata dan kebawah pada bundhelan tali rasa HA, kepangkal lidah menyebabkan keluarnya air liur yang harus ditelan terus mengucap Asma Tiga ; Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil.
Dengan meluhurkan Asma Tiga tersebut ketenangan / kondisi hening akan meningkat menjadi lebih tenang, yang dapat dirasakan pada Bundelan Tali Rasa Ha sampai dengan TA.

5. Dengan kondisi tersebut, maka akan timbul getaran halus (getaran air suci) dari bundelan tali rasa TA naik ke atas lewat tulang belakang (ula-ula) sampai masuk otak kecil (sela penangkep) terus ke otak besar (ubun), bersamaan dengan itu badan membungkuk dengan sendirinya sampai dahi menyentuh kain sanggar. Kemudian getaran halus tersebut akan bertemu dengan sinar cahaya dari ubun-ubun dan getarannya akan turun ke muka di permana, kebawah ke pangkal dan ujung lidah serta keluar air liur terus ditelan, untuk mengucap ucapan sujud yaitu : Hyang maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa (3X).

6. Badan dengan sengaja kembali duduk tegak lurus, pengamatan pada ubun-ubun dijaga jangan sampai terlepas, dan untuk mengamati turunnya, getaran ke Sapta Rengga, ke Dada, ke Perut, terus ke DA dan TA kembali.

7. Demikian proses getaran halus pada bungkuan yang kedua sama dengan bungkukan yang kesatu, hanya yang perlu diperhatikan pada bungkuan yang ke dua ini, sebelum timbulnya ucapan supaya heningnya tetap terjaga, sehingga menemukan/setidak-tidaknya teringat kesalahan yang dimaksud, setelah menelan air liur baru ada ucapan ; Kesalahanne Hyang Maha Suci, Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa (3X).

8. Demikian pula proses getaran halus pada bungkuan ke 3 (tiga) sama dengan sujud/bungkukan ke 1 dan ke 2, hanya dilanjutkan dengan ucapan : Hyang maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa (3X).

SUJUD DAN PENJELASANNYA


Warga “Sapta Darma” kawajibaken Sujud salebeting 24 jam (sadinten sedalu) sekedhikipun sapisan. Langkung saking sapisan langkung utami. Bilih wonten ing Sanggar saged sesarengan kaliyan Tuntunan, kenging sawanci-wanci, namung langkung prayogi katemtokaken wekdalipun.

Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikit-sedikitnya sekali Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya (emating sujud). Bila sujud dilakukan di sanggar, dapat dilakukan bersama-sama dengan tuntunan dan dapat sewaktu-waktu. Namun lebih baik waktu ditentukan.
Warga Sapta Darma di wajibkan melaksanakan sujud satu kali dalam sehari semalam (24 Jam), lebih dari sekali akan lebih baik, pesan ini jika di hayati memiliki arti yang global, mulai pemahaman sederhana sampai pendalaman yang betul-betul hakiki.

Secara sederhana, para warga wajib melakukan sujud sekali dalam sehari semalam, dimana penghayatan sujud belum ditekankan pada kwalitasnya, namun lebih ditekankan pada keikhlasan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini pertimbangan rohani belum menjadi tinjauan utama yang dikarenakan dengan berbagai alasan, misalnya warga baru, keadaan sakit, anak-anak, dll.

Secara mendalam (hakikinya), yang dimaksud dengan sujud sesuai harapan ajaran, adalah sujudnya Rohani Manusia (Hyang Maha Suci) kepada Hyang Maha Kuwasa, dimana dalam penghayatannya bukanlah laku yang mudah, apabila yang diharapkan adalah Sujudnya Rohani (Hyang Maha Suci). Untuk itu warga harus memahami syarat-syarat dan perwujudan apa yang dimaksud dengan Sujud Rohani.

Sujud sederhana maupun Sujud hakiki pada dasarnya memiliki nilai yang sama dalam rangka pelaksanaan kewajiban hidup manusia. Namun dari sisi kesempurnaan sujud sesuai harapan ajaran masih memerlukan suatu proses dan tahapan yang harus dilalui setiap warga untuk mencapainya.

Tingkat kesempurnaan sujud yang kita lakukan merupakan salah satu cara mengetahui sejauh mana kita mampu melaksanakan kewajiban (netepi wajib) sujud kepada Allah selaras dengan harapan ajaran. Dengan berbekal 5 K (Kemauan, Kemampuan, Kayadarma, Kejujuran dan Keikhlasan) maka para warga diharapkan bisa melakukan sujud dengan rutin, walaupun masih sederhana (wadag). Dengan demikian apabila para warga sujud yang rutin maka melalui Kerokhiman-Nya, Allah Hyang Maha Kuasa akan memberikan tuntunan kepada para warga secara Rohani.

Perlu disadari bahwa SUJUD ini bukan karena kemampuan, namun terlaksananya SUJUD adalah benar-benar hanya karena KEROKHIMAN ALLAH saja. Sedang manusia hanyalah mempersiapkan diri (untuk pasrah-sumeleh) dan patuh (nurut) kepada TUNTUNAN-NYA (hidup manusia.

Sedangkan sujud bersama-sama yang dilakukan di sanggar-sanggar adalah merupakan kesempatan yang sangat baik. Apabila sesanggaran tersebut juga terselenggara dengan cara yang baik pula, dalam sujud bersama akan tercipta suasana saling ASIH, ASAH DAN ASUH secara rasa diantara warga.

Disamping itu dalam SUJUD bersama juga terjadi tarik menarik getaran atau kontak rasa yang terjadi antar warga yang sedang melaksanakan sujud bersama. Kondisi lingkungan sanggar dan rasa kebersamaan dalam sujud akan menciptakan satu kondisi rohani yang sangat bermanfaat dan berguna untuk masing-masing pribadi warga. 

Keadaan atau kondisi yang terjadi pada saat sujud bersama akan berbeda dibandingkan sujud sendiri, dimana suasana bersama yang terjadi berlaku bagi semua warga yang hadir. Jika suasana yang ada pada sesanggaran itu baik, maka juga akan berpengaruh baik pada semua warga yang hadir, begitu juga sebaliknya. Untuk itu pada saat sesanggaran semua warga hendaknya menyadari untuk tidak melakukan hal-hal yang merusak atau melakukan hal-hal yang mengganggu kesakralan yang ada pada sesanggaran itu sendiri.

Disini kesakralan sesanggaran menjadi hal yang penting, karena suasana itulah yang menjadi wujud sarana kerokhiman Allah yang bisa langsung diterima oleh para warga yang sesanggaran. Dimana suasana sakral (wening) tersebut berfungsi sebagai sarana Manghayu-hayu Bagia Bawana yakni, wujud Rasa yang berfungsi sebagai Pangruwating Diyu (membasmi Angkara Murka) serta Pangruwating Cintraka (mengurangi dan/atau menghilangkan penderitaan).

Dengan demikian apabila Sesanggaran betul-betul mematuhi semua aturan dan terjaga keheningannya akan menjadi waktu dan tempat yang sangat di harapkan oleh ajaran dan para warga. Karena kondisi sesanggaran yang baik akan memberikan kemudahan bagi yang sedang kesulitan, kesembuhan bagi yang sedang sakit dan kebahagiaan bagi yang sedang mengalami penderitaan, dll.

