Kamis, 14 Juli 2011

AMANAT SOEKARNO

AMANAT PADUKA YANG MULIA SOEKARNO
PRESIDEN PERTAMA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
PADA KONGRES KEBATINAN INDONESIA
Di GEDUNG PEMUDA, JAKARTA, TANGGAL 17 JUNI 1958


Saudara-saudara sekalian,

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Kepada Saudara-saudara yang beragama Budha, Hindu-Bali, saya berkata: “Om Manpatmahum Alignam Ashum”

Saudara-saudara, pada ini hari saya diminta untuk apa yang dinamakan memberi amanat kepada Kongres BKKI yang ke III. Dan Insya-Allah saya akan memberi sepatah dua patah kata dengan rasa hati yang gembira. Apalagi sesudah saya mengetahui definisi kebatinan, yang telah dirumuskan oleh BKKI yaitu: “Sumber azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup”. Mengetahui pula semboyan BKKI yaitu: “Sepi ing pamrih rame ing gawe, mamayu hayuning bawono” amat bergembira saya berhadapan dengan Saudara-saudara sekalian.

Terutama sekali pula sebagai tadi saya katakan, definisi kebatinan, sumber azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena sebagai Saudara-saudara semua ketahui, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila yang pertama daripada Pancasila dari Negara kita. Dan memang Saudara-saudara, siapa tidak mengerti bahwa Pancasila yang lima ini adalah satu kesatuan, siapa yang hendak memisah-misahkan Ketuhanan Yang Maha Esa daripada Kebangsaan, daripada Perikemanusiaan, daripada Kedaulatan Rakyat, daripada Keadilan Sosial, ia tidak mengerti akan inti dan arti Pancasila itu. Maka kalau yang pertama yang akan saya tandaskan kepada Saudara-saudara sekalian ialah mengerti kesatuan yang tak boleh dipecah-pecahkan dan pisah-pisahkan antara kelima-lima sila ini. “DE ONVERBREEKBARE EENHEID”. Kesatuan yang tak boleh dipecah-pecahkan daripada kelima sila ini.

Ada orang yang berkata: “Tak perlu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, cukup sila yang empat, Kebangsaan, rasa kebangsaan Indonesia yang bulat, cukup rasa Peri-Kemanusiaan, cukup Kedaulatan Rakyat, cukup Keadilan Sosial” Perkataan yang demikian itu adalah perkataan yang salah.

Kebangsaan tak dapat menjadi kebangsaan yang kuat, rasa kebangsaan tak dapat menjadi rasa yang mesra, yang menghikmati segenap jiwa kita, jikalau tidak diresapi atau tidak didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri-kemanusiaan, cinta kasih kepada sesama manusia, tidak perduli ia berkulit hitam atau berkulit putih atau berkulit merah atau berkulit kuning, tak dapat rasa cinta itu meresap sedalam-dalamnya didalam kita punya jiwa, jikalau tidak diresapi oleh rasa ketuhanan Yang Maha Esa. Kedaulatan rakyat demikian pula. Keadilan Sosial, yaitu kehendak untuk mengadakan satu masyarakat yang adil dan makmur tanpa penindasan manusia kepada manusia, rasa yang demikian itupun tak dapat meresapi kita punya jiwa, masuk kedalam tulang sumsum kita, darah daging kita, jikalau tidak diresapi atau berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebaliknya ada orang yang berkata: “Cukup hanya dengan rasa Ketuhanan Yang Maha Esa saja. Tidak perlu kebangsaan, tidak perlu Per-Kemanusiaan, tidak perlu Kedaulatan Rakyat, tidak perlu Keadilan Sosial” Pendirian yang demikian itu juga salah Saudara-saudara.

Justru oleh karena seseorang hidup didalam Ketuhanan Yang Maha Esa, justru oleh karena itulah dia cinta kepada tanah air. Justru oleh karena itulah dia harus cinta kepada sesama manusia. Justru oleh karena itulah dia harus cinta kepada cara pemerintahan yang bernama Kedaulatan Rakyat. Justru oleh karena itulah dia harus berikhtiar mati-matian untuk mendatangkan keadilan sosial atau satu masyarakat yang adil dan makmur.

