Senin, 05 Maret 2012

MATERI SUJUD PENGGALIAN


Apabila kita kaji MATERI PENGGALIAN yang ada, maka kita akan memahami bahwa materi penggalian tersebut bisa kita pilahkan menjadi 2 hal yaitu, Materi Laku Penghayatan dan Materi Ilmu Kerokhanian. Untuk lebih jelasnya marilah kita kaji lebih jauh tentang materi penggalian, sbb :
1. Pandangan Satu Meter, Getaran Kasar, ASMA TIGA, Getaran Halus, Ucapan Sujud, Kesalahan, Mertobat, Sapta Rengga I. Pembersihan Getaran Air Suci, Sapta Rengga II. Pancaran Cahya Hyang Maha Suci, Tigas Jangga (Jawa: Pisahing Gembung Lan Sirah atau Pisahnya Kepala dan Badan), Terjadinya Sabda, Tutup Lubang Sembilan (Jawa: Nutupi Babahan Hawa Sanga atau Menutup Lobang Sembilan), Pudhak Sinumpet (Sepuluh Tinutup), Nguwali Babahan Hawa Sanga, Kukut Saudara Sebelas, Napas Tiga, Racut.
Pada materi ini warga diajarkan bagaimana mencapai kesempurnaan laku pendekatan diri kepada Tuhan. Dalam rangkaian materi tataran diatas apabila tercapai dalam penghayatannya, warga akan menerima proses pensucian dan pembangunan diri seutuhnya. Pada puncak atau akhir dari proses tersebut ditandai dengan pencapaian tataran yang disebut dengan Racut sebagai pertanda kesempurnaan Manembah Manusia kepada Tuhan.

Dimana dari masing-masing tataran merupakan satu rangkaian proses yang telah tertata sedemikian rupa, sehingga apabila dilakukan dan dihayati dengan baik akan berlangsung suatu proses pembangunan pribadi menuju budi luhur. Secara filosofis rangkaian proses tersebut bisa diungkapkan antara lain sebagai berikut :

Pandangan Satu Meter, Getaran Kasar, ASMA TIGA
Tataran ini merupakan bagian prolog ritual sujud dimana dengan meng-hayati tataran ini warga akan terbawa oleh proses sujud memasuki Alam Rokhani, yaitu posisi terdekat dengan Tuhan yang mampu dicapai oleh para warga. Dimana pada posisi ini manusia secara jiwa dan raga telah siap untuk Sujud, mohon ampun atas kesalahan, serta Mertobat.

Getaran Halus
Setelah pada tataran sebelumnya JIWA dan RAGA tunduk serta patuh untuk bersama-sama manembah maring Allah, maka proses Getaran Halus merupakan perwujudan Tumungkule (manembahae) Jiwa dan Raga yang ditandai oleh naiknya Toya Sari. Yang pada akhirnya akan menuju Triwikrama yaitu Getaran Halus, Hyang Maha Suci dan Hyang Maha Kuasa.

Ucapan Sujud, Kesalahan, Mertobat
Karena disadari bahwa yang menghambat, menghalangi, atau mengganggu hubungan manusia dengan Tuhan adalah akibat KESALAHAN MANUSIA. Maka Sapta Darma secara pokok mengajarkan pada setiap warganya untuk memohon ampun atas kesalahannya pada setiap kali sujudnya. Ini menggambarkan bahwa satu-satunya permohonan manusia yang senantiasa dibawa dalam sujud adalah permohanan ampun atas kesalahannya, serta berjanji untuk tidak mengulanginya kembali (Mertobat).

Untuk itu setelah seluruh jiwa dan raga mau dan bisa tunduk pada Hyang Maha Suci, maka atas nama seluruh jiwa dan raga Hyang Moho Suci ; SUJUD, MOHON AMPUN DAN MERTOBAT kepada Hyang Maha Kuasa.

Pembersihan Sapta Rengga dengan Getaran Air Suci,
Pembersihan Sapta Rengga dengan Pancaran Cahaya Hyang Maha Suci
Sapta Rengga adalah merupakan alat atau sarana manusia untuk berhubungan dengan alam duniawi. Karena aktifitas sapta rengga inilah manusia sering terdorong atau terjerumus pada perilaku yang salah dan bertentangan dengan kehendak ajaran.
Maka Ajaran Sujud dengan segala kelebihannya mengajarkan proses pembersihan sapta rengga, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kesucian pribadi manusia agar bisa lebih dekat lagi dengan Allah Hyang Maha Kuasa.

Tigas Jangga (Pisahing Gembung Lan Sirah), Terjadinya Sabda
Dalam rangka penyempurnaan manembah serta ketulusan dalam berdarma maka para warga menerima materi tataran Tigas Jangga, yaitu proses yang memisahkan rasa dan cahya. Melalui ajaran ini para warga akan mampu meninggalkan berbagai keterikatan duniawi, yang pada hakekatnya mengganggu ketulusan dan kemurnian hubungan manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa. Jika kondisi ini bisa dicapai para warga maka hubungan manusia dengan Tuhan akan lebih sempurna dan setiap kata-katanya akan menjadi Sabda.