Maka marilah secara bersama-sama kita ikhtiarkan, kita usahakan sesanggaran yang baik sesuai harapan ajaran, yang tentunya juga menjadi harapan para warga semuanya. Yaitu sesanggaran yang diliputi suasana Rohani, yang bisa kita ikhtiari dengan selalu menjaga keheningan dengan sarana kemampuan hening atau semedi kita.

Kenapa demikian, karena suasana hening (wening) atau para leluhur menyebutnya sebagai “tumedhaking alam heneng” diyakini sebagai perwujudan kehadiran kuasa Tuhan (wasesaning Allah) yang akan menjadi sumber penerangan (pepadhanging jagat) baik jagat alit maupun jagat gumelar. Sehingga dengan kehadirannya akan menjadikan siapapun yang menerimanya memperoleh, sinar ketentraman dan kebahagiaan dalam mengarungi hidup di dunia ini.
Trap Susilaning Lenggah : Lenggah madep mangetan. Tumrap kakung sila, tumrap putri timpuh. Ewa semanten kenging mendhet sak sekecanipun, sauger mboten nilar trap susila, asta kasedha-kepaken, kiwa wonten ing nglebet, tengen wonten ing njawi.

Trap Susila Duduk (Sujud) : Duduk tegak menghadap ke timur (=timur/kawitan/asal), artinya diwaktu sujud manusia harus menyadari/ mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila kaki kanan di depan kaki kiri. Bagi wanita bertimpuh. Namun diperkenankan, mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak menggangu jalannya getaran rasa. Tangan bersidakep, yang kanan di luar dan yang kiri di dalam.
TRAP SUSILA SUJUD (Trap Susilaning Lenggah) :
  1. Duduk di atas kain sanggar menghadap ketimur.
  2. Melonggarkan Pakaian (melepas ikat pinggang, jam tangan, dan lain-lain yang sekiranya mengganggu jalannya rasa.
  3. Bagi Laki-Laki bersila, bagi perempuan bertimpuh. Bisa dilakukan seenaknya asal tidak melanggar Trap Susila.
  4. Tangan sedakep, kiri di dalam (di bawah) kanan di luar (di atas).
  5. Kepala, Tulang belakang (ula-ula) dan cethik segaris.
  6. Sak lajengipun ngleremaken penggalih, paningal mriksanana mangajeng leres kinten-kinten 1 meter saking papaning lenggah, lenggah jejeg; sirah, balung ula-ula lan cethik sagaris lurus.
Selanjutnya menentramkan badan dan pikiran, mata melihat ke depan ke satu titik pada ujung kain sanggar yang terletak ± satu meter dari posisi duduk. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus.

Sujud dimulai dengan sikap duduk tegak seperti diatas dimana pandangan mata memandang ± 1 meter dari posisi tempat duduknya, serta mengamati keluar masuknya nafas untuk menentramkan hati dan fikiran kita.

Trap susila merupakan bagian dari rangkaian sujud yang sangat menentukan akan keberhasilan dari sujud itu sendiri. Dengan Trapsusila yang benar rasa akan ada atau muncul secara alami atau otomatis. Rasa inilah yang mampu menjaga ketentraman hati dan pikiran disaat proses sujud berjalan, dimana pada kondisi tersebut kemauan atau Niat sujud secara lahir batin pada Hyang Maha Kuasa dikatakan mulai maujud (terlaksana). Disinilah kita bisa membedakan antara Niat yang masih dalam bentuk keinginan dan Niat yang sudah maujud (menjadi kenyataan).

PENGAMATAN PROSES PANDANGAN SATU METER
Dalam buku wewarah dikatakan bahwa pada pandangan satu meter ini warga akan mencapai ketentraman hati (lerem-ing penggalih). Disini bisa kita fahami bahwa yang dimaksud dengan ketentraman hati adalah kondisi hati dan pikiran yang pasif (kondisi WENING).

Namun disini perlu dimengerti bahwa dalam pandangan satu meter yang penting adalah tercapainya keheningan atau ketentraman, hal ini membutuhkan suatu proses dan memerlukan waktu. Kesabaran dan ketelitian dalam mengamati proses jalannya rasa sangat dibutuhkan, karena yang menentukan keberhasilan tercapainya proses sujud yang benar adalah JALANNYA PROSES RASA SUJUD (proses jalannya getaran rasa selama melaksanakan sujud). 

Atas dasar pengertian bahwa Allah itu Maha Wasesa dan atas dasar bahwa sujud kita adalah penyerahan diri kepada Allah maka sikap kita didalam Sujud adalah Hananing Mung Ngerti atau hanya meniliti atau niteni. Sehingga dalam penghayatan sujud kita tidak perlu KONSENTRASI yang ada hanya semeleh. 

Apabila KONSENTRASI yang dilakukan maka yang terjadi adalah makartinya saudara (keinginan/nafsu) untuk sujud, maka kita harus waspada apakah kita sudah memenuhi kriteria sumeleh atau kita masih KONSENTRASI ? Karena hal ini akan menentukan hasil akhir atau buah dari sujud.

LANGKAH PENELITIAN GETARAN
Setelah persiapan secara ragawi diatas dilakukan, maka berikutnya melakukan penelitian getaran proses sujud. Selama penelitian rasa, getaran yang terasa bisa dibedakan menjadi tiga kelompok rasa (getaran), yaitu :
1. Getaran proses sujud.
2. Getaran makartinya saudara 11.
3. Getaran pengaruh lingkungan (situasi & kondisi lingkungannya).
Dalam rangka memahami ketiga kelompok getaran yang mungkin terasa selama proses sujud, maka kita harus memahami ciri-ciri pokok tipe atau jenis getaran yang dimaksud, antara lain sbb :

1. GETARAN PROSES SUJUD
Yang dimaksud dengan Getaran Proses Sujud adalah proses sujudnya Hyang Maha Suci manusia yang berproses didalam pribadi kita dimana keberadaan proses getaran rasa tersebut bisa kita kenali dengan cara, antara lain :
  1. Proses rasa yang terjadi membuat tenang dan tentram.
  2. Membersihkan/menanggulangi segala gangguan rasa pangrasa (getaran nafsu).
  3. Jalannya proses rasa akan menyempurnakan kondisi fisik (kewarasan ragawi).
  4. Proses rasa berjalan (rumesep) masuk kedalam pribadi.
  5. Apabila proses bisa tuntas dan mencapai kondisi EMAT maka pribadi akan merasa terang (padhang).

2. GETARAN MAKARTINYA (AKTIFNYA) SAUDARA 11
Yang dimaksud dengan Getaran saudara adalah getaran-getaran yang mengakibatkan aktifnya hati dan pikiran. Getaran ini bisa kita kenali dengan cara, antara lain :
  • Proses getaran yang terjadi menjadikan aktifnya pikiran,angan-angan dan perasaan.
  • Proses getaran yang terjadi menimbulkan gejolak rasa (tidak tenang).
  • Proses getaran yang terjadi berjalan dari dalam keluar pribadi.
  • Proses getaran yang terjadi menimbulkan suasana tidak bersih atau tidak nyaman.
3. GETARAN LINGKUNGAN (Situasi & Kondisi Lingkungannya)
Yang dimaksud dengan Getaran Lingkungan adalah getaran yang berasal dari luar pribadi. Getaran lingkungan ini bisa berpengaruh positif atau negatif kepada pribadi kita, tergantung baik buruknya sumber getaran tersebut.