Didalam agama Islam ada satu hadits yang ……katakanlah hadits ini hadits dhoif, tetapi hadits yang berbunyi “Hubbul wathan minal iman” “Cinta kepada tanah air adalah sebagian daripada iman” Sehingga orang yang tidak cinta kepada tanah air, imannya belum lengkap.

Demikian pula Saudara-saudara, Perikemanusiaan. Tiap-tiap agama memerintahkan kita supaya cinta kepada sesama manusia. Didalam agama Hindu berulang-ulang saya katakan, ada satu ajaran yang berbunyi: “Tat twam asi”, Tat twam asi, dia adalah aku, aku adalah dia. Dia, dia, dia, dia adalah aku, aku adalah dia, artinya kesatuan diantara semua manusia, tidak perduli ia berkulit hitam, tidak perduli ia berkulit warna yang lain.

Demikian pula Saudara-saudara, segenap ajaran tiap-tiap agama. Ambillah misalnya agama Islam, yang kitab Al-Qur’an-nya atau hadits-hadits Nabi-Nya penuh dengan ajaran-ajaran mencintai sesama manusia, ajaran Fardhu Qifayah.

Ajaran Fardhu Qifayah berdasarkan atas cinta sesama manusia. Engkau berdosa, jikalau engkau hidup disesuatu desa, ada orang meninggal misalnya, dan orang meninggal itu tidak terurus, tidak terkubur dengan baik, meskipun engkau bukan bapak daripada simati atau mbok daripada simati, engkau ikut berdosa. Engkau harus ikut bertanggung-jawab atas hidup atau matinya orang yang mati itu. Fardhu Qifayah Saudara-saudara.

Demikian pula sila Kedaulatan Rakyat. Bagaimana kita bisa dengan rasa mesra percaya, bahwa cara pemerintahan yang satu-satunya sempurna ialah mengambil kehendak rakyat. Kedaulatan Rakyat, jikalau kita tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, jikalau kita tidak percaya kepada ucapan orang Yunani, yang pada waktu itu belum ada agama mono-theisme, tetapi toh telah berkata “VOX POPULI, VOX DEI” “Suara rakyat adalah suara Tuhan”

Demikian pula Keadilan Sosial, Saudara-saudara. Rasa Keadilan Sosial yang kita tidak merasa senang hidup, jikalau kita masih melihat “EXPLOITATION DE L’HOMME PAR L’HOMME”. Melihat manusia dihisap oleh manusia lain. Melihat kemiskinan, melihat penderitaan, melihat kesengsaraan. Bagaimana kita bisa mati-matian berjuang untuk melihat keadilan sosial, kalau didalam dada kita tidak bersemayam rasa Ketuhanan Yang Maha Esa? Maka oleh karena itu Saudara-saudara, saya bergembira, bahwa BKKI memberi definisi yang demikian kepada kebatinan dengan menegaskan buat kesekian kalinya, bahwa Pancasila tak boleh dibagi-bagi.

Lima tetapi satu, Saudara-saudara. Ketuhanan Yang Maha Esa, Satu artinya Esa. Tetapi jangan lupa Saudara-saudara, bahwa Tuhan juga bernama Robbul’Alamin. Tuhan Seru Sekalian Alam. “DE HEER DE WERELDEN” kata orang Belanda. Tuhan Seru Sekalian Alam, Robbul ‘Alamin, tetapi satu, seru sekalian alam. Tuhanku, ya Tuhannya Pak Wongsonegoro, ya Tuhannya Pak KH Ilyas, ya Tuhannya Saudara Sukanto, ya Tuhannya bumi ini, ya tetapi juga Tuhannya matahari, Tuhannya bulan, Tuhannya bintang, Tuhannya gunung yang membiru, Tuhannya awan yang berarak dilangit, Tuhannya lautan yang bergelora, Tuhannya sibanteng, Tuhannya sigajah, Tuhannya semut yang kecil-kecil, Tuhannya bunga, Tuhannya rumput yang kita injak, Tuhannya batu kerikil yang kecil-kecil, Tuhannya setan-setan dan jin-jin, Tuhan Seru Sekalian Alam, Robbul’Alamin. Tetapi satu Saudara-saudara. Dan jikalau orang merasa benar, bahwa Tuhan ini adalah Tuhan Sekalian Alam, maka orang lantas merasa persatuan antara aku dan dia, antara dia dengan dia, sama-sama anak Adam, sama-sama menyembah Tuhan Seru Sekalian Alam itu.