Tutup Lubang Sembilan (Babahan Hawa Sanga),
Pudhak Sinumpet (Sepuluh Tinutup), Nguwali Babahan Hawa Sanga, Kukut Saudara Sebelas
Proses ini akan sangat bermanfaat untuk menjaga kesempurnaan serta menjaga kelestarian kontak (hubungan) manusia (Hyang Maha Suci) dengan Tuhan. Dimana pribadi akan terlindungi dari segala gangguan baik dari dalam maupun dari luar pribadi, dimana saudara (nafsu) manggeleng menjadi satu.

Napas Tiga, Racut
Setelah berbagai proses dilalui dan rasa dalam pribadi telah mencapai keadaan manggeleng, maka dalam penyempurnaan proses menghadap kepada Tuhan, Sapta Darma mengajarkan pernafasan bagi tiga (Napas Tiga). Dalam proses ini terjadi pengeluaran Hawa (getaran nafsu) yang tersisa dalam pribadi seakan seperti pembuangan Napas melalui tiga saluran pembuangan. Dengan demikian pribadi akan semakin kosong dari pengaruh Nafsu (saudara), sehingga pada saat seperti ini terjadilah apa yang dikatakan proses Racut, yaitu sowannya Hyang Maha Suci pada Hyang Maha Kuasa.

Melihat dari segala uraian diatas maka hakekat dari sujud adalah kewajiban setiap manusia yang hidup di dunia ini untuk mendekatkan diri pada Allah dengan tujuan menghadap (kembali/sowan) kepada Allah. 

Adapun makna sujud yang dilakukan warga setiap harinya adalah merupakan satu sarana (upaya) pembersihan (pensucian) diri untuk mencapai kesempurnaan manembah manusia kepada Allah Hyang Maha Kuasa.

Pada umumnya didalam penghayatan sujud para warga Sapta Darma mengalami proses yang berbeda-beda. Hal ini sangat mungkin terjadi dan menjadi suatu hal yang wajar, namun yang penting dan harus menjadi perhatian adalah :
1. Proses sujud menuju leremnya saudara (nafsu) yang ditandai dengan sireping pamikir, longgaring manah saha weninging raos harus menjadi pedoman.
2. Proses sujud didasari pengertian rasa dekat dengan Tuhan (linambaran rasa rumangsa ngadhep Gusti Allah).
3. Pada akhir atau selesai sujud merasakan padhang, plong, entheng atau beban hidup terasa lebih ringan (merasakan hati dan pikiran terang serta bahagia).
4. Radar Belah Ketupat, Alat Kontrol.

Didalam atau selama penghayatan sujud berjalan, para warga akan memahami adanya getaran rasa yang ada dalam pribadi para warga. Diantara getaran rasa tersebut ada yang disebut dengan radar dan alat kontrol, dimana keduanya merupakan proses getaran rasa yang terfahami (terasa) secara khusus, baik posisi, arah dan rasa dari getaran tersebut. Dimana keadaan itu dalam ajaran Sapta Darma memiliki makna atau arti khusus dalam kaitannya dengan sesuatu kejadian pada pribadi manusia.
Sehingga dengan materi Tataran Radar dan Alat Kontrol para penghayat ajaran Sapta Darma akan memahami apa yang sedang dan akan terjadi pada dirinya. Hal ini sangat penting sebagai bekal kehati-hatian dalam hidup para warga serta sebagai bekal kesadaran dalam menghadapi kejadian yang akan datang.

Wejangan 12 Saudara :
Wejangan 1 : Telu-telune Atunggal, Lima-limane Atunggal, Pitu-pitune Atunggal, Sanga-sangane Atunggal, dan Rolas-rolase Atunggal diwejang Hyang widhi.
Wejangan 2 : Wejangan wasiat 33 dari Hyang widhi.
Wejangan 3 : Wejangan Pesta dari Hyang widhi.
Wejangan 4 : Wejangan Numpak Jaran sembrani dari Hyang widhi.
Wejangan 5 : Wejangan Perbintangan dari Hyang widhi.

Saudara 12 adalah sarana (prabot) manusia hidup di dunia, dimana didalam kehidupan sehari-hari kondisi saudara inilah yang nampak (mewarnai) kehidupan manusia. Baik-buruknya saudara akan menjadi dasar penampilan atau perwujudan watak dan perilaku manusia. Sehingga dalam kenyataan hidup sehari-hari apa yang kita lihat pada diri kita adalah gambaran sifat dan perilaku saudara 12 yang ada dalam pribadi kita.

Dengan penghayatan sujud Sapta Darma, saudara 12 manusia memperoleh wejangan langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa melalui Hyang Widi. Dengan penghayatan proses rasa pada tataran wejangan saudara 12 ini, maka terjadi penyempurnaan (pangruatan) saudara menuju kebaikan (kesucian). Disamping itu para warga juga akan memperoleh pengertian tentang manusia beserta kehidupannya.

Dalam tataran ini, para warga juga akan memperoleh berbagai pengertian tentang kelebihan (keistimewaan) manusia dibandingkan makhluk lainnya, serta hal-hal penting yang berhubungan dengan jasmani manusia.

