Senin, 05 Maret 2012

SUJUD DAN PENJELASANNYA


Warga “Sapta Darma” kawajibaken Sujud salebeting 24 jam (sadinten sedalu) sekedhikipun sapisan. Langkung saking sapisan langkung utami. Bilih wonten ing Sanggar saged sesarengan kaliyan Tuntunan, kenging sawanci-wanci, namung langkung prayogi katemtokaken wekdalipun.

Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikit-sedikitnya sekali Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya (emating sujud). Bila sujud dilakukan di sanggar, dapat dilakukan bersama-sama dengan tuntunan dan dapat sewaktu-waktu. Namun lebih baik waktu ditentukan.
Warga Sapta Darma di wajibkan melaksanakan sujud satu kali dalam sehari semalam (24 Jam), lebih dari sekali akan lebih baik, pesan ini jika di hayati memiliki arti yang global, mulai pemahaman sederhana sampai pendalaman yang betul-betul hakiki.

Secara sederhana, para warga wajib melakukan sujud sekali dalam sehari semalam, dimana penghayatan sujud belum ditekankan pada kwalitasnya, namun lebih ditekankan pada keikhlasan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini pertimbangan rohani belum menjadi tinjauan utama yang dikarenakan dengan berbagai alasan, misalnya warga baru, keadaan sakit, anak-anak, dll.

Secara mendalam (hakikinya), yang dimaksud dengan sujud sesuai harapan ajaran, adalah sujudnya Rohani Manusia (Hyang Maha Suci) kepada Hyang Maha Kuwasa, dimana dalam penghayatannya bukanlah laku yang mudah, apabila yang diharapkan adalah Sujudnya Rohani (Hyang Maha Suci). Untuk itu warga harus memahami syarat-syarat dan perwujudan apa yang dimaksud dengan Sujud Rohani.

Sujud sederhana maupun Sujud hakiki pada dasarnya memiliki nilai yang sama dalam rangka pelaksanaan kewajiban hidup manusia. Namun dari sisi kesempurnaan sujud sesuai harapan ajaran masih memerlukan suatu proses dan tahapan yang harus dilalui setiap warga untuk mencapainya.

Tingkat kesempurnaan sujud yang kita lakukan merupakan salah satu cara mengetahui sejauh mana kita mampu melaksanakan kewajiban (netepi wajib) sujud kepada Allah selaras dengan harapan ajaran. Dengan berbekal 5 K (Kemauan, Kemampuan, Kayadarma, Kejujuran dan Keikhlasan) maka para warga diharapkan bisa melakukan sujud dengan rutin, walaupun masih sederhana (wadag). Dengan demikian apabila para warga sujud yang rutin maka melalui Kerokhiman-Nya, Allah Hyang Maha Kuasa akan memberikan tuntunan kepada para warga secara Rohani.

Perlu disadari bahwa SUJUD ini bukan karena kemampuan, namun terlaksananya SUJUD adalah benar-benar hanya karena KEROKHIMAN ALLAH saja. Sedang manusia hanyalah mempersiapkan diri (untuk pasrah-sumeleh) dan patuh (nurut) kepada TUNTUNAN-NYA (hidup manusia.

Sedangkan sujud bersama-sama yang dilakukan di sanggar-sanggar adalah merupakan kesempatan yang sangat baik. Apabila sesanggaran tersebut juga terselenggara dengan cara yang baik pula, dalam sujud bersama akan tercipta suasana saling ASIH, ASAH DAN ASUH secara rasa diantara warga.

Disamping itu dalam SUJUD bersama juga terjadi tarik menarik getaran atau kontak rasa yang terjadi antar warga yang sedang melaksanakan sujud bersama. Kondisi lingkungan sanggar dan rasa kebersamaan dalam sujud akan menciptakan satu kondisi rohani yang sangat bermanfaat dan berguna untuk masing-masing pribadi warga. 

Keadaan atau kondisi yang terjadi pada saat sujud bersama akan berbeda dibandingkan sujud sendiri, dimana suasana bersama yang terjadi berlaku bagi semua warga yang hadir. Jika suasana yang ada pada sesanggaran itu baik, maka juga akan berpengaruh baik pada semua warga yang hadir, begitu juga sebaliknya. Untuk itu pada saat sesanggaran semua warga hendaknya menyadari untuk tidak melakukan hal-hal yang merusak atau melakukan hal-hal yang mengganggu kesakralan yang ada pada sesanggaran itu sendiri.

Disini kesakralan sesanggaran menjadi hal yang penting, karena suasana itulah yang menjadi wujud sarana kerokhiman Allah yang bisa langsung diterima oleh para warga yang sesanggaran. Dimana suasana sakral (wening) tersebut berfungsi sebagai sarana Manghayu-hayu Bagia Bawana yakni, wujud Rasa yang berfungsi sebagai Pangruwating Diyu (membasmi Angkara Murka) serta Pangruwating Cintraka (mengurangi dan/atau menghilangkan penderitaan).