Yang dimaksud dengan positif adalah getaran yang berpengaruh terhadap pribadi menjadi mudah tenang dan tentram. Adapun yang negatif adalah getaran yang membawa suasana menjadi bergolak atau tidak tentram dan nyaman.

Dalam praktek penghayatan sujud penelitian dilakukan dengan cara :
1. Perhatikan posisi duduk masih harus tetap tegak segaris.
2. Perhatikan PERNAFASAN (keluar masuknya nafas), amati hubungan TITIK PERMANA (NGA) dengan ujung KAIN SANGGAR.
Syarat : Pengamatan tidak boleh tergesa-gesa, sifat pengamatan menunggu, mengikuti dan meneliti proses sujud yang sedang berjalan. Dimana yang dimaksud dengan menunggu adalah menunggu adanya proses getaran akibat kontaknya antara ujung kain sanggar dengan permana. Apapun yang dirasakan selain rasa kontak antara ujung kain sanggar dengan permana adalah getaran makartinya saudara 11 dan Getaran dari lingkungan, keduanya tidak perlu diperhatikan. Dimana pada saatnya nanti perhatian kepada tegaknya badan, pandangan pada ujung kain sanggar dan pada pernafasan, satu-persatu akan terlepas dan manggeleng dengan sendirinya.
3. Setelah menemukan rasa kontak yang dimaksud diatas, ikuti JALANYA RASA tersebut. Kemampuan meneliti dan mengikuti jalanya rasa tersebut adalah wujud awal kemenangan dalam PERANG BARATA YUDA tahap I. Janganlah diperhatikan akibatnya (apapun yang dirasakan), dengan bahasa lain : Tidak usah ingin tahu dan tidak perlu tahu, Jika diperlukan Allah akan memberi tahu dengan sendirinya. Sebagai tanda apabila proses yang berjalan itu benar, PIKIRAN dan HATI menjadi lebih tenang (pikiran / kepala menjadi ringan dan dada menjadi longgar/dingin). Dalam hal ini hendaknya lama tidaknya waktu yang diperlukan tidak menjadi acuan, yang penting adalah hasil prosesnya.
Pengalaman : Pada saat melakukan pandangan 1 meter, dimana pengamatan pernafasan sudah dilakukan maka akan ada getaran/rasa yang berjalan (segaris) dari ujung kain sanggar menuju titik permana. Namun tidak langsung menyentuh (kontak) pada titik permana, masih terhalang getaran lain yang ada.
Sentuhan antara Getaran/Rasa Dari Ujung Kain sanggar dengan Getaran Lain Yang Menutupi/Menghalangi pada Permana ini merupakan PERANG BARATA YUDA tahap II.
Dalam hal ini kita hanya sebagai saksi (hananing mung ngerti), dengan sabar, biarkan proses berjalan sendiri hingga tuntas, pengamatan kita tertuju hanya pada jalannya getaran/rasa yang menuju (masuk) titik permana, karena pengamatan kita sedang dituntun rasa menuju permana. Perhatikan proses kontak yang terjadi, bukan akibatnya.
APABILA PROSES BERJALAN BAIK MAKA, PERMANA AKAN TERASA (Ringan, Bersih, Dingin, dll).
Keterangan : Getaran-getaran lain yang ada pada permana adalah getaran saudara (makartinya saudara) atau Getaran dari Lingkungan yang sedang menguasai atau mengganggu permana. Hal ini yang menyebabkan, seseorang akan terganggunya pengamatan dan penelitiannya.
4. Proses bersihnya permana dari segala gangguan itu akan seiring dengan perubahan getaran yang terasa pada bundelan tali rasa NGA dan HA, dimana kondisinya akan menjadi lebih baik.

5. Jika diilustrasikan maka jalannya getaran pada pandangan satu meter, melalui titik ujung kain sanggar, bergerak segaris menuju permana (NGA). Dari NGA biasanya kebelakang mengakibatkan aktifitas otak kecil menjadi pasif, ke atas kontak dengan ubun-ubun terasa dingin, isis atau terbuka, kebawah HA akan terasa dan dada (Hati) kita akan terasa longgar atau dingin.

KESIMPULAN PROSES PANDANGAN SATU METER (HENING I)
Sesuai apa yang disampaikan dalam buku wewarah tujuan dari pandangan satu meter adalah penenangan hati dan fikiran (hening). Adapun yang menentukan pencapaian hening ini adalah kesempurnaan jalanya proses rasa, dimana jalannya rasa ditentukan oleh :
1. Posisi duduk (cethik, tulang belakang dan kepala harus segaris) tetap terjaga dan terkontrol kestabilannya, dimana kondisi duduk tetap dalam keadaan longgar (semeleh).
2. Pandangan mata pada ujung kain sanggar tetap terjaga dan tidak terlepas (stabil dan tidak tegang), sehingga tercapai kontak rasa antara PERMANA dan UJUNG KAIN SANGGAR.
3. Penelitian pernafasan stabil (ajeg) hingga halus, hampir tak terasa (seolah tak bernafas), dimana pada saat itu mata masih dalam keadaan terbuka. 

GETARAN KASAR, MENELAN AIR LIUR DAN ASMA TIGA
Sak sampunipun lenggah saha lereming manah, ing mriku lajeng getaran ingkang wonten salebeting badan, saking ngandhap manginggil. Lajeng raos manginggil malih, ngantos dumugi sirah, mila nutup tlapukan mripat sarana getaran. Minangka tandha, pucuking ilat kraos pating trecep, ing mriku lajeng ngucap ing salebeting batos :”Allah Hyang Maha Agung””Allah Hyang Maha Rokhim””Allah Hyang Maha Adil”

Setelah merasa tenang dan tenteram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas. Selanjutnya getaran rasa tersebut merambat ke atas sampai di kepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (Jawa = pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam bathin :”Allah Hyang Maha Agung””Allah Hyang Maha Rokhim””Allah Hyang Maha Adil”

GETARAN KASAR
Setelah hati dan fikiran sudah mulai tentram dan tenang dalam keadaan mata masih terbuka, didalam tubuh akan terasa ada getaran mulai dari telapak kaki ke atas sampai pada kepala, inilah yang dimaksud dengan GETARAN KASAR. Semakin tercapainya tingkat keheningan, getaran kasar ini akan semakin sempurna berproses dalam pribadi kita dan akan bisa teramati secara lebih jelas. GETARAN KASAR ini akan berfungsi untuk menyempurnakan ketentraman yang sudah ada dari pandangan satu meter.

Setelah permana atau Bundelan Tali Rasa (BTR) NGA bersih mencapai ketentraman, getaran kasar berproses mulai BTR. THA (telapak kaki) sampai dengan BTR. HA (pangkal lidah) dan bersamaan dengan itu mata mulai tertutup. Getaran terus bergerak secara otomatis turun ke pangkal lidah (HA) terasa trecep-trecep keluar air liur.
Sesungguhnya proses perjalanan Getaran Kasar melalui pos-pos bundelan tali rasa sesuai dengan abjad (carakan) aksara jawa terbalik, diawali Nga (proses pandangan 1 meter) getaran kasar berjalan dari Tha sampai dengan Ha.