5. Wejangan 6 : Andulu Mulai Tesing Dumadi (Wujud Bayi).
    Wejangan 7 : Andulu Tali Rasa.
    Wejangan 8 : Sedulur Rolas Jejer Padha.
    Wejangan 9 : Andulu Orang Mati (Dari 1 s/d 1.000 Hari).
    Wejangan 10 : Andulu Orang Mati (Proses Kerusakan Jasmani).
    Wejangan 11 : Andulu Orang Mati (Wiwit Mati s/d Alam Langgeng). 

Melalui tataran ini para warga akan memahami tentang perjalanan proses kehidupan manusia dari awal hingga akhirnya kelak (eling marang purwa, madya, wusananing urip) . Dengan demikian para warga akan semakin mudah menyadari dan berhati-hati dalam kehidupan di dunia ini, apa yang harus dilakukan, kemana tujuannya, dan bagaimana mewujudkannya. Yang akhirnya manusia akan menyadari akan arti kehidupan dan selalu berupaya membawakan dirinya menuju pada perbuatan dan perilaku yang selaras dengan kodratnya.

6. Wejangan 12 : Wejangan Jejer Satria Utama
Melalui tataran ini para warga akan memahami bagaimana perwujudan manusia yang benar-benar menjadi Satria Utama (Jejer Satria Utama). Sehingga diharapkan dalam kehidupan bebrayan agung para warga mampu mengendalikan diri dan membawakan diri selaras dengan harapan ajaran untuk memiliki jiwa dan kepribadian Satria Utama. Lebih dari itu Ajaran tidak saja mengharap para warga untuk menjadi satria-satria utama, tetapi juga memberikan pengertian bagaimana perwujudan Satria Utama, serta bagaimana cara mewujudkannya.

TINJAUAN FILOSOFIS WEJANGAN SAUDARA 12
Secara Filosofis Ajaran Wejangan 12 memberikan pelajaran bagi para warga mulai dari saudara 12 (mikrokosmos) sampai pada perbintangan (makrokosmos) serta kehidupan sesudah mati (alam langgeng). Maka angka 12 memberikan makna filosofis tersendiri bagi para warga, apa lagi kalau kita kaji lebih jauh lagi tentang adanya waktu 12 jam untuk siang dan malam hari, tentang jumlah hari (7) dalam seminggu serta jumlah pasaran (5) dalam sepasar apabila dijumlahkan juga ada 12, tentang jumlah bulan dalam satu tahun ada 12 bulan, tentang Naptu dalam budaya leluhur jawa dimana Naptu hari-hari dalam satu minggu (7 hari) ada 42 dan Naptu pasaran dalam sepasar (5 hari) ada 33 apabila dijumlah sama dengan 75, dimana angka 7 dan 5 apa bila dujumlah juga sama dengan 12. Maka angka (jumlah) 12 merupakan angka yang memiliki arti tersendiri.

Hal ini menggambarkan filosofis keeratan hubungan antara saudara 12 serta wejangan 12 dalam ajaran Sapta Darma dengan berbagai hal dalam kehidupan bebrayan agung, utamanya dengan mangsa kala atau masa atau waktu.

Apabila kita menengok kembali tentang budaya leluhur hubungannya dengan mangsa kala, para leluhur menyampaikan adanya hubungan yang sangat erat antara hari, tanggal, bulan dan tahuni dengan peri kehidupan manusia. Hal ini dibuktikan dalam berbagai upacara adat misalnya, mendirikan rumah, pernikahan, dan lain-lain. Pada umumnya sebagian bangsa kita (khususnya jawa) saat ini masih menggunakan bermacam-macam perhitungan untuk menentukan dan memilih hari. Dimana ajaran Sapta Darma mendidik para warga untuk tidak meyakini dan menggunakannya.

Hal ini bukan tanpa alasan, utamanya apabila para warga dari waktu ke waktu terus terpancang pada perhitungan hari, naptu, tanggal, dll untuk beraktifitas dan berdarma dalam kehidupannya. Maka semua itu akan mengganggu atau menghambat kemajuan peradapan manusia, yang pada akhirnya akan merusak keyakinannya kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Sehingga hal itu apabila tidak disadari akan merusak kemurnian ajaran dan kemurnian keyakinan kepada Allah.

Melalui penghayatan ajaran, para warga diajarkan tentang asal atau sebab-sebab adanya penderitaan, serta diajarkan tentang hukum atau sifat owah gingsir anyakra manggilingan dari keadaan dunia. Dimana suka dan duka, baik dan buruk, luhur dan asor, dll semua itu bersumber dari keberadaan dan sifat dari saudara (nafsu) manusia. 

Maka melalui ajaran, para warga diberi berbagai pengertian dan penghayatan ajaran dalam rangka penyempurnaan (pengruwatan) saudara untuk mencapai hidup bahagia di dunia sampai nanti di alam langgeng. Dengan demikian keyakinan bahwa jam, hari, bulan dan tahun ada yang tidak baik dan menjadi awal sumber penderitaan bagi manusia secara otomatis sudah tidak berlaku lagi bagi warga Sapta Darma. 