Maka oleh karena itulah Saudara-saudara tadi saya katakan, tanpa rasa Ketuhanan Yang Maha Esa meresap didalam jiwa kita bahkan ……..nanti akan saya terangkan…………, berkobar-kobar mengapi-api, menggempa didalam kita punya jiwa, kita tak dapat merasakan dengan benar-benar akan kebenaran azas Pancasila ini. Bahkan saya berkata, tidak dapat kita bekerja mati-matian.

Saya setuju sekali dengan ucapan kawan-kawan itu tadi, bahwa kebatinan bukanlah ilmu klenik. Ya memang inipun Saudara-saudara berulang-ulang akan saya gemblengkan didalam kalbu semua rakyat Indonesia, jangan sekali lagi, jangan sekali-kali berilmu klenik!

Kebatinan bukan ilmu klenik. Kebatinan bukan harus ilmu klenik. Kebatinan sebagai tadi telah berulang-ulang dikatakan baik oleh Pak Diro, oleh Pak Ilyas, oleh Pak Wongsonegaro, kebatinan dapat hidup dan harus hidup didalam masyarakat yang bergolak.

Tadi Pak Wongsonegoro berkata satu kalimat yang pada hakekatnya benar. Apa yang dikatakan oleh pak Wongsonegoro? Pihak Kongres adalah berbicara. Pihak kebatinan kata beliau adalah semadi dan taffakur.

Pada hakekatnya ucapan ini adalah benar. Tetapi semadi dan taffakur Saudara-saudara berjalan pula didalam aktivitet. Jangan kira semadi dan taffakur hanya terjadi didalam kamar tertutup. Kita memegang tasbih atau tidak memegang tasbih, memadamkan semua lampu, menutupi babahan howo songo, hamandeng pucuk ing grono, jangan kira bahwa taffakur berarti memutar-mutarkan tasbih, tidak saudara-saudara.

Lihat hidupnya para pemimpin-pemimpin besar, juga pemimpin-pemimpin dilapangan kebatinan. Didalam aksi mereka, didalam keaktifan mereka, didalam pembantingan tulang mereka, didalam mereka memeraskan tenaganya, memeraskan keringat-keringatnya, didalam mereka berjuang, mati-matian berjuang mereka semadi dan taffakur.

Kalau Nabi Muhammad SAW duduk diatas kudanya dengan memegang pedang menghadapi musuh, jiwanya bersemadi dan bertaffakur.

Jikalau Vivekananda, empu Sannyasin yang Maha Besar dimasyarakat Hindu India, jikalau Swami Vivekananda anjajah desa amilang kori dari Utara India sampai ke Tanjung Pemurin Selatan pergi ke Timur India, melintasi India lagi sampai kepantai barat, jikalau Vivekananda ini menjalankan apa yang ia namakan pariwradjaka, dari desa kedesa, dari desa kedesa, ia menolong orang miskin, ia berpidato berkobar-kobar, ia mencoba menggugahkan semangat India, agar supaya rakyat India cinta kepada tanah air dan bangsa, ia bersemadi dan bertaffakur. Jiwanya bersemadi dan bertaffakur. Jiwa penuh dengan api kebatinan. Malahan Vivekananda berkata: “Aku menghendaki rakyat India ini satu persatunya berjiwa” apa katanya? “Berjiwa daripada dahsatnya petir dan gledek dan guntur!” Ia menghendaki engkau berjiwa yang jiwanya terbuat dari dahsyatnya petir, geledek dan guntur.