PENELITIAN PROSES JALANNYA GETARAN KASAR
Dalam penelitian perlu ditegaskan bahwa penelitian disini bukanlah atas dasar keingin tahuan proses yang terjadi. Namun atas dasar hanya mengerti (hanyekseni), jadi lakunya adalah menunggu getaran itu ada terlebih dahulu baru kita menyaksikan, bukannya mencari dimana getaran itu ada.

Pada saat getaran kasar berproses kita tahu dan sadar bahwa hati dan pikiran belum bersih betul dan masih ada aktifitas, kadang masih lari kesana-sini. Biarkan saja asal kita tidak mengikuti (memperhatikan) apalagi larut (ketut) pada aktifitas tersebut.

Setelah getaran kasar mulai terasa di kaki (BTR. THA), kita mulai mengikutinya (penelitian). Dalam teknis penelitian tata cara meneliti misalkan diibaratkan orang yang berjalan, seperti orang yang dituntun (kita mengikuti) yang menuntun, jadi selalu dibelakangnya. Jika yang nuntun berhenti, yang dituntun juga berhenti, jika pelan juga ikut pelan, begetu seterusnya. Namun apapun yang terjadi kita akan terasa, walaupun tidak tahu maksudnya, dan jika kita belum tahu maksudnya tidak perlu ingin tahu, cukup disadari kalau kita belum tahu. 

Berdasarkan teori, Getaran akan berjalan sesuai jalur Bundhelan Tali Rasa (BTR) dari NGA sampai HA seperti dasampaikan diatas, namun jika tidak sesuai dengan teori yang ada tidak perlu dipertanyakan, kenapa demikian ? Jika diperlukan akan mengerti dengan sendirinya, pada sujud-sujud berikutnya.

Selama GETARAN KASAR berjalan kadhang pada organ tubuh ada yang dirasakan sakit, atau timbul berbagai rasa yang mengganggu, hal-hal seperti itu tidak perlu dihiraukan. Perlu diyakini bahwa apapun yang terjadi itu adalah proses perbaikan, yang salah dibenarkan, yang sakit diobati atau efek positif yang lainnya.

Jika proses berjalan dengan baik maka tingkat ketentraman atau keheningan akan meningkat lebih baik dibanding sebelumnya. Dimana pada saat ini pernafasan juga semakin halus. Setelah GETARAN KASAR sampai kepala dari NGA turun menutup mata secara otomatis, dan tembus pangkal lidah (BTR. HA) terasa trecep-trecep.

KESIMPULAN PENELITIAN PROSES GETARAN KASAR (HENING II)
Setelah proses getaran kasar berjalan dengan baik maka, kondisi persaiapan sujud menjadi lebih sempurna baik secara fisik (jasmani) maupun secara batin (rokhani). Secara ragawi semakin terasa nyaman dan hati semakin tentram, ini menunjukkan bahwa sujud semakin siap baik secara jiwa raga atau lahir batin.
Walaupun demikian pada saat ini masih ada kemungkinan adanya gangguan fikiran dan hati, tetapi sudah semakin minim. Selaras dengan kondisi pribadi masing-masing. Pada saat ini merupakan saat persiapan PROSES UCAPAN ASMA TIGA dan mata sudah dalam keadaan tertutup. PROSES UCAPAN ASMA TIGA adalah proses penyempurna persiapan manembah (bungkukan sujud).

PROSES MENELAN AIR LIUR
Pada saat terjadi proses Pandangan Satu Meter dan Getaran Kasar, dengan penelitian tiga unsur (Pernafasan, Pandangan satu Meter dan Getaran Kasar) tersebut pangkal lidah akan terasa trecep-trecep (keluar air liur) dan ditelan, diamati akibat/manfaatnya didalam pribadi. Dimana Ludah ini memiliki fungsi sebagai penentram saudara (Nafsu) dalam Bhs. Jawa sering disebut PARING BOGA pada saudara.
Tentunya proses ini sangat membantu dalam proses menentramkan saudara, ibarat Hyang Maha Suci kita seorang penggembala. Maka Proses menelan air liur adalah saat memberi makan hewan yang digembalakannya. Sehingga dengan menelan air liur maka hewan (nafsu) kita akan menjadi lebih tentram karena telah diberi makan.
Disamping pada saat-saat seperti yang dimaksud diatas, air liur juga akan keluar pada saat-saat tertentu secara otomatis. Hal ini apabila sudah berhenti atau sudah terkumpul cukup banyak di mulut, maka segera saja di telan. 

PROSES PENELITIAN
1. Pada saat didalam mulut kita terasa air liur mulai keluar, penelitian kita tidak perlu terpengaruh, cukup dimengerti saja dan dibiarkan keluar hingga tuntas.
2. Apabila sudah terkumpul cukup banyak, atau sudah berhenti proses keluarnya, maka air liur kita telan.
3. Air liur yang kita telan kita teliti, mulai dari mulut, tenggorokan dan ke rongga dada.
4. Ikuti jalannya air liur, bagaimana pengaruhnya dalam pribadi kita, sejauh mana air liur berjalan, dll.
5. Apabila setelah ditelan ternyata air liur keluar lagi, maka lakukan penelitian ulang hingga tuntas.

PENELITIAN PROSES ASMA TIGA (HENING III)
Penelitian ASMA TIGA sudah termasuk pada penelitian rasa yang halus, dimana mata sudah dalam keadaan tertutup dan hati/fikiran sudah tentram. Ucapan Asma Tiga dikatakan dalam Buku Wewarah adalah Ucapan Batin Kita. Disini bisa diartikan bahwa ucapan berasal (bermula) dari batinnya Rokhani (Hyang maha Suci).
Maka pada pengamatan penelitian UCAPAN ASMA TIGA kita akan meneliti secara menyeluruh. ASAL UCAPAN sampai pada PENGARUH GETARAN ASMA TIGA saat dan sesudah diucapkan, pada jagat pribadi.

Setelah mata tertutup maka pernafasan akan semakin halus dan menggeser pengamatan pernafasan seakan berada di dalam pribadi (pada garis vertikal keatas-kebawah di tengah pribadi yang menghubungkan mbun-mbunan dan lubang pembuangan).
Selama pengamatan (penelitian) kondisi akan berubah menjadi semakin bersih (MAYA) atau ketenangan semakin sempurna. Perubahan ke-MAYA-an ini merupakan pertanda semakin dekatnya hubungan manusia dengan Tuhan. Kemudian pada posisi ter-MAYA atau paling dekat dengan Tuhan maka UCAPAN ASMA TIGA terucapkan, UBUN-UBUN dan RA kontak, dan kita akan menerima pemahaman serta merasakannya PROSES yang terjadi pada UCAPAN ASMA TIGA.