Akhirnya disini bisa kita fahami bahwa, menurut penelitian para leluhur mangsa kala atau wektu beserta aktifitasnya (kondisi dan kejadian alam) erat hubungannya dengan hidup manusia. Dengan kata lain perubahan kondisi global alam semesta akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Sehingga para leluhur mencoba mencari cara menghindar dari pengaruh buruk dengan memilih waktu yang baik untuk memulai berbagai hal dalam hidupnya.

Dalam hal ini para warga bukannya tidak percaya bahwa hal ini mungkin dan bisa dibuktikan kebenarannya (kasunyatannya). Namun apabila hal ini terus menerus diikuti dan keadaan alam semesta ini dari waktu kewaktu semakin rusak dan hancur, maka manusia juga akan bersama-sama hancur didalamnya. 

Tetapi Sapta Darma mengajarkan lain, Sapta Darma mengajarkan Sujud Asal Mula Manusia (Tes dumadining Manungsa) yang akan mengembalikan manusia seperti asalnya atau kodratnya, yaitu kodrat bahwa manusia berasal dari dzat Suci dan Luhur. Dengan demikian bukan kerusakan alam semesta yang akan mempengaruhi hidup manusia, tetapi keluhuran dan kesucian manusia yang akan mempengaruhi dan memperbaiki Alam Semesta.
Sehingga pada akhirnya nanti alam semesta akan kembali menjadi tempat yang nyaman dan bahagia bagi manusia. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena dengan memperbaiki Jagat Pribadi (Mikrokosmos) berati juga akan memperbaiki Jagat Gumelar (Makrokosmos). Janganlah keadaan Alam Semesta ini yang merubah dan menentukan hidup kita, tetapi hendaknya kaluhuran manusia yang harus mempengaruhi dan menata kembali alam semesta, karena sejatine manungsa mono utusaning Gusti ing alam ndonya, kautus hamemayu hayuning bagia bawana.

TINJAUAN FILOSOFIS WEJANGAN WASIAT 33
Wasiat 33 (tiga puluh tiga) dan saudara 12 adalah merupakan suatu prabot atau perangkat atau perlengkapan manusia untuk hidup di dunia. Tidak ubahnya seperti kelengkapan lain yang nampak secara jasmani seperti panca indra, otak, kaki, tangan, dll. Semua itu merupakan perlengkapan hidup manusia di dunia, agar manusia bisa menjalankan tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. 

Namun perlu disadari bahwa wasiat 33, saudara 12 serta indra batin lainnya merupakan bagian kelengkapan rohani, sedangkan panca indra, otak, jantung, kaki dan tangan merupakan kelengkapan jasmani. Untuk kelengkapan-kelengkapan jasmani manusia lebih mudah memahami akan keberadaan dan fungsinya, namun untuk memahami keberadaan dan fungsi kelengkapan rokhani manusia harus mempelajari melalui jalan rohani.
Dengan kelengkapan yang serba sempurna inilah manusia memperoleh sebutan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Tetapi juga harus disadari, apabila manusia jadi penjahat juga bisa menjadi penjahat yang paling kejam, apabila manusia berperilaku asor juga bisa jadi titah yang paling asor, sebaliknya apabila manusia menjadi titah yang luhur kaluhurannya juga yang paling sempurna yang mampu memayu hayu bagia bawana. Manusia tinggal memilih (pinaringan purba wasesa) dalam meletakkan dirinya. 

Apabila kita kaji lebih dalam lagi tentang kelengkapan manusia tersebut diatas, semuanya akan bekerja otomatis dan sistematis sesuai dengan fungsinya masing-masing. Sebagai contoh yang gampang ; gerakan tangan dan kaki, dalam keadaan wajar manusia tidak perlu berpikir untuk mengangkat tangan apabila menggaruk-nggaruk bagian yang gatal, begitu juga kaki, otomatis akan melangkah saat kita mau ambil barang yang agak jauh. Dan lagi apabila kita mengamati kerja paru-paru, jantung atau organ tubuh yang lain semuanya serba otomatis. 

Kecuali dalam keadaan khusus misalnya, sedang sakit, berhati-hati untuk tujuan tertentu, dll baru manusia perlu berpikir dan mengatur fungsi organ tersebut. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga dan mengupayakan agar semua kembali menjadi normal atau lebih baik. 

Kembali pada pemahaman perlengkapan rokhani manusia, hakekatnya baik itu saudara maupun wasiat semuanya berfungsi otomatis, seperti halnya perangkat jasmani apabila kondisinya dalam keadaan sehat (waras). Kewarasan inilah yang menjadi prasyarat fungsi perlengkapan jasmani dan rokhani akan sempurna. 

Dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya jasmani makan tiga kali setiap hari, jika kurang sehat atau lelah diberikan vitamin, sakit diobati, dan hasilnya seperti yang kita rasakan sekarang ini. Sekarang bagaimana dengan rohani kita, sudahkah kita perlakukan sama dengan jasmani kita. Dan apakah kita sadar dan memahami bagaimana keadaan rohani kita masing-masing. Sehingga antara jasmani dan rokhani memperoleh perhatian yang sama, serasi, selaras dan seimbang, dan pada akhirnya pembangunan manusia seutuhnya akan terwujud.