Ia menghendaki kamu supaya engkau berjiwa yang terbuat daripada zat petir dan geledek dan guntur. Ia menghendaki kamu, supaya engkau berjiwa yang terbuat daripada zat petir dan geledek dan guntur. Jiwa yang berkobar-kobar, kataku. En toch Vivekananda, ahli semadi dan ahli taffakur. Inilah yang dimaksudkan oleh Pak Wongsonegoro, kongres berbicara, kebatinan semadi dan taffakur.

“Semadi dan taffakur didalam aktiviteit !!”. Lihatlah hidupnya orang-orang besar! Lihatlah hidupnya maharadja-maharadja kebatinan didalam sejarah! Minta contoh dari agama apa?

Contoh daripada agama Budha? Lihat hidupnya Buddha Sakyamuni! Diapun hidupnya dari desa kedesa, dari desa kedesa, tidak berhenti-henti ia beraksi, tidak berhenti-henti ia menolong kepada orang miskin, tidak berhenti-henti ia menghidupkan rasa Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebenar-benarnya, tidak berhenti-henti ia membantu agar supaya hilanglah kesengsaraan didunia ini.

Ingin contoh daripada agama Kristen? Ya Allah, Ya Robbi, siapa yang tidak mengetahui sejarah hidupnya Isa? Isa yang misalnya sebagai juga Muhammad, anti riba. Sedih hatinya melihat orang menjalankan riba, menghisap darah orang miskin dengan meminjamkan uang, yang harus dikembalikan dengan rente setingi-tinginya. Apa yang Isa perbuat Saudara-saudara? Mula-mula ia kasi ajaran, jangan riba, jangan riba, jangan riba, masuk desa keluar desa, jangan riba, jangan riba, masuk desa keluar desa, bukan putar tasbih didalam kamar yang tertutup atau didalam gua, tidak! Keluar desa masuk desa, sehingga ada seorang seni pahat yang bernama Epstein membuat patung Isa. Epstein orang abad ke-20, karena dia mengetahui Isa selalu berjalan dari desa-kedesa, dari desa kedesa, dan iapun pandai sekali menjadi tukang kayu, maka Epstein membuat patung Isa digambarkan sebagai manusia yang kakinya bukan kaki ningrat, yang halus runcing Saudara-saudara. Orang yang saban hari berjalan dari desa kedesa mustinya kakinya kaki kasar. Orang yang suka kepada kerja kasar menggergaji, menyerut, tangannya mestinya bukan tangan halus seperti tangannya putrid-putri, yang duduk disana. Tidak, Epstein membuat patung yang demikian. Nah, Isa Saudara-saudara masuk desa keluar desa, masuk desa keluar desa, berkata kepada rakyat, jangan riba, jangan riba, jangan riba!

Tetapi sesudah ia melihat, bahwa iapunya piwuruk ajaran-ajaran ini tidak di-paelu orang, apa yang ia perbuat? Ia ambil cambuk Saudara-saudara! Dia pergi ketempat temple, yang dimuka temple itu orang-orang pribadi duduk. Isa datang disitu, dan ia usir orang-orang ini sama sekali dengan cambuk Saudara-saudara. Lambang aksi, dia mencambuk orang, mengusir orang yang berbuat salah, oleh karena orang-orang ini tidak dapat diperbaiki lagi, dengan sekedar amanat dan wejangan.

Mau contoh lain Saudara-saudara? Ambil dari agama Hindu. Saya sering, bahkan sudah lima kali saya membaca kitab Bhagavad Gita, dari A sampai Z, A sampai Z, A sampai Z, keempat kalinya A sampai z, kelimakalinya A sampai Z. Aku kagum disitu Saudara-saudara, Bhagavad Gita ternyata bukan kitab klenik. Ternyata bukan kitab untuk duduk didalam kamar bersemadi hanutupi babahan howo songo hamandeng pucuk ing grono, tidak Saudara-saudara, tetapi Bhagavad Gita adalah dalam bahasa asing “EVANGELIE VAN DE DAAD” Gita adalah nyanyian perbuatan, nyanyian amal, nyanyian fi’il.