TEKNIS PENGHAYATAN
Setelah mata tertutup dengan sendirinya, posisi tubuh (badan/fisik), angan-angan dan fikiran sudah anteng, maka penelitian antara lain sbb :
1. Sementara ini perhatian masih pada permana, namun dalam posisi ini kita dituntut berlaku netral (hananing mung ngerti).
2. Rasa dan keberadaan pengamatan masih pada permana, namun proses masih terus berjalan dan kita cukup mengikutinya (keadaan tertuntun).
3. Proses rasa mungkin bisa diungkapkan dengan kata RUMESEP (gerakan rasa yang menjadikan lebih hening atau manggeleng) masuk kedalam pribadi.
4. Keadaan pribadi menjadi lebih bersih (WENING) atau dengan kata lain lebih MAYA. Tingkat ke-MAYA-an ini bisa diartikan posisi kedekatan dengan Tuhan, semakin MAYA bisa berarti semakin dekat posisi kita dengan Tuhan.
5. Proses menjadi lebih MAYA ini berhenti, ditandai dengan proses terucapnya ASMA TIGA, dimana keadaan MAYA dan saat terucapnya ASMA TIGA masing-masing pribadi tidak sama. Hal ini tergantung dari tingkat kedewasaan rohani masing-masing individu.
6. Pada saat terjadinya UCAPAN ASMA TIGA, kita mengamati mulai KRENTEG MENGUCAP, TERJADINYA UCAPAN DAN PERUBAHAN RASA SETELAH MENGUCAP.
7. Setelah ASMA TIGA selesai, berikutnya kita akan meneliti NAIKNYA GETARAN HALUS.

KESIMPULAN ASMA TIGA
Melihat proses dan suasana Ucapan Asma Tiga (dalam kaweningan) maka ucapan ASMA TIGA adalah SABDA. Sehingga penelitian ASMA TIGA adalah merupakan proses yang sangat penting pada pribadi warga, guna melatih terwujudnya SABDA bagi pribadi warga.
Setelah Usapan Asma Tiga dilakukan, turunnya Getaran Asma Tiga diteliti secara cermat utamanya pada bundelan-bundelan tali rasa, HA, NA, CA, RA, KA, DA dan TA.
Bilih sirah kraos awrat; tandha yen raos (getaran) sampun kempal sedaya wonten sirah, mila mahanani goyanging badan. Ing ngriku lajeng wiwit ngraosaken sari-sarining toya suci ingkang wonten brutu (silit kodhok). Lampahing alus sanget minggah medal ing ros-rosaning ula-ula. Pandhingkluking badan terus kaetutaken kanthi emating raos ngantos bathuk dhumawah ing siti (gelaran).Wekdal pasuryan tumempel ing siti (mori sanggar) lajeng ngucap ing batos: “Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa” (kaping 3).
Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. Kemudian dimulai dengan merasakan jalannya air sari yang ada ditulang ekor (Jawa: brutu atau silit kodok). Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah-olah mendorong tubuh membungkuk kemuka. Membungkuknya badan diikuti terus (bukan karena kemauan tapi karena rasa), sampai dahi menyentuh kain sanggar. Setelah dahi menyentuh kain sanggar, dalam batin mengucap”Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa” (3 kali).

PENELITIAN GETARAN HALUS
Air purwitasari atau sering disebut toya sari dimana dalam pribadi manusia berada pada Cethik (bundhelan tali rasa TA). Menurut Ajaran, toya sari pada laki-laki disebut dengan Nur Rasa dan toya sari pada perempuan disebut dengan Nur Buat. Sehingga toya sari pada diri manusia pada hakekatnya adalah Nur Rasa dan/atau Nur Buat, dimana secara fisik berasal dari sari-sarining bumi.

Selain itu toya sari juga merupakan bibit untuk terjadinya (dumadinya) unsur jiwa dan raga. Dan didalam proses sujud Sapta Darma Getaran Toya Sari ini disebut getaran halus yang akan menuntun seluruh jiwa dan raga tunduk dan patuh pada Hyang Maha Suci, bersama-sama sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa. 

Pada saat penelitian proses naiknya getaran halus dimana ruas demi ruas akan memberikan pengertian bagaimana sebenarnya (nyatanya) diri ini saat diajak manembah pada Sang Pencipta Allah Hyang Maha Kuasa. Terkadang saat naiknya getaran toya purwita sari terjadi bagian tubuh yang bergerak, terkadang juga, raga sudah diam (anteng) namun muncul suara-suara hati, pikiran atau timbul rasa yang tidak nyaman, dll, hal yang demikian menunjukkan berontaknya jiwa (napsu) yang disebabkan belum tentramnya saudara.
Menghadapi yang demikian harus tetap bersabar dan tenang, tidak perlu ditanggapi dengan satu rekayasa (ora usah di paelu), maka getaran halus akan mengurusnya. Sehingga pada saat getaran halus naik, para warga harus bersabar, sebagai contoh :
  • Kadang jalannya getaran toya sari berhenti sesaat pada posisi tertentu, diikuti ada bagian fisik yang terasa sakit kemudian menjadi enak (nyaman), hal itu menunjukkan adanya proses pembenahan raga.
  • Pada saat berhenti ada gangguan nonfisik, pikiran kacau, ada suara-suara yang mengganggu dan kemudian hilang lagi, itu menunjukkan adanya proses penentraman jiwa.
Untuk mengatasi berbagai gangguan diatas dapat menggunakan dua cara, yaitu ; 
(1) merasakan ubun-ubun kemudian dipancarkan ke otak kecil sampai gangguan itu hilang, dan naiknya getaran halus bisa terasa kembali, 
(2) apabila diatasi dengan cara tersebut masih belum berhasil, maka dengan sengaja membuka mata, mengucap Asma Tiga dengan hening, setelah gangguan hilang kemudian menutup mata kembali dan melanjutkan meneliti naiknya getaran halus kembali.

Maka dalam mengamati jalannya getaran halus haruslah bersabar, berilah kesempatan getaran untuk menyelesaikan tugasnya hingga tuntas, sehingga jiwa dan raga mau sumuyud (patuh yang dikuti kasih sayang) sujud kepada Allah.
Perjalanan getaran Toya Sari dari Jana Loka, melewati Indra Loka, sampai pada bundelan tali rasa LA berhenti sesaat. Pada posisi ini perjalanan toya sari harus berhenti, menunggu terbukanya pintu gerbang sela martangkep. Dalam rangka menunggu inilah, sikap kita harus hati-hati. Karena di sekitar bundelan tali rasa LA ada tiga pos saudara (Naga Tahun, Jati Ngarang dan Gandaruwo Raja), dan jika tidak hati-hati maka getaran toya sari akan singgah di pos tersebut dan tidak melanjutkan perjalananya ke Jonggring Saloka (Otak Besar / ubun-ubun). 

Apa bila naiknya getaran toya sari gagal masuk Jonggring Saloka dan habis (berhenti) pada pos saudara tertentu. Maka toya sari yang pada hakekatnya mewakili jiwa dan raga (saudara 11) tersebut akan tunduk (dikuasai) oleh salah satu saudara yang berada pada pos tersebut. Sehingga dalam kenyataan hidup sehari-hari sifat dan watak pribadi kita akan di dominasi oleh watak dasar saudara tersebut. 

Namun apabila jalannya getaran halus di BTR. LA aman dan tidak terganggu, dan pintu sela martangkep mau terbuka yang diikuti terbukanya ubun-ubun, maka pertemuan getaran toya sari dengan getaran Hyang Maha Suci akan terjadi di Jonggring Saloka atau Otak Besar. Dalam hal ini menunjukan saat bersatunya antara yang dimomong dengan pamongnya dalam jagat pribadi.. Selanjutnya manusia secara utuh akan melakukan Sujud (manembah) kepada Allah diwakili oleh Hyang Maha Suci-nya (Manunggaling Kawula lan Gusti).