Sapta Darma dengan berbagai ajarannya mengajarkan pada manusia bagaimana memahami dan mengerti kenyataan keadaan rohani manusia, serta mengajarkan bagaimana memperbaiki dan meningkatkan kuwalitas rohani manusia menjadi lebih baik.
Terkadang para warga masih sulit memahami bagaimana seharusnya menyikapi dalam mengimplementasikan (mewujudkan) petunjuk-petunjuk ajaran. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan prinsip hukum yang berlaku dalam kehidupan rohani dan jasmani. 

Sebagai contoh :
  • Dalam hal kaya darma, secara jasmani apabila harta kita hilang maka kita dikatakan rugi, namun secara rokhani apabila kita berdarma sebagian harta kita diyakini harta kita justru akan bertambah nilainya.
  • Dalam hal usaha, secara jasmani apabila kita punya keinginan, maka kita harus kerja keras membanting tulang, namun secara rokhani apabila kita punya hajat disarankan harus ditingkatkan kuwalitas sujudnya dengan cara harus semakin pasif atau pasrah sumeleh.
  • Dalam hal perbedaan karya (milik) Tuhan dan karya (milik) manusia, karya manusia misalnya saja mobil, semakin dibebani atau sering digunakan dia akan semakin cepat aus atau rusak, lain dengan karya Tuhan apakah itu hewan maupun manusia, agar dia bisa semakin kuat justru harus dilatih dengan kerja lebih keras atau beban yang semakin berat.
  • Dalam hal perangkat jasmani dan perangkat rokhani manusia, kalau kita ingin mengangkat beban yang berat, maka kita harus konsentrasi, menata posisi tubuh, mengalirkan kekuatan ke tangan, dll. Tetapi kalau kita sedang menghadapi (mengangkat) beban rokhani yang berat justru kita harus semakin pasrah (sumeleh), posisi tubuh harus longgar, tidak boleh tegang, dll.
Dari beberapa uraian diatas, maka dalam hal menyikapi perangkat rokhani manusia khususnya tentang wasiat 33 yang benar, para warga tidak perlu dengan sengaja menggunakan/menggerakannya. Karena hukumnya wasiat 33 akan bekerja otomatis dan semakin sempurna apabila rohani manusia dalam keadaan sempurna. Sekali lagi perlu diingat bahwa hukum perangkat jasmani dan rohani tidak sama atau berbeda. Wasiat 33 semakin sering digunakan akan semakin tidak otomatis itu pertanda rokhani akan semakin tidak sehat. Hal itu akan bisa diamati dan diteliti dari perilaku (tabiat) yang akan semakin jauh dari budi luhur, dimana sifat akuisme akan semakin berkembang menjadi rumangsa bisa dan sulit untuk bisa rumangsa, karena itu adalah sifat saudara atau Nafsu.

MANFAAT SUJUD
Yang dimaksud dengan MANFAAT SUJUD adalah berbagai hal yang positif yang bisa dirasakan oleh warga apabila melakukan sujud dengan rutin dan emat. Tetapi apa yang disampaikan disini bukan TUJUAN manusia melaksanakan SUJUD.
Hal ini diharapkan menjadi dasar pemahaman bagi kita para warga dalam melakukan/menghayati SUJUD, karena apabila NIAT ini kurang tepat maka PROSES yang terjadi maupun hasil yang didapatkan juga akan tidak selaras dengan apa yang diharapkan oleh ajaran. Jadi disini benar-benar harus difahami perbedaan antara kata MANFAAT DAN TUJUAN SUJUD. 
Adapun manfaat sujud akan diuraikan sebagai berikut :
Nindakaken sujud ingkang kanthi emat miturut pitedah ing Bab V, ageng sanget pigunanipun. Sedinten sedalu sekedhikipun sapisan, langkung saking sepisan langkung sae, nanging ingkang dipun pentingaken ematipun, mboten kenging kasesa utawi ambujeng enggalipun rampung. Pramila manawi nindakaken sujud miliha wanci ingkang ayem lan tentrem, ing sengganging padamelan.
Sujud yang dilakukan dengan penuh kesungguhan seperti petunjuk Bab V mempunyai arti dan berguna yang besar sekali. Dalam 24 jam (sehari semalam). Sedikit-dikitnya dilakukan satu kali dengan pengertian baukan banyaknya melakukan sujud, tetapi adalah kesungguhannya. Jadi tak boleh tergesa-gesa, memburu lekas selesai, berhubungan dengan itu, bila sujud harap dipilih waktu yang sesuai, yaitu yang tenang tentram dalam waktu senggang dari pekerjaan.
Emat = nikmat, wis cetha banget pangincenge.
Di-Emat-ake = dirasake banget. (Bausastra Jawa)

Dalam melaksanakan sujud seperti yang diuraikan dalam BAB V, minimal dilakukan sekali dalam sehari-semalam dan apabila bisa lebih akan lebih baik. Namun yang penting bukanlah banyak atau seringnya SUJUD. Namun dikatakan adalah EMAT-nya SUJUD, tidak boleh tergesa-gesa mengejar segera selesainya SUJUD. Maka apabila melaksanakan SUJUD hendaknya memilih waktu yang longgar, disela-sela aktifitas hidup sehari-hari.