Dengan demikian apabila Sesanggaran betul-betul mematuhi semua aturan dan terjaga keheningannya akan menjadi waktu dan tempat yang sangat di harapkan oleh ajaran dan para warga. Karena kondisi sesanggaran yang baik akan memberikan kemudahan bagi yang sedang kesulitan, kesembuhan bagi yang sedang sakit dan kebahagiaan bagi yang sedang mengalami penderitaan, dll.

Maka marilah secara bersama-sama kita ikhtiarkan, kita usahakan sesanggaran yang baik sesuai harapan ajaran, yang tentunya juga menjadi harapan para warga semuanya. Yaitu sesanggaran yang diliputi suasana Rohani, yang bisa kita ikhtiari dengan selalu menjaga keheningan dengan sarana kemampuan hening atau semedi kita.

Kenapa demikian, karena suasana hening (wening) atau para leluhur menyebutnya sebagai “tumedhaking alam heneng” diyakini sebagai perwujudan kehadiran kuasa Tuhan (wasesaning Allah) yang akan menjadi sumber penerangan (pepadhanging jagat) baik jagat alit maupun jagat gumelar. Sehingga dengan kehadirannya akan menjadikan siapapun yang menerimanya memperoleh, sinar ketentraman dan kebahagiaan dalam mengarungi hidup di dunia ini.
Trap Susilaning Lenggah : Lenggah madep mangetan. Tumrap kakung sila, tumrap putri timpuh. Ewa semanten kenging mendhet sak sekecanipun, sauger mboten nilar trap susila, asta kasedha-kepaken, kiwa wonten ing nglebet, tengen wonten ing njawi.

Trap Susila Duduk (Sujud) : Duduk tegak menghadap ke timur (=timur/kawitan/asal), artinya diwaktu sujud manusia harus menyadari/ mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila kaki kanan di depan kaki kiri. Bagi wanita bertimpuh. Namun diperkenankan, mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak menggangu jalannya getaran rasa. Tangan bersidakep, yang kanan di luar dan yang kiri di dalam.
TRAP SUSILA SUJUD (Trap Susilaning Lenggah) :
  1. Duduk di atas kain sanggar menghadap ketimur.
  2. Melonggarkan Pakaian (melepas ikat pinggang, jam tangan, dan lain-lain yang sekiranya mengganggu jalannya rasa.
  3. Bagi Laki-Laki bersila, bagi perempuan bertimpuh. Bisa dilakukan seenaknya asal tidak melanggar Trap Susila.
  4. Tangan sedakep, kiri di dalam (di bawah) kanan di luar (di atas).
  5. Kepala, Tulang belakang (ula-ula) dan cethik segaris.
  6. Sak lajengipun ngleremaken penggalih, paningal mriksanana mangajeng leres kinten-kinten 1 meter saking papaning lenggah, lenggah jejeg; sirah, balung ula-ula lan cethik sagaris lurus.
Selanjutnya menentramkan badan dan pikiran, mata melihat ke depan ke satu titik pada ujung kain sanggar yang terletak ± satu meter dari posisi duduk. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus.

Sujud dimulai dengan sikap duduk tegak seperti diatas dimana pandangan mata memandang ± 1 meter dari posisi tempat duduknya, serta mengamati keluar masuknya nafas untuk menentramkan hati dan fikiran kita.

Trap susila merupakan bagian dari rangkaian sujud yang sangat menentukan akan keberhasilan dari sujud itu sendiri. Dengan Trapsusila yang benar rasa akan ada atau muncul secara alami atau otomatis. Rasa inilah yang mampu menjaga ketentraman hati dan pikiran disaat proses sujud berjalan, dimana pada kondisi tersebut kemauan atau Niat sujud secara lahir batin pada Hyang Maha Kuasa dikatakan mulai maujud (terlaksana). Disinilah kita bisa membedakan antara Niat yang masih dalam bentuk keinginan dan Niat yang sudah maujud (menjadi kenyataan).

PENGAMATAN PROSES PANDANGAN SATU METER
Dalam buku wewarah dikatakan bahwa pada pandangan satu meter ini warga akan mencapai ketentraman hati (lerem-ing penggalih). Disini bisa kita fahami bahwa yang dimaksud dengan ketentraman hati adalah kondisi hati dan pikiran yang pasif (kondisi WENING).

Namun disini perlu dimengerti bahwa dalam pandangan satu meter yang penting adalah tercapainya keheningan atau ketentraman, hal ini membutuhkan suatu proses dan memerlukan waktu. Kesabaran dan ketelitian dalam mengamati proses jalannya rasa sangat dibutuhkan, karena yang menentukan keberhasilan tercapainya proses sujud yang benar adalah JALANNYA PROSES RASA SUJUD (proses jalannya getaran rasa selama melaksanakan sujud). 

Atas dasar pengertian bahwa Allah itu Maha Wasesa dan atas dasar bahwa sujud kita adalah penyerahan diri kepada Allah maka sikap kita didalam Sujud adalah Hananing Mung Ngerti atau hanya meniliti atau niteni. Sehingga dalam penghayatan sujud kita tidak perlu KONSENTRASI yang ada hanya semeleh. 

Apabila KONSENTRASI yang dilakukan maka yang terjadi adalah makartinya saudara (keinginan/nafsu) untuk sujud, maka kita harus waspada apakah kita sudah memenuhi kriteria sumeleh atau kita masih KONSENTRASI ? Karena hal ini akan menentukan hasil akhir atau buah dari sujud.

LANGKAH PENELITIAN GETARAN
Setelah persiapan secara ragawi diatas dilakukan, maka berikutnya melakukan penelitian getaran proses sujud. Selama penelitian rasa, getaran yang terasa bisa dibedakan menjadi tiga kelompok rasa (getaran), yaitu :
1. Getaran proses sujud.
2. Getaran makartinya saudara 11.
3. Getaran pengaruh lingkungan (situasi & kondisi lingkungannya).
Dalam rangka memahami ketiga kelompok getaran yang mungkin terasa selama proses sujud, maka kita harus memahami ciri-ciri pokok tipe atau jenis getaran yang dimaksud, antara lain sbb :

1. GETARAN PROSES SUJUD
Yang dimaksud dengan Getaran Proses Sujud adalah proses sujudnya Hyang Maha Suci manusia yang berproses didalam pribadi kita dimana keberadaan proses getaran rasa tersebut bisa kita kenali dengan cara, antara lain :
  1. Proses rasa yang terjadi membuat tenang dan tentram.
  2. Membersihkan/menanggulangi segala gangguan rasa pangrasa (getaran nafsu).
  3. Jalannya proses rasa akan menyempurnakan kondisi fisik (kewarasan ragawi).
  4. Proses rasa berjalan (rumesep) masuk kedalam pribadi.
  5. Apabila proses bisa tuntas dan mencapai kondisi EMAT maka pribadi akan merasa terang (padhang).

2. GETARAN MAKARTINYA (AKTIFNYA) SAUDARA 11
Yang dimaksud dengan Getaran saudara adalah getaran-getaran yang mengakibatkan aktifnya hati dan pikiran. Getaran ini bisa kita kenali dengan cara, antara lain :
  • Proses getaran yang terjadi menjadikan aktifnya pikiran,angan-angan dan perasaan.
  • Proses getaran yang terjadi menimbulkan gejolak rasa (tidak tenang).
  • Proses getaran yang terjadi berjalan dari dalam keluar pribadi.
  • Proses getaran yang terjadi menimbulkan suasana tidak bersih atau tidak nyaman.
3. GETARAN LINGKUNGAN (Situasi & Kondisi Lingkungannya)
Yang dimaksud dengan Getaran Lingkungan adalah getaran yang berasal dari luar pribadi. Getaran lingkungan ini bisa berpengaruh positif atau negatif kepada pribadi kita, tergantung baik buruknya sumber getaran tersebut.

Yang dimaksud dengan positif adalah getaran yang berpengaruh terhadap pribadi menjadi mudah tenang dan tentram. Adapun yang negatif adalah getaran yang membawa suasana menjadi bergolak atau tidak tentram dan nyaman.

Dalam praktek penghayatan sujud penelitian dilakukan dengan cara :
1. Perhatikan posisi duduk masih harus tetap tegak segaris.
2. Perhatikan PERNAFASAN (keluar masuknya nafas), amati hubungan TITIK PERMANA (NGA) dengan ujung KAIN SANGGAR.
Syarat : Pengamatan tidak boleh tergesa-gesa, sifat pengamatan menunggu, mengikuti dan meneliti proses sujud yang sedang berjalan. Dimana yang dimaksud dengan menunggu adalah menunggu adanya proses getaran akibat kontaknya antara ujung kain sanggar dengan permana. Apapun yang dirasakan selain rasa kontak antara ujung kain sanggar dengan permana adalah getaran makartinya saudara 11 dan Getaran dari lingkungan, keduanya tidak perlu diperhatikan. Dimana pada saatnya nanti perhatian kepada tegaknya badan, pandangan pada ujung kain sanggar dan pada pernafasan, satu-persatu akan terlepas dan manggeleng dengan sendirinya.
3. Setelah menemukan rasa kontak yang dimaksud diatas, ikuti JALANYA RASA tersebut. Kemampuan meneliti dan mengikuti jalanya rasa tersebut adalah wujud awal kemenangan dalam PERANG BARATA YUDA tahap I. Janganlah diperhatikan akibatnya (apapun yang dirasakan), dengan bahasa lain : Tidak usah ingin tahu dan tidak perlu tahu, Jika diperlukan Allah akan memberi tahu dengan sendirinya. Sebagai tanda apabila proses yang berjalan itu benar, PIKIRAN dan HATI menjadi lebih tenang (pikiran / kepala menjadi ringan dan dada menjadi longgar/dingin). Dalam hal ini hendaknya lama tidaknya waktu yang diperlukan tidak menjadi acuan, yang penting adalah hasil prosesnya.
Pengalaman : Pada saat melakukan pandangan 1 meter, dimana pengamatan pernafasan sudah dilakukan maka akan ada getaran/rasa yang berjalan (segaris) dari ujung kain sanggar menuju titik permana. Namun tidak langsung menyentuh (kontak) pada titik permana, masih terhalang getaran lain yang ada.
Sentuhan antara Getaran/Rasa Dari Ujung Kain sanggar dengan Getaran Lain Yang Menutupi/Menghalangi pada Permana ini merupakan PERANG BARATA YUDA tahap II.
Dalam hal ini kita hanya sebagai saksi (hananing mung ngerti), dengan sabar, biarkan proses berjalan sendiri hingga tuntas, pengamatan kita tertuju hanya pada jalannya getaran/rasa yang menuju (masuk) titik permana, karena pengamatan kita sedang dituntun rasa menuju permana. Perhatikan proses kontak yang terjadi, bukan akibatnya.
APABILA PROSES BERJALAN BAIK MAKA, PERMANA AKAN TERASA (Ringan, Bersih, Dingin, dll).
Keterangan : Getaran-getaran lain yang ada pada permana adalah getaran saudara (makartinya saudara) atau Getaran dari Lingkungan yang sedang menguasai atau mengganggu permana. Hal ini yang menyebabkan, seseorang akan terganggunya pengamatan dan penelitiannya.
4. Proses bersihnya permana dari segala gangguan itu akan seiring dengan perubahan getaran yang terasa pada bundelan tali rasa NGA dan HA, dimana kondisinya akan menjadi lebih baik.

5. Jika diilustrasikan maka jalannya getaran pada pandangan satu meter, melalui titik ujung kain sanggar, bergerak segaris menuju permana (NGA). Dari NGA biasanya kebelakang mengakibatkan aktifitas otak kecil menjadi pasif, ke atas kontak dengan ubun-ubun terasa dingin, isis atau terbuka, kebawah HA akan terasa dan dada (Hati) kita akan terasa longgar atau dingin.

KESIMPULAN PROSES PANDANGAN SATU METER (HENING I)
Sesuai apa yang disampaikan dalam buku wewarah tujuan dari pandangan satu meter adalah penenangan hati dan fikiran (hening). Adapun yang menentukan pencapaian hening ini adalah kesempurnaan jalanya proses rasa, dimana jalannya rasa ditentukan oleh :
1. Posisi duduk (cethik, tulang belakang dan kepala harus segaris) tetap terjaga dan terkontrol kestabilannya, dimana kondisi duduk tetap dalam keadaan longgar (semeleh).
2. Pandangan mata pada ujung kain sanggar tetap terjaga dan tidak terlepas (stabil dan tidak tegang), sehingga tercapai kontak rasa antara PERMANA dan UJUNG KAIN SANGGAR.
3. Penelitian pernafasan stabil (ajeg) hingga halus, hampir tak terasa (seolah tak bernafas), dimana pada saat itu mata masih dalam keadaan terbuka. 

GETARAN KASAR, MENELAN AIR LIUR DAN ASMA TIGA
Sak sampunipun lenggah saha lereming manah, ing mriku lajeng getaran ingkang wonten salebeting badan, saking ngandhap manginggil. Lajeng raos manginggil malih, ngantos dumugi sirah, mila nutup tlapukan mripat sarana getaran. Minangka tandha, pucuking ilat kraos pating trecep, ing mriku lajeng ngucap ing salebeting batos :”Allah Hyang Maha Agung””Allah Hyang Maha Rokhim””Allah Hyang Maha Adil”

Setelah merasa tenang dan tenteram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas. Selanjutnya getaran rasa tersebut merambat ke atas sampai di kepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (Jawa = pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam bathin :”Allah Hyang Maha Agung””Allah Hyang Maha Rokhim””Allah Hyang Maha Adil”

GETARAN KASAR
Setelah hati dan fikiran sudah mulai tentram dan tenang dalam keadaan mata masih terbuka, didalam tubuh akan terasa ada getaran mulai dari telapak kaki ke atas sampai pada kepala, inilah yang dimaksud dengan GETARAN KASAR. Semakin tercapainya tingkat keheningan, getaran kasar ini akan semakin sempurna berproses dalam pribadi kita dan akan bisa teramati secara lebih jelas. GETARAN KASAR ini akan berfungsi untuk menyempurnakan ketentraman yang sudah ada dari pandangan satu meter.

Setelah permana atau Bundelan Tali Rasa (BTR) NGA bersih mencapai ketentraman, getaran kasar berproses mulai BTR. THA (telapak kaki) sampai dengan BTR. HA (pangkal lidah) dan bersamaan dengan itu mata mulai tertutup. Getaran terus bergerak secara otomatis turun ke pangkal lidah (HA) terasa trecep-trecep keluar air liur.
Sesungguhnya proses perjalanan Getaran Kasar melalui pos-pos bundelan tali rasa sesuai dengan abjad (carakan) aksara jawa terbalik, diawali Nga (proses pandangan 1 meter) getaran kasar berjalan dari Tha sampai dengan Ha.

PENELITIAN PROSES JALANNYA GETARAN KASAR
Dalam penelitian perlu ditegaskan bahwa penelitian disini bukanlah atas dasar keingin tahuan proses yang terjadi. Namun atas dasar hanya mengerti (hanyekseni), jadi lakunya adalah menunggu getaran itu ada terlebih dahulu baru kita menyaksikan, bukannya mencari dimana getaran itu ada.

Pada saat getaran kasar berproses kita tahu dan sadar bahwa hati dan pikiran belum bersih betul dan masih ada aktifitas, kadang masih lari kesana-sini. Biarkan saja asal kita tidak mengikuti (memperhatikan) apalagi larut (ketut) pada aktifitas tersebut.

Setelah getaran kasar mulai terasa di kaki (BTR. THA), kita mulai mengikutinya (penelitian). Dalam teknis penelitian tata cara meneliti misalkan diibaratkan orang yang berjalan, seperti orang yang dituntun (kita mengikuti) yang menuntun, jadi selalu dibelakangnya. Jika yang nuntun berhenti, yang dituntun juga berhenti, jika pelan juga ikut pelan, begetu seterusnya. Namun apapun yang terjadi kita akan terasa, walaupun tidak tahu maksudnya, dan jika kita belum tahu maksudnya tidak perlu ingin tahu, cukup disadari kalau kita belum tahu. 

Berdasarkan teori, Getaran akan berjalan sesuai jalur Bundhelan Tali Rasa (BTR) dari NGA sampai HA seperti dasampaikan diatas, namun jika tidak sesuai dengan teori yang ada tidak perlu dipertanyakan, kenapa demikian ? Jika diperlukan akan mengerti dengan sendirinya, pada sujud-sujud berikutnya.

Selama GETARAN KASAR berjalan kadhang pada organ tubuh ada yang dirasakan sakit, atau timbul berbagai rasa yang mengganggu, hal-hal seperti itu tidak perlu dihiraukan. Perlu diyakini bahwa apapun yang terjadi itu adalah proses perbaikan, yang salah dibenarkan, yang sakit diobati atau efek positif yang lainnya.

Jika proses berjalan dengan baik maka tingkat ketentraman atau keheningan akan meningkat lebih baik dibanding sebelumnya. Dimana pada saat ini pernafasan juga semakin halus. Setelah GETARAN KASAR sampai kepala dari NGA turun menutup mata secara otomatis, dan tembus pangkal lidah (BTR. HA) terasa trecep-trecep.

KESIMPULAN PENELITIAN PROSES GETARAN KASAR (HENING II)
Setelah proses getaran kasar berjalan dengan baik maka, kondisi persaiapan sujud menjadi lebih sempurna baik secara fisik (jasmani) maupun secara batin (rokhani). Secara ragawi semakin terasa nyaman dan hati semakin tentram, ini menunjukkan bahwa sujud semakin siap baik secara jiwa raga atau lahir batin.
Walaupun demikian pada saat ini masih ada kemungkinan adanya gangguan fikiran dan hati, tetapi sudah semakin minim. Selaras dengan kondisi pribadi masing-masing. Pada saat ini merupakan saat persiapan PROSES UCAPAN ASMA TIGA dan mata sudah dalam keadaan tertutup. PROSES UCAPAN ASMA TIGA adalah proses penyempurna persiapan manembah (bungkukan sujud).

PROSES MENELAN AIR LIUR
Pada saat terjadi proses Pandangan Satu Meter dan Getaran Kasar, dengan penelitian tiga unsur (Pernafasan, Pandangan satu Meter dan Getaran Kasar) tersebut pangkal lidah akan terasa trecep-trecep (keluar air liur) dan ditelan, diamati akibat/manfaatnya didalam pribadi. Dimana Ludah ini memiliki fungsi sebagai penentram saudara (Nafsu) dalam Bhs. Jawa sering disebut PARING BOGA pada saudara.
Tentunya proses ini sangat membantu dalam proses menentramkan saudara, ibarat Hyang Maha Suci kita seorang penggembala. Maka Proses menelan air liur adalah saat memberi makan hewan yang digembalakannya. Sehingga dengan menelan air liur maka hewan (nafsu) kita akan menjadi lebih tentram karena telah diberi makan.
Disamping pada saat-saat seperti yang dimaksud diatas, air liur juga akan keluar pada saat-saat tertentu secara otomatis. Hal ini apabila sudah berhenti atau sudah terkumpul cukup banyak di mulut, maka segera saja di telan. 

PROSES PENELITIAN
1. Pada saat didalam mulut kita terasa air liur mulai keluar, penelitian kita tidak perlu terpengaruh, cukup dimengerti saja dan dibiarkan keluar hingga tuntas.
2. Apabila sudah terkumpul cukup banyak, atau sudah berhenti proses keluarnya, maka air liur kita telan.
3. Air liur yang kita telan kita teliti, mulai dari mulut, tenggorokan dan ke rongga dada.
4. Ikuti jalannya air liur, bagaimana pengaruhnya dalam pribadi kita, sejauh mana air liur berjalan, dll.
5. Apabila setelah ditelan ternyata air liur keluar lagi, maka lakukan penelitian ulang hingga tuntas.

PENELITIAN PROSES ASMA TIGA (HENING III)
Penelitian ASMA TIGA sudah termasuk pada penelitian rasa yang halus, dimana mata sudah dalam keadaan tertutup dan hati/fikiran sudah tentram. Ucapan Asma Tiga dikatakan dalam Buku Wewarah adalah Ucapan Batin Kita. Disini bisa diartikan bahwa ucapan berasal (bermula) dari batinnya Rokhani (Hyang maha Suci).
Maka pada pengamatan penelitian UCAPAN ASMA TIGA kita akan meneliti secara menyeluruh. ASAL UCAPAN sampai pada PENGARUH GETARAN ASMA TIGA saat dan sesudah diucapkan, pada jagat pribadi.

Setelah mata tertutup maka pernafasan akan semakin halus dan menggeser pengamatan pernafasan seakan berada di dalam pribadi (pada garis vertikal keatas-kebawah di tengah pribadi yang menghubungkan mbun-mbunan dan lubang pembuangan).
Selama pengamatan (penelitian) kondisi akan berubah menjadi semakin bersih (MAYA) atau ketenangan semakin sempurna. Perubahan ke-MAYA-an ini merupakan pertanda semakin dekatnya hubungan manusia dengan Tuhan. Kemudian pada posisi ter-MAYA atau paling dekat dengan Tuhan maka UCAPAN ASMA TIGA terucapkan, UBUN-UBUN dan RA kontak, dan kita akan menerima pemahaman serta merasakannya PROSES yang terjadi pada UCAPAN ASMA TIGA.

TEKNIS PENGHAYATAN
Setelah mata tertutup dengan sendirinya, posisi tubuh (badan/fisik), angan-angan dan fikiran sudah anteng, maka penelitian antara lain sbb :
1. Sementara ini perhatian masih pada permana, namun dalam posisi ini kita dituntut berlaku netral (hananing mung ngerti).
2. Rasa dan keberadaan pengamatan masih pada permana, namun proses masih terus berjalan dan kita cukup mengikutinya (keadaan tertuntun).
3. Proses rasa mungkin bisa diungkapkan dengan kata RUMESEP (gerakan rasa yang menjadikan lebih hening atau manggeleng) masuk kedalam pribadi.
4. Keadaan pribadi menjadi lebih bersih (WENING) atau dengan kata lain lebih MAYA. Tingkat ke-MAYA-an ini bisa diartikan posisi kedekatan dengan Tuhan, semakin MAYA bisa berarti semakin dekat posisi kita dengan Tuhan.
5. Proses menjadi lebih MAYA ini berhenti, ditandai dengan proses terucapnya ASMA TIGA, dimana keadaan MAYA dan saat terucapnya ASMA TIGA masing-masing pribadi tidak sama. Hal ini tergantung dari tingkat kedewasaan rohani masing-masing individu.
6. Pada saat terjadinya UCAPAN ASMA TIGA, kita mengamati mulai KRENTEG MENGUCAP, TERJADINYA UCAPAN DAN PERUBAHAN RASA SETELAH MENGUCAP.
7. Setelah ASMA TIGA selesai, berikutnya kita akan meneliti NAIKNYA GETARAN HALUS.

KESIMPULAN ASMA TIGA
Melihat proses dan suasana Ucapan Asma Tiga (dalam kaweningan) maka ucapan ASMA TIGA adalah SABDA. Sehingga penelitian ASMA TIGA adalah merupakan proses yang sangat penting pada pribadi warga, guna melatih terwujudnya SABDA bagi pribadi warga.
Setelah Usapan Asma Tiga dilakukan, turunnya Getaran Asma Tiga diteliti secara cermat utamanya pada bundelan-bundelan tali rasa, HA, NA, CA, RA, KA, DA dan TA.
Bilih sirah kraos awrat; tandha yen raos (getaran) sampun kempal sedaya wonten sirah, mila mahanani goyanging badan. Ing ngriku lajeng wiwit ngraosaken sari-sarining toya suci ingkang wonten brutu (silit kodhok). Lampahing alus sanget minggah medal ing ros-rosaning ula-ula. Pandhingkluking badan terus kaetutaken kanthi emating raos ngantos bathuk dhumawah ing siti (gelaran).Wekdal pasuryan tumempel ing siti (mori sanggar) lajeng ngucap ing batos: “Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa” (kaping 3).
Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. Kemudian dimulai dengan merasakan jalannya air sari yang ada ditulang ekor (Jawa: brutu atau silit kodok). Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah-olah mendorong tubuh membungkuk kemuka. Membungkuknya badan diikuti terus (bukan karena kemauan tapi karena rasa), sampai dahi menyentuh kain sanggar. Setelah dahi menyentuh kain sanggar, dalam batin mengucap”Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa” (3 kali).

PENELITIAN GETARAN HALUS
Air purwitasari atau sering disebut toya sari dimana dalam pribadi manusia berada pada Cethik (bundhelan tali rasa TA). Menurut Ajaran, toya sari pada laki-laki disebut dengan Nur Rasa dan toya sari pada perempuan disebut dengan Nur Buat. Sehingga toya sari pada diri manusia pada hakekatnya adalah Nur Rasa dan/atau Nur Buat, dimana secara fisik berasal dari sari-sarining bumi.

Selain itu toya sari juga merupakan bibit untuk terjadinya (dumadinya) unsur jiwa dan raga. Dan didalam proses sujud Sapta Darma Getaran Toya Sari ini disebut getaran halus yang akan menuntun seluruh jiwa dan raga tunduk dan patuh pada Hyang Maha Suci, bersama-sama sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa. 

Pada saat penelitian proses naiknya getaran halus dimana ruas demi ruas akan memberikan pengertian bagaimana sebenarnya (nyatanya) diri ini saat diajak manembah pada Sang Pencipta Allah Hyang Maha Kuasa. Terkadang saat naiknya getaran toya purwita sari terjadi bagian tubuh yang bergerak, terkadang juga, raga sudah diam (anteng) namun muncul suara-suara hati, pikiran atau timbul rasa yang tidak nyaman, dll, hal yang demikian menunjukkan berontaknya jiwa (napsu) yang disebabkan belum tentramnya saudara.
Menghadapi yang demikian harus tetap bersabar dan tenang, tidak perlu ditanggapi dengan satu rekayasa (ora usah di paelu), maka getaran halus akan mengurusnya. Sehingga pada saat getaran halus naik, para warga harus bersabar, sebagai contoh :
  • Kadang jalannya getaran toya sari berhenti sesaat pada posisi tertentu, diikuti ada bagian fisik yang terasa sakit kemudian menjadi enak (nyaman), hal itu menunjukkan adanya proses pembenahan raga.
  • Pada saat berhenti ada gangguan nonfisik, pikiran kacau, ada suara-suara yang mengganggu dan kemudian hilang lagi, itu menunjukkan adanya proses penentraman jiwa.
Untuk mengatasi berbagai gangguan diatas dapat menggunakan dua cara, yaitu ; 
(1) merasakan ubun-ubun kemudian dipancarkan ke otak kecil sampai gangguan itu hilang, dan naiknya getaran halus bisa terasa kembali, 
(2) apabila diatasi dengan cara tersebut masih belum berhasil, maka dengan sengaja membuka mata, mengucap Asma Tiga dengan hening, setelah gangguan hilang kemudian menutup mata kembali dan melanjutkan meneliti naiknya getaran halus kembali.

Maka dalam mengamati jalannya getaran halus haruslah bersabar, berilah kesempatan getaran untuk menyelesaikan tugasnya hingga tuntas, sehingga jiwa dan raga mau sumuyud (patuh yang dikuti kasih sayang) sujud kepada Allah.
Perjalanan getaran Toya Sari dari Jana Loka, melewati Indra Loka, sampai pada bundelan tali rasa LA berhenti sesaat. Pada posisi ini perjalanan toya sari harus berhenti, menunggu terbukanya pintu gerbang sela martangkep. Dalam rangka menunggu inilah, sikap kita harus hati-hati. Karena di sekitar bundelan tali rasa LA ada tiga pos saudara (Naga Tahun, Jati Ngarang dan Gandaruwo Raja), dan jika tidak hati-hati maka getaran toya sari akan singgah di pos tersebut dan tidak melanjutkan perjalananya ke Jonggring Saloka (Otak Besar / ubun-ubun). 

Apa bila naiknya getaran toya sari gagal masuk Jonggring Saloka dan habis (berhenti) pada pos saudara tertentu. Maka toya sari yang pada hakekatnya mewakili jiwa dan raga (saudara 11) tersebut akan tunduk (dikuasai) oleh salah satu saudara yang berada pada pos tersebut. Sehingga dalam kenyataan hidup sehari-hari sifat dan watak pribadi kita akan di dominasi oleh watak dasar saudara tersebut. 

Namun apabila jalannya getaran halus di BTR. LA aman dan tidak terganggu, dan pintu sela martangkep mau terbuka yang diikuti terbukanya ubun-ubun, maka pertemuan getaran toya sari dengan getaran Hyang Maha Suci akan terjadi di Jonggring Saloka atau Otak Besar. Dalam hal ini menunjukan saat bersatunya antara yang dimomong dengan pamongnya dalam jagat pribadi.. Selanjutnya manusia secara utuh akan melakukan Sujud (manembah) kepada Allah diwakili oleh Hyang Maha Suci-nya (Manunggaling Kawula lan Gusti).

PROSES PENELITIAN UCAPAN SUJUD
Setelah dahi menyentuh kain mori sanggar, dengan tetap dalam kaweningan, nafas terjaga masih halus, merupakan persiapan melakukan UCAPAN SUJUD. Namun sebelum mengucap hendaknya kita meneliti kembali kedalam pribadi, sudahkah ada rasa rumangsa ngadhep maring Allah, atau kesadaran bahwa kita sedang dihadapan Allah. Baru setelah semuanya mapan, dengan sabar menunggu proses ucapan sujud yang ditandai dengan getaran rasa pada ujung lidah, menelan air liur baru mengucap HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KWASA (3X).

Setelah purna mengucap ucapan sujud, dan dirasakan sudah cukup kemudian bungkuan diangkat dengan perlahan-lahan hingga tegak kembali. Pada saat tegak kita teliti kembali rumeseping rasa kedalam sanubari, hingga tuntas.
Dilanjutkan menunggu dan meneliti kembali dengan cara yang sama naiknya Getaran Halus, sampai terlaksana ucapan KESALAHANE HYANG MAHA SUCI NYUWUN NGAPURA HYANG MAHA KWASA (3X).

Begitu juga untuk penelitian ucapan bungkuan yang ketiga HYANG MAHA SUCI MERTOBAT HYANG MAHA KWASA (3X).

Hingga pasca ucapan Mertobat, setelah bungkuan terakhir kita tetap tegak dan tidak perlu tergesa-gesa lukar, dan tetap meneliti rasa bagaimana suasananya dan mungkin ada pengertian atau wejangan dari Allah. Dan begitulah uraian tentang sujud semoga bisa menambah wawasan dan wacana tentang sujud demi hari esok yang lebih baik.

PENELITIAN DAN PROSES MENGANGKAT BUNGKUAN SUJUD
Didalam proses naiknya badan dari sungkeman sujud diharapkan dilakukan dengan sengaja sambil terus mengamati ubun-ubun, agar gerakan proses mengangkat badan dari sungkem (sujudan) tidak mengganggu proses rasa (manggelenging rasa) yang sudah mapan. Sehingga rasa yang sudah mapan bisa dilanjutkan pada penelitian proses sujud yang berikutnya.

Setelah badan tegak lurus kembali, pernafasan diteliti kembali sampai halus, sehingga kondisi sujud bisa kembali pada suasana wening kembali. Pada saat tegak habis sungkeman dilakukan penilitian getaran rasa yang turun dan rumesep diseluruh tubuh. Disarankan dalam penelitian turunnya rasa ini, para warga bisa meneliti dengan sabar, tlaten dan tliti hingga tuntas dan menemukan rasa yang paling halus. Mengingat pada saat seperti ini terjadi berbagai proses rasa yang memberikan berbagai pengertian dalam sujud. Adapun tata cara penelitian seperti disampaikan di depan.

0 komentar:

Posting Komentar