PROSES PENELITIAN UCAPAN SUJUD
Setelah dahi menyentuh kain mori sanggar, dengan tetap dalam kaweningan, nafas terjaga masih halus, merupakan persiapan melakukan UCAPAN SUJUD. Namun sebelum mengucap hendaknya kita meneliti kembali kedalam pribadi, sudahkah ada rasa rumangsa ngadhep maring Allah, atau kesadaran bahwa kita sedang dihadapan Allah. Baru setelah semuanya mapan, dengan sabar menunggu proses ucapan sujud yang ditandai dengan getaran rasa pada ujung lidah, menelan air liur baru mengucap HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KWASA (3X).

Setelah purna mengucap ucapan sujud, dan dirasakan sudah cukup kemudian bungkuan diangkat dengan perlahan-lahan hingga tegak kembali. Pada saat tegak kita teliti kembali rumeseping rasa kedalam sanubari, hingga tuntas.
Dilanjutkan menunggu dan meneliti kembali dengan cara yang sama naiknya Getaran Halus, sampai terlaksana ucapan KESALAHANE HYANG MAHA SUCI NYUWUN NGAPURA HYANG MAHA KWASA (3X).

Begitu juga untuk penelitian ucapan bungkuan yang ketiga HYANG MAHA SUCI MERTOBAT HYANG MAHA KWASA (3X).

Hingga pasca ucapan Mertobat, setelah bungkuan terakhir kita tetap tegak dan tidak perlu tergesa-gesa lukar, dan tetap meneliti rasa bagaimana suasananya dan mungkin ada pengertian atau wejangan dari Allah. Dan begitulah uraian tentang sujud semoga bisa menambah wawasan dan wacana tentang sujud demi hari esok yang lebih baik.

PENELITIAN DAN PROSES MENGANGKAT BUNGKUAN SUJUD
Didalam proses naiknya badan dari sungkeman sujud diharapkan dilakukan dengan sengaja sambil terus mengamati ubun-ubun, agar gerakan proses mengangkat badan dari sungkem (sujudan) tidak mengganggu proses rasa (manggelenging rasa) yang sudah mapan. Sehingga rasa yang sudah mapan bisa dilanjutkan pada penelitian proses sujud yang berikutnya.

Setelah badan tegak lurus kembali, pernafasan diteliti kembali sampai halus, sehingga kondisi sujud bisa kembali pada suasana wening kembali. Pada saat tegak habis sungkeman dilakukan penilitian getaran rasa yang turun dan rumesep diseluruh tubuh. Disarankan dalam penelitian turunnya rasa ini, para warga bisa meneliti dengan sabar, tlaten dan tliti hingga tuntas dan menemukan rasa yang paling halus. Mengingat pada saat seperti ini terjadi berbagai proses rasa yang memberikan berbagai pengertian dalam sujud. Adapun tata cara penelitian seperti disampaikan di depan.

Selasa, 24 Januari 2012

PENERAPAN AJARAN GETARAN SRI GUTOMO GUNA PENINGKATAN EKONOMI WARGA KSD


Oleh : Minto Iskandar
Ditulis oleh : Antonius Sukoco


Ringkasan
Ajaran getaran Sri Gutomo, telah diajarkan panuntun kepada warga, tentang cara pandangan satu meter, sapta rengga, dll. Dalam pandangan satu meter sebenarnya dapat dikembangkan mengenai pelajaran daya cipta warga. Daya cipta muncul dari interaksi sinar antara mata dengan benda yang ditatapnya. Interaksi sinar ini melahirkan gegambaran tergantung pada rasa dan ketajaman panca indra. Karena itu ajaran getaran Sri Gutama sudah lebih dari cukup dalam menemukan hal-hal kreatifitas, hingga penelitian sederhana.

Hasil dari kreatifitas dapat dikomersialkan untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian warga dapat mencukupi kebutuhan diri sendiri, keluarga, lalu berkembang menjadi mencukupi orang lain atau perusahaan. Sehingga ajaran getaran sri gutama dapat dipraktekan dilapangan dalam bidang pertanian, perternakan, pendidikan dan penemuan sederhana hingga penemuan yang rumit-rumit. Hasil kreatifitas selanjutnya pada produk yang layak jual. Oleh karena itu, warga dapat menemukan lebih dari satu produk kreatifitasnya.

Pada pandangan satu meter, maka mata menatap kesasaran suatu benda, dari mata akan memancarkan sinar yang mengenai sasaran atau benda, dan dari benda juga akan memancarkan sinar yang akan masuk ke mata, sinar yang masuk ke mata dicerna oleh otak, lalu otak menghasilkan daya cipta, dari sinilah dihasilkan gegambaran. Gegambaran yang dihasilkan bisa sederhana, bisa rumit dan hal ini tergantung pada pengalaman jasmani seseorang atau kematangan jasmani seseorang. Prinsip ini berlaku umum, dan pandangan satu meter dapat dilakukan pada buku yang mengandung rumus-rumus atau diterapkan pada alam sekitarnya.

Teknik pandangan satu meter dapat dikembangkan pada sapto rengga, karena telinga, hidung, mulut, mempunyai indra rasa yang melengkapi manusia, maka indra ini dapat dilatih guna memperoleh kesempurnaan dari kreatifitasnya yang ditemukan. Dengan demikian ajaran pandangan satu meter dari ajaran Sri Gutomo dapat digunakan pada bidang ilmu pengetahuan.

(Kata kunci: Pandangan 1 meter, interaksi sinar, gegambaran)

PENDAHALUAN
Apakah getaran kasar Sri Gutomo??sebelum menjelaskannya, marilah kita memperhatikan bumi dan alam semesta, yang merupakan bagian dari tata surya, kita ketahui bumi mengelilingi matahari pada orbitnya, kenapa bumi dapat mengelilingi matahari?. Karena bumi ini dipengaruhi oleh gaya gravitasi matahari, sehingga bumi dapat berputar mengelilingi matahari peda orbitnya. Alam semesta inipun mempunyai gaya gravitasi bumi yang menyebabkan manusia dan benda-benda dibumi ini tidak melayang-layang. Dapatlah dipahami bahwa manusia, hewan, tanaman, dll dipengaruhi gaya gravitasi matahari dan bumi.

Dengan demikian pada mekanan yang dikosumsi manusia mengandung dua gaya gravitasi bumi dan matahari yang salling mempengaruhi didalam tubuh. Getaran kasar didalam tubuh, sebenarnya dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu detaran eksternal dan getaran internal. Getaran kasar eksternal adalah getaran sari-sari makanan yang dapat dikeluarkan dalam tubuh. Sedangkan getaran kasar internal adalah getaran sari-sari makanan yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh tetai dapat berguna untuk tubuh.

Makanan yang dikosumsi tubuh, terdapat getaran gravitasi bumi dan matahari, disamping dua gaya ini maka ada getaran sinar-sinar yang maha kuasa. Artinya didalam tubuh manusia ada tiga gaya yaitu matahari, bumi dan sinar Hyang Maha Kuasa. Apakah gaya gravitasi bumi dan matahari dapat dikeluarkan dalam tubuh???kedua gaya ini dapat dikeluarkan dari dalam tubuh dan kembali ke matahari dan bumi (getaran eksternal). Sedangkan getaran yang didalam tubuh adalah getaran sinar Hyang Maha Kuasa (getaran internal).