Dalam rangka mewujudkan apa yang disampaikan Wewarah diatas marilah kita renungkan sejenak bagaimana implementasinya (lakunya) dalam keseharian kita :
1. Emat-nya SUJUD :
Ditinjau dari makna kata diatas maka EMAT mengandung arti nikmat, ini berarti EMAT-nya sujud dapat dikenali melalui rasa nikmat yang dirasakan oleh para warga selama melaksanakan (menghayati) SUJUD.
EMAT juga bermakna jelas sekali apa yang diteliti, ini menjelaskan bahwa dalam suasana EMAT pemahaman terhadap apa yang diteliti akan nampak atau dimengerti atau difahami dengan jelas. Adapun lakunya diungkapkan dengan di-EMAT-ake (diematkan) = dirasakan dengan seksama. Namun disini sikap dan prakteknya harus didasari dengan pemahaman makna dan arti PASRAH DAN SUMELEH baik JIWA maupun RAGA.

2. Tidak boleh tergesa-gesa :
Tergesa-gesa adalah ungkapan rasa dorongan dari dalam diri seseorang untuk segera menyelesaikan aktivitasnya. Dalam hal melaksanakan sujud hal ini tidak boleh dilakukan, segalanya sebisa mungkin dilaksanakan/dihayati secara alamiah tanpa ada dorongan emosional sedikitpun.

3. Memilih Waktu yang longgar :
Makna waktu yang longgar memiliki makna yang umum dimana perlu ada perenungan dalam perwujudannya. Karena apabila longgar ini diartikan secara lahiriah saja, maka akan senantiasa menimbulkan makna yang delematis, mengingat pada umumnya kegiatan jasmaniah ini jika tidak diatur dengan baik akan menuntut waktu yang tiada habisnya. Maka disini makna longgar bisa diartikan waktu yang memang sudah disiapkan (terjadwal) dan waktu-waktu yang mungkin bisa diambil atau digunakan melaksanakan sujud sebagai sekala waktu prioritas.

4. Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa menjalankan sujud hendaknya memilih waktu yang longgar, lebih dari sekali lebih baik dengan syarat tidak tergesa-gesa dan bukan karena dorongan NAFSU SUJUD, sehingga SUJUD bisa terlaksana dengan WAJAR, MURNI dan EMAT.

Sujud miturut Wewarah punika bilih katelili sayektos, nuntun lampahing toya sari ingkang sampun kasaring mawantu-wantu, saha nuntun lampahing Sinar Cahya ingkang dumunung wonten ing salebeting badan, kawradinaken nglangkungi pori-pori (bolongan ingkang lembat sanget), tuwin sel-sel (peranganing daging/ urat-urat ing sak indenging badaning manungsa).

Sebenarnya sujud menurut wewarah tersebut bila di dalami serta diteliti sungguh-sungguh adalah membimbing/menuntun jalannya air sari. Air sari yang telah tersaring sungguh-sungguh, serta menuntun Sinar Cahaya yang ada/meliputi seluruh tubuh, diratakan sampai ke sel-sel sedalam-dalamnya. 

SUJUD menurut Wewarah ini apabila diteliti betul-betul, akan :
1. Menuntun jalannya Air Prawita Sari yang sudah tersaring berkali-kali.
2. Menuntun jalannya Sinar Cahya yang berada didalam seluruh Badan yang dilewatkan melalui pori-pori (lubang yang sangat halus sekali), dan juga sel-sel (bagian daging/urat-urat diseluruh badan manusia).

Dari uraian diatas mengajarkan bahwa PROSES SUJUD secara Sapta Darma akan menuntun (menggerakan) GETARAN TOYA SARI dan SINAR CAHYA sesuai dengan proses sujud yang selaras dengan AJARAN.
Perlu dipun mangertosi punapata geteran saha toya sari punika lan asalipun, dunungipun ing pundi ? Geteran inggih Sinar Cahya Allah, inggih hawa ingkang kasanepakaken ijem maya-maya ing ngajeng ingkang dumunung ing lebet saranduning pribadining manungsa. Dene toya sari inggih toya pethak, utawi toya suci asalipun saking sari-sari bumi, ingkang asalipun saking tetuwuhan, dados dhedhaharan kadhahar dening manungsa, sari-sarining dhedhaharan kala wau mujudaken toya pethak (sari) ingkang dumunung ing cethik (silit kodhok). 

Yang perlu dimengerti adalah : apakah sebenarnya getaran-getaran serta air sari itu, dari mana asalnya dan dimana tempatnya? Getaran atau Sinar Cahaya Allah adalah cahaya yang digambarkan berwarna hijau muda (=maya) yang ada di dalam seluruh pribadi manusia. Sari-sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (Jawa=Cetik /silit kodok /brutu).