Kresna memberi ajaran kepada Arjuna: “Arjuna, berbuat, Arjuna, berbuatlah, Arjuna, berjuanglah, jangan engkau diam” Arjuna berkata: “Aku tidak sampai hati untuk berbuat, terutama sekali berbuat membunuh Saudara-saudaraku sendiri, membunuh mereka dipadang Kuru Kestra. Padahal mereka-mereka itu Kurawa, adalah saudara-saudara sendiri. Aku tidak sampai hati untuk membunuh kurawa itu, aku tidak mau berbuat!” Kresna berkata: “Berbuatlah, bertempurlah, bunuhlah mereka itu” “Aku tidak mau membunuh Saudaraku sendiri” “Bukan engkau yang membunuh, sebelum engkau yang membunuh, aku telah membunuh dia. Sebelum engkau membunuh dia (sijahat) aku telah membunuh dia. Engkau ini sekedar seperti membunuh dia. Tetapi pembunuh yang sebenarnya ialah aku, aku Kresna” Kresna didalam arti Tuhan.

Dengan keyakinan yang demikian ini, maka Arjuna bertempur Saudara-saudara. Dia bertempur, dia menaiki dia punya kereta. Dia mementangkan dia punya gendewa, dia menarik dia punya keris, pendek kata dia bertempur mati-matian. Jiwanya semadi dan taffakur! Aku berbuat ini atas nama dia, aku berbuat ini karena dia, telah kukerjakan hal ini.

Saudara-saudara, lebih dahulu saya menggok sebentar, Hal Kresna yang dia mengatakan aku, dirinya berupa Kresna Saudara-saudara. Tetapi ia berkata aku, aku adalah God yang satu, Tuhan yang Maha Esa, tetapi aku adalah dimana-mana. Ya didalam zaman sekarang ini ada orang berkata, dimana letaknya Tuhan? Ada yang berkata, oh, Tuhan disana, tinggi, tinggi duduk disana. Kita ini disini dibumi. Tuhan disana. Tidak Saudara-saudara! Tuhan Seru Sekalian Alam berada dimana-mana. Tetapi satu. Dia meliputi segala alam ini, tetapi Esa. Dia dimana? Ya, Dia dilangit, saf ketujuh, tetapi Dia juga ada disini. Dia dibelakang jendela itu Saudara-saudara. Yang didalam hatinya Pak Wongso, ya Dia didalam bunga-bunga ini, dimana-mana ada Tuhan Saudara-saudara, tetapi Ia adalah Satu.

Ini Saudara-saudara apa yang diajarkan pula oleh Kresna, tatkala Arjuna Tanya kepadanya: “Ya Maha Kresna, Tuanku berkata aku, aku itu apa ?” Kresna berkata: “Aku, aku adalah didalam awan yang berarak, aku adalah digunung yang membiru, aku adalah didalam samudra, aku adalah didalamnya samudra gelora, aku adalah didalam api, aku adalah bahannya api, aku adalah bulan, aku adalah sinarnya bulan, aku adalah perkataan kramat Om, aku adalah didalam ruangan singa, aku adalah Marici, dewa angin, aku adalah didalam Waruna, dewa air, aku adalah didalam senyumannya tiga pici yang manis, aku adalah didalam batu yang disembah oleh orang yang belum beragama, aku adalah didalamnya sepoinya angin, aku adalah didalam harum gandanya bunga yang cantik, aku adalah permulaan, tetapi aku adalah pula akhir. Aku tak kenal permulaan, akupun tidak kenal akhir. Aku tidak dilahirkan, tetapi aku tidak mati pula. Aku dimana-mana, aku adalah zat yang abadi. Satu atom dari aku ini, memikul seluruh alam semesta ini”. ”ONE ATOM OF MYSELF SUSTAINS THE WHOLE UNIVERSE”. Satu atom dari aku ini, memikul seluruh alam semesta ini. Tetapi aku satu. Aku adalah Esa. Aku adalah didalam perbuatan, aku adalah didalam rasa, aku adalah didalam penglihatan, aku adalah didalam pikiran. Aku meliputi segala hal, sesuai dengan sebagai tadi saya katakana Saudara-saudara; Robbul’Alamin, Tuhanku, Tuhanmu, Tuhanmu, Tuhannya daun pohon yang saya lihat dari sini, Tuhannya burung yang kelihatan terbang disana, Tuhannya awan yang ber-arak, Tuhannya Gunung Merapi, Tuhannya Gunung Guntur, Tuhannya sikembang, Tuhannya sisungai, Tuhannya silaut, Tuhannya segala yang ada kumelip dimuka bumi ini.