Getaran internal ini berwujud sinar-sinar Hyang Maha Kuasa, yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan kebutuhan manusia. Marilah kita renungkan fakta dibawah ini: jika kita menjemur pakaian sehabis dicuci, lalu dijemur dipakgar terkena cahaya matahari, maka dalam 4-5 jam pakaian basah akan kering. Fakta ini mengartikan cahaya matahari mengenai pakaian basah, akibat cahaya matahari maka pakaian basah menjadi kering, karena air pada pakaian diubah oleh cahaya matahari menjadi getaran-getaran uap air agar meninggalkan pakaian sehingga pakaian menjadi kering. Fakta ini berlaku pada hewan, manusia, tanaman bia terkena cahaya matahari, pada manusia yang terkena matahari maka dalam tubuh ada getaran-getaran yang bergerak ke atas, kesamping didalam tubuh untuk keluar lalu manusia berkeringat. Oleh sebab itu getaran-getaran dalam tubuh naik keatas hal ini disebabkan oleh gaya cahaya atau gaya sinar dari sumber yang kuat. Fakta-fakta dari matahari, juga berlaku pada sumber yang kuat yaitu sinar Hyang Maha Kuasa menyinari semua umat manusia, maka didalam tubuh akan terjadi getaran yang merambat keatas.

Lalu apakah getaran kasar Sri Gutama: adalah kumpulan gravitasi bumi, matahari, sinar matahari, getaran sinar cahya Allah dan sinar Hyang Maha Kuasa yang terdapat pada sari-sari makanan dan minuman di tubuh manusia.

Dalam sujud maka getaran kasar ini dikeluarkan, sehingga yang tinggal didalam tubuh getaran sinar Hyang Maha Kuasa. Getaran sinar Hyang Maha Kuasa ini dapat digunakan dalam teknik pandangan satu meter, yang dapat dikembangkan menjadi cikal-bakal kemajuan teknologi. Marilah perhatikan contoh berikut: bila pemuda, lalu getaran ini dicerna oleh otak, dari otak menghasilkan daya cipta, demikian juga yang terjadi pada pemudi. Getaran yang masuk melalui mata ini dinamakan getaran kasih sayang yang berasal dari sinar Hyang maha Rokhim berasal dari pemuda-pemudi.

Fakta demikian sudah dipelajari oleh warga dalam ajaran sujud pandangan satu meter. Dalam pandangan satu meter mata menetap santai kesatu titik (kain putih), karena kain putih ditatap oleh mata, maka dari mata akan keluar sinar menuju kain putih, maka dari kain putih juga akan ada getaran sinar yang memasuki mata, sinar dari kain putih ini lalu memasuki otak manusia menghasilkan sesuatu (misalnya: getaran-getaran asap pada kain putih, dll). Dengan demikian ajaran sujud dalam pandangan satu meter, atau getaran kasar dapat digunakan pada penemuan teknologi, inovasi dan kemampuan lainnya.

PENERAPAN AJARAN GETARAN SRI GUTOMO DALAM EKONOMI MIKRO
Warga yang sudah belajar sujud sebenarnya sudah dapat menerapkan dalam berbagai bidang penemuan sederhana, maupun besar.
Marilah kita perhatikan fakta berikut ini: ambilah sedikit tepung terigu, lalu tepung terigu ditatap menggunakan cara pandangan satu meter (seperti dalam sujud). Karena dari mata mengeluarkan getaran cahaya ke tepung terigu maka dari tepung terigu akan memancar getaran cahaya memasuki mata, lalu getaran ini akan memasuki otak, dari otak akan menghasilkan daya cipta, dari daya cipta akan menghasilkan wujud gegambaran misalnya: gegambaran minyak, atau bolo kukus. Dengan demikian warga tadi dapat memulai riset pada gegambaran yang diperolehnya dengan membuat bolo kukus yang baik dan enak, hasil riset membuat bolo kukus dapat dijual kewarga sekitarnya.

Teknik demikian disebut MANEGES (interaksi sinar melalui panca indra), demikian pula didalam memperoleh obat/jamu dari rerumputan, daun, batang pohon dari alam semesta teknik dasarnya sama. Hanya pada jamu lebih komplek karena jamu harus diumumkan pana kelinci atau tikus putih untuk dipelajari pada uji demikian. Maka jamu tadi dicobakan ke ayam, apakah berat ayam meningkat dengan pesat, serta kesehatannya baik dan ayam tahan terhadap penyakit, sehingga ayam demikian dapat dikomersilkan baik telur maupun dagingnya, sehingga perekonomian meningkat. Demikian juga pada bidang pertanian, meka dapat mengambil contoh tanah (satu sendok saja) lalu dibawa pulang taruh di meja, tanah tadi ditatap dengan mata, maka dari mata akan keluar cahaya yang mengenai tanah, lalu dari tanah akan memancarkan cahaya masuk lewat mata, dicerna oleh otak, dari otak menghasilkan daya cipta lalu menghasilkan gegambaran tanaman misalnya pohon tomat, lalu dicek dengan fakta sekitarnya apakah tanah disekitar sesuai dengan bercocok tanam tomat. Bila sesuai maka dilanjutkan, dengan membeli tomat. Tentunya tanah harus digemburkan lalu ditaburi bibitnya dst, pohon tomat jika sudah waktunya diberi pupuk organik atau pupuk kompos dan pupuk buah pada waktunya.

Dengan demikian warga dapat mengembangkan sendiri dalam berbagai kebutuhan dan berbagai bidang lmu, misalnya ilmu kimia, fisika, teknih sipil, arsitek, ekonomi, dll. Demikian juga warga yang tidak sekolah dapat menerapkan getaran kasar Sri Gutomo dalam bidang pertanian dan perternakan. Caranya seperti diuraikan penulis diatas, tinggal latihan dan penerapannya. Setelah memperoleh daya cipta dan menghasilkan gegambaran, selanjutnya dilanjutkan dengan melakukan sebagai berikut:

Riset sederhana adalah melakukan uji coba kecil-kecilan dan memperhatikan produk yang dihasilkan apakah sudah sesuai jika belum sesuai maka diulang lagi. Setelah produk yang dihasilkan sesuai, maka dilakukan perhitungan ekonomi apakah produk ini layak dijual, jika layak berapa harga yang pantas untuk dijual ke konsumen.
  • Menentukan packing dari produk agar menarik.
  • Melakukan survey kemana produk akan dijual.
  • Setelah melakukan survey, maka lakukan penjualan produk dengan percaya diri.
  • Sedapat mungkin gunakan dana seminimal mungkin.
PENERAPAN AJARAN GETARAN SRI GUTOMO DALAM EKONOMI MAKRO
Dalam ekonomi makro maka masalahnya kebih kompleks, karena perkembangan teknologi dan inovasi manusia begitu pesat, misalnya kita berjalan diswalayan atau supermarket maka banyak aneka produk yang ditampilkan yang harganya terjangkau sampai mahal sekali yang semua tadi betujuan untuk memuaskan manusia. Sepintas tidak ada celah bagi warga untuk menjual produknya dalam persaingan demikian pesat. Jika kita jalan-jalan diswalayan maka mata menatap dengan tenang lakukan seperti pandangan satu meter namun posisi berdiri maka ada sinar-sinar masuk tadi langsung keotak dan terekam lalu muncul daya cipta dan gegambaran. Gegambaran yang mampak pada rasa kita itu yang menuntuni kita agar melakukan bisnis seperti yang tertuang dalam gegambaran tadi.