Hawa = Gas kang nglimputi alam, kereping ati marang …(Bausastra Jawa)
Disini perlu difahami apakah yang dimaksud dengan Getaran dan Air Suci ini dan asalnya dari mana ? Getaran adalah Sinar Cahya Allah yaitu HAWA yang disimbolkan (digambarkan) dengan warna Hijau Maya pada Simbol Pribadi Manusia yang berada merata dalam seluruh tubuh manusia. Dari pengertian makna HAWA di-atas maka getaran yang dimaksud disini adalah getaran yang mencerminkan kehendak hati (Niat Sujud) yang berasal dari SINAR CAHYA ALLAH yang menuntun proses SUJUD sesuai ajaran SAPTA DARMA.
Adapun AIR SUCI berasal dari SARI-SARI-ning BUMI yang asalnya dari tanaman dan hewan yang dimakan oleh manusia, sari-sarinya makanan tersebut menghasilkan AIR SUCI yang berada pada CETHIK (silit kodok) pada diri manusia.

Dengan demikian hal ini cocok dengan kodrat manusia (Tes Dumadining Manungsa), dimana manusia berasal dari Sinar Cahya Allah dan Sari-Sari Bumi. Dan dalam SUJUD SAPTA DARMA, kedua unsur itulah yang berproses SUJUD kepada ALLAH HYANG MAHA KUASA, dimana SUJUDNYA disebut SUJUD ASAL MULA MANUSIA.

Manunggaling geteran Sinar Cahya kaliyan geteran toya sari ingkang mlampah alus sanget ing saranduning badan sakujur, maha-nani daya kekiyatan ingkang mawarni-warni. Dene kedadosan kala wau saged kawastanan atom ingkang berjiwa dumunung wonten ing pribadi manungsa. Kekiyatan wau ageng sanget paedahipun, amargi saged brastha bibit-bibit sesakit, ngleremaken napsu angkara, nglan-tipaken akal lan pikiran, saged nampi kawaskithan mawarni-warni, (waskitha pandulu, pamiyarsa, pangganda, waskitha ing pangandika saha waskitha ing rasa).

Bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh, menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali. Daya kekuatan ini disebut: Atom Berjiwa yang ada pada pribadi manusia. Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan guna yang besar sekali seperti antaranya :
- Dapat memberantas kuman-kuman penyakut dalam tubuh
- Dapat menenteramkan/menindas nafsu angkara
- Dapat mencerdaskan pikiran
- Dapat memiliki kewaskitaan, seperti kewaskitaan akan penglihatan, pendengaran, penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa.

Bersatunya GETARAN Sinar Cahya Allah dengan Air Suci yang berjalan halus sekali dalam proses SUJUD pada seluruh tubuh, membuahkan (menghasilkan) daya kekuatan yang beraneka ragam. Dan bersatunya Getaran Sinar Cahya Allah dengan Getaran Sari-sari Bumi (Air Suci) akan menghasilkan apa yang disebut dengan ATOM BERJIWA.
Atom Berjiwa ini besar sekali manfaatnya bagi diri pribadi manusia, karena bisa menyirnakan segala Bibit Penyakit, Menentramkan Nafsu Angkara Murka, Mencerdaskan Akal Pikir, Dan Bisa Menerima Berbagai Kelebihan.

Manggelengipun ing embun-embunan maujudaken Nur, minggahipun manunggal ngadhep Hyang Maha Kuwasa saged nampi sasmita warni-warni kadosta: sanepan gegambaran-gegambaran, seratan-seratan (Sastra Jendra Hayuningrat = Tulis tanpa papan). Sarananipun mboten sanes namung pangolahing rokhani ing wekdal Sujud saha panggulawenthahing budi pakarti tumuju dhumateng keluhuran. Panggulawenthahing pribadi punika tumrap para ingkang sampun saged, prasasat nyithak Atum ingkang berjiwa ing pribadinipun. 

Bila telah memusat di ubun-ubun akan mewujudkan Nur Putih. Akhirnya naik menghadap Hyang Maha Kuasa untuk menerima perintah-perintah/petunjuk yang berupa isyarat/kias seperti berupa gegambaran, tulisan-tulisan (tulis tanpa papan = sastra jendra hayuningrat).Sekali lagi dikatakan, bahwa syarat untuk memiliki kemampuan itu semua, tiada lain adalah pengolahan/ penyempurnaan budi pekerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan sehari-hari.Pengolahan/penyempurnaan pribadi itu, bagi pemeluk yang sudah dapat/mampu, adalah berarti selalu mencetak atom berjiwa pada pribadinya. Atom tersebut digunakan untuk perikemanusiaan ialah menolong orang yang sakit.
Bersatunya Sinar Cahya Allah dan Air Suci secara utuh (Manggeleng) di ubun-ubun manusia akan mewujudkan sebuah NUR (sinar cahya) yang bisa menghadhap Allah Hyang Maha Kuasa. Dalam kondisi yang demikian manusia bisa menerima bermacam-macam pengertian, baik berupa gambar, atau tulisan (Sastra Jendra Hayuningrat = Tulis Tanpa Papan). Latihan SUJUD yang demikian bagi mereka yang sudah berpengalaman, merupakan sebuah latihan yang sangat berguna untuk mencetak ATOM BERJIWA dalam PRIBADINYA.

Kesempurnaan sujud manusia/warga kepada Hyang Maha Kuasa, sebagaimana pokok-pokok pengertian yang telah dijelaskan diatas, jika dilaksanakan secara rutin dengan didasari K.5 (Kemauan, Kemampuan, Kayadarma, Kejujuran, dan Keikhlasan) akan menghasilkan terbentuknya manusia-manusia yang berkepribadian asli, dengan kata lain memiliki sikap watak satriya Utama yang hambeg budi luhur yang berkemampuan hamemayu mayu bagya bawana. Karena nafsu, budi, dan pakartinya telah tertuntun oleh hidupnya dalam menuju kesejahteraan dan kebahagiaan bersama secara adil dan beradap, yang selaras dengan pepancen/kodrat manusia sebagai titah yang luhur dan mulya atas kehendak Hyang Maha Kuasa.

KESIMPULAN
Sujud adalah wujud Darma baktinya hidup (Hyang Maha Suci) manusia kepada yang memberi hidup (Hyang Maha Kuasa)

Sujud menurut Ajaran Sapta Darma, bagi para warga diwajibkan melak-sanakan sujud minimal satu kali (1X) dalam waktu 24 Jam (sehari semalam).

Hidup (Hyang Maha Suci) manusia dalam melaksanakan sujud kepada Hyang Maha Kuasa menggunakan Rasa (Getaran Hidup), yaitu :
1. Getaran Kasar untuk mengucap / meluhurkan Asma Tiga (tiga sifat Allah).
2. Getaran Halus / Getaran Air Suci untuk melaksanakan sujud, dan mengucapkan, ucapan-ucapan dalam sujud.
3. Karena itu Sujud Sapta Darma disebut Sujud Asal Mula Manusia.

Sujud menurut Sapta Darma ada dua macam, yaitu :
1. Sujud wajib yang wajib dilaksanakan oleh tiap warga Sapta Darma sehari-hari secara rutin, baik dirumah maupun di Sanggar-Sanggar Candi Busana bersama-sama.
2. Sujud penggalian (sujud penelitian), yang dilaksanakan oleh para tuntunan dan Warga yang ingin mendalami ajaran Sapta Darma secara utuh (lengkap).

Sujud yang baik, benar dan sempurna apabila penghayatannya dapat melalui proses :
1. Sikap jasmani bisa sesuai petunjuk wahyu, sopan santun dan susila.

2. Pandangan pada titik ± 1 meter, yang emat dan tajam sehingga mendapatkan cahaya ketenangan, baik jasmani maupun rokhani.

3. Terciptanya hubungan rasa dan cahaya (suasana tinarbuka) yang menjaga setabilitas ketenangan.

4. Timbulnya getaran kasar dari Bundelan tali rasa THA naik keatas bertemu dengan getaran cahya di ubun-ubun, kemudian getaran rasa turun kebawah bagian muka menutup mata dan kebawah pada bundhelan tali rasa HA, kepangkal lidah menyebabkan keluarnya air liur yang harus ditelan terus mengucap Asma Tiga ; Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil.
Dengan meluhurkan Asma Tiga tersebut ketenangan / kondisi hening akan meningkat menjadi lebih tenang, yang dapat dirasakan pada Bundelan Tali Rasa Ha sampai dengan TA.

5. Dengan kondisi tersebut, maka akan timbul getaran halus (getaran air suci) dari bundelan tali rasa TA naik ke atas lewat tulang belakang (ula-ula) sampai masuk otak kecil (sela penangkep) terus ke otak besar (ubun), bersamaan dengan itu badan membungkuk dengan sendirinya sampai dahi menyentuh kain sanggar. Kemudian getaran halus tersebut akan bertemu dengan sinar cahaya dari ubun-ubun dan getarannya akan turun ke muka di permana, kebawah ke pangkal dan ujung lidah serta keluar air liur terus ditelan, untuk mengucap ucapan sujud yaitu : Hyang maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa (3X).

6. Badan dengan sengaja kembali duduk tegak lurus, pengamatan pada ubun-ubun dijaga jangan sampai terlepas, dan untuk mengamati turunnya, getaran ke Sapta Rengga, ke Dada, ke Perut, terus ke DA dan TA kembali.

7. Demikian proses getaran halus pada bungkuan yang kedua sama dengan bungkukan yang kesatu, hanya yang perlu diperhatikan pada bungkuan yang ke dua ini, sebelum timbulnya ucapan supaya heningnya tetap terjaga, sehingga menemukan/setidak-tidaknya teringat kesalahan yang dimaksud, setelah menelan air liur baru ada ucapan ; Kesalahanne Hyang Maha Suci, Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa (3X).

8. Demikian pula proses getaran halus pada bungkuan ke 3 (tiga) sama dengan sujud/bungkukan ke 1 dan ke 2, hanya dilanjutkan dengan ucapan : Hyang maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa (3X).

0 komentar:

Posting Komentar