Dan memang Saudara-saudara, hanya jikalau kita meresapi kita punya jiwa dengan rasa yang demikian ini, barulah kita bisa Saudara-saudara; Bernasionalisme sehebat-hebatnya jiwa, ber peri-kemanusiaan sehebat-hebatnya jiwa, berkedaulatan rakyat sehebat-hebatnya jiwa, berkeadilan sosial sehebat-hebatnya jiwa. Aku tadi sedang menceritakan bahwa kebatinan adalah juga didalam aksi, bahkan kebatinan yang sejati adalah dinamis, adalah aktif.

Contohnya yang lain. Aku telah menunjukan contoh Isa, telah menunjukkan Vivikananda dengan ia punya pariwradjaka, telah menunjukan contoh Budha Sakyamuni.

Ingin suatu contoh yang hebat Saudara-saudara ? Ambillah contoh Nabi Muhammad SAW. Telah dijanjikan oleh Tuhan kepadanya: “Muhammad, engkau akan menang!” Bahkan Tuhan telah berkata kepadanya: “Engkau telah kuangkat menjadi manusia yang teragung” Bukan lagi janji saudara-saudara, malah telah dikatakan TELAH. “Engkau akan menang, musuhmu akan kalah, musuhmu akan tunduk” Tetapi apakah Nabi Muhammad SAW yang dijanjikan hal demikin itu lantas: “Ya Allah sudah janji, tinggal kita nagih saja”

Terlaksananya itu janji duduk didalam mesjid atau duduk didalam sanggar pemujaan. Lagi-lagi hanutupi babahan howo songo mandeng pucuk ing grono. TIDAK saudara-saudara ! Nabi Muhammad SAW berjuang !! Berbuat !! Bertindak !! bahkan bertempur !! Ia kumpulkan sahabat-sahabatnya, saudara-saudaranya: “Asah engkau punya senjata, perbaiki engkau punya panah, latih engkau punya onta-onta, mari kita persiapkan diri kita untuk bertempur, untuk berbuat, untuk beraksi! ” Ia gerakan seluruh umat sahabatnya untuk beraksi. Pagi sampai sore, sore sampai malam. Berbuat, berbuat, amal, amal, amal, sekali lagi amal. Ini adalah taffakurnya, semadinya Nabi Muhammad bin Abdullah SAW

Maka saya minta kepada Saudara-saudara sekalian supaya mengerti, bahwa kebatinan sejati, demikianlah. Saya ulangi perkataan saya tadi itu; jangan sekali-kali Saudara-saudara anggap kebatinan adalah ilmu klenik. Jangan sekali-kali saudara-saudara berbuat klenik.

Apalagi jikalau nanti membahas ibukota, deg-deg-an hati saya, berdebar-debar hati saya, kalau Saudara-saudara tentukan, putuskan ibukota harus disana, sebab sudah saja klenikkan. Jangan Saudara-saudara, sama sekali tidak boleh demikian.

Saya kira Saudara-saudara, ocehan saya yang 40 menit ini sudah cukup melukiskan hati saya kepada Saudara-saudara. Demikianlah harapan saya kepada Saudara-saudara sekalian. Tinggal saya mendoa kepada Tuhan Seru Sekalian Alam itu tadi, Tuhanku, Tuhanmu, Tuhanmu, ya Tuhannya Pandit, ya Tuhannya Saudara Ibrahim, ya Tuhannya Saudara Sumardjo, ya Tuhannya Pak Wongso, ya Tuhannya Pak Hutasoit, Tuhannya kita, Tuhan Seru Sekalian Alam ini, agar supaya Kongres BKKI yang ke-III sampai pada keputusan-keputusan yang betul-betul manfaat, bagi manusia, bagi Tanah Air, bagi Negara.

“Mamayu hayuning bawono, mamayu hayuning bongso, mamayu hayuning negoro”Terimah kasih.

0 komentar:

Posting Komentar