Dalam melakukan ekonomi makro, maka banyak yang dilibatkan misalnya: produk harus izin dari balai POM, departemen pertanian dan perternakan, serta survey lapangan yang perlu diterapkan, serta hal-hal lain yang perlu diperhitungkan. Dalam ekonomi makro perlunya dipelajari perdagangan internasional, yang tentunya dapat dimanfaatkan kemajuan bangsa mancanegara sekaligus memperkaya wacana.

GETARAN SAPTO RENGGO DAN EKONOMI
Semakin banyak penduduk maka semakin berat persaingan dan pengangguran semakin besar berakibat pada kemiskinan, dan daya beli melemah. Teknologi yang ditawarkan manusia pada dasarnya merupakan penjelmaan atau daya tarik dari getaran mata, hidung, telinga, mulut dan otak. Misalnya: getaran pada mata ini dapat merasakan dan melihat beraneka warna, bentuk, model sehingga menusia dapat tertarik dan berniat untuk membeli dan memiliki. Demikian juga hidung, telinga dan mulut pada dasarnyasama merasakan kenikmatan dan produk olahan yang ditawarkan. Getaran otak, hal ini terjadi jika manusia membaca, mendengar tentang berbagai teori sehingga si otak percaya dengan dasar ilmiah. Kesemua getaran ini dapat dimanfaatkan sebagau rangsangan dalam menampilkan teknologi sehingga menghasilkan produk yang disenangi oleh pembeli, dengan semakin banyak pembeli maka semakin meningkat pendapatan dan perekonomian dapat diperbaiki.

Warga telah diajari sujud penggalian oleh tuntunan, tentunya mengetahui tingkat sapta rengga, dalam tingkat ini pendengaran, penciuman, pengecap itu dapat digunakan dalam mencari teknologi baru, teknologi yang digunakan untuk meningkatkan perekonomian keluarga, dll. Prinsipnya sama dengan pandangan satu meter yang telah diuraikan diatan. Karena itu mencari produk apa yang akan dijuan itu tidaklah sulit.

PEMBAHASAN LAINNYA
Ajaran getaran Sri Gutomo telah diajarkan oleh panuntun agung Sri Gutomo kepada warga dan tuntunan, melalui penggalian 12 malam atau 6 hari 6 malam. Sayangnya warga atau remaja memandang getaran sri gutomo terpisah dengan teknologi, ilmu ekonomi, ilmu kimia, ilmu fisika atau ilmu teknik lainnya. Kita hatu dan mengetahui bahwa ajaran getaran kasar Sri Gutomo adalah selaras dengan hukum alam semesta, karena teknologi lahir dari pengamatan pada alam semesta, dari teknologi ini menghasilkan kebersamaan lalu lahirlah ekonomi, yang layak untuk kebutuhan manusia. Karena itu berasal dari getaran. Karena semua manusia 95 % dipenuhi getaran, maka kita murid-murid Sri Gutomo harus belajar memanfaatkan getaran-getaran pada manusia. Getaran pada manusia ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan kita dalam meningkatkan perekonomian.

Semakin banyak penduduk maka getaran menusia semakin hebat, persaingan semakin ketat. Dalam kondisi demikian dapatlah dimanfaatkan oleh remaja untuk tampil dalam mewujudkan teknologi sederhana dan menjualnya kepada yang membutuhkan. Hal ini dapat dimulai dari hal-hal sederhana atau main-main lalu menjadi serius dan profesional. Dalam penggalian kita diajarkan mengeplorasi getaran atau rasa didalam tubuh kita, sehingga kita mengenal getaran didalam tubuh. Didalam kehidupan sehari-hari maka kita dapat mempelajari getaran-getaran di tanah, tanaman untuk pertanian, untuk ppupuk dan mempersiapkan pasir agar bangunan tahan gempa.

Getaran Sri Gutomo telah dijelaskan terdiri dari dua yaitu getarn eksternal dan internal. Getaran eksternal yang berasal dari getaran gaya gravitasi bumi, getaran matahari dan getaran sinar matahari. Getaran ini terdapat pada makanan, hewan, manusia, dan semua yang ada di bumi. Getaran sari makanan mengandung getaran ini yang dapat dikeluarkan, yang nantinya getaran ini kembali ke bumi maupun matahari. Sedangkan getaran internal adalah getaran sinar Hyang Maha Kuasa yang terdapat pada sari makanan. Getaran ini tidak dikeluarkan tapi menggenangi seluruh tubuh manusia. Sifat getaran internal ini berbeda-beda dikepala, dada, perut, dan kaki berbeda-beda. Getaran berasal dari sari makanan inilah yang dapat digunakan untuk penemuan sederhana,  penemuan menengah dan penemuan teknologi tinggi, hal ini tergantung manusiannya sendiri dan kematangan jasmani seseorang.

Dalam perekonomian juga terdapat makna teknologi, oleh karena itu teknologi dan ekonomi sejaan dengan getaran kasar Sri Gutomo. Kelahiran perekonomian warga akan meningkat diukur dari kemampuan warga memperlajari ajaran getaran kasar sri gutomo. Sehingga kemampuan warga di dalam menembus ajaran getaran menjadi tolak ukur kemandirian teknologi sapta darma serta perekonomiannya.

Dalam uraian diatas, telah diuraikan bahwa manusia diliputi getaran gravitasi bumi, matahari, sinar matahari dan sinar Hyang Maha Kuasa. Getaran ini bersatu menjadi satu kesatuan. Jika tidak dikeluarkan dari tubuh, maka manusia dikendalikan getaran ini. Sehingga teknologi yang diciptakan dari otak manusia, bisa berasal dari getaran gravitasi alam semesta. Sudah banyak contoh-contoh tentang teknologi yang diciptakan merusak alam semesta. Sudah banyak contoh-contoh tentang teknologi yang merusak alam dan lingkungan. Sebaiknya bila getaran ini dikeluarkan sehingga yang tinggal getaran sinar Hyang Maha Kuasa. Maka manusia demikian manciptakan teknologi yang bermanfaat untuk alam semesta dan lingkungan.


KESIMPULAN
  1. Ajaran getaran Sri Gutomo adalah WUNGKUL, sehingga jika dijabarkan dapat menghasilkan banyak kreatifitas, teknologi sederhana. Hasil kreatifitas ini dapat meningkatkan perekonomian warga remaja.
  2. Pemberdayaan ekonomi harus dimulai dari manusianya sendiri dalam hal ini warga itu sendiri, seberapa jauh menetrasi (menembus) ajaran getaran Sri Gutomo yang selanjutnya melahirkan keatifitas, penemuan sederhana. Penemuan warga ini dapat digunakan untuk membantu perekonomian keluarga, kelompok, desa, dst.
  3. Teknologi sekarang adalah produk asli dari penjabaran GETARAN, yaitu getaran gravitasi alam semesta, matahari, sinar matahari.
  4. Teknologi dan ekonomi sapta darma boleh muncul menggunakan getaran sinar-sinar Hyang Maha Kuasa, yang tertuang pada ajaran pandangan satu meter, maka menemukan teknologi dan memutar roda perekonomian tidaklah sulit.......
